x

Iklan

Syiqqil Arofat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Agensi Kerakyatan dalam Sejarah Demokrasi Indonesia

Judul : Popular Agency and Interests in Indonesia's Democratic Transition and Consolidation Penulis : Edward Aspinall Sumber : Southeast Asia Program Publications. 2013. Indonesia, No. 96, Special Issue: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Polit

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejarah demokrasi Indonesia banyak disoroti oleh para pengkaji sosial. Bahkan, para pengamat pun sepakat bahwa kejayaan demokrasi Indonesia ditandai oleh jatuhnya rezim Orde Baru, namun pemicu utama runtuhnya rezim otoriter ini bukan berasal dari rakyat tapi lebih disebabkan oleh krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997–98 serta berbagai ketegangan di antara para elite di lingkaran kekuasaan Suharto. Akibatnya, sementara gerakan kerakyatan tidak terorganisir dan terlalu lemah untuk memengaruhi institusi politik, para elite politik yang sebelumnya berada di lingkaran rezim Orde Baru mampu menguasai kembali institusi politik setelah masa transisi, dan akhirnya mereka cenderung menyusupkan kepentingan pribadi pada perancangan dan implementasi kebijakan, baik di pusat maupun di daerah, tanpa memedulikan kepentingan rakyat. Demokrasi pun tetap tersandera dalam pola oligarki kalangan elite.

Namun, gerakan kerakyatan sebagai aktor demokrasi hampir tidak diberi peran penting dalam analisis para pengkaji sosial, dan hanya dianggap sebagai pelengkap demokrasi. Dalam konteks inilah Edward Aspinall, Profesor Politik di ANU (Australian National University), mengkritisi para pengkaji sosial yang dianggapnya gagal merekam agensi kerakyatan. Kegagalan tersebut disebabkan oleh pengamatan para pengkaji sosial yang hanya terfokus pada bentuk-bentuk formal, seperti tidak adanya partai politik yang merepresentasikan kepentingan kelas bawah, padahal gerakan kerakyatan yang dimotori kelas bawah terus tumbuh dan menguat seiring perjalanan demokrasi Indonesia, yang sebenarnya telah dirintis sejak tahun 1990-an. Transisi demokrasi Indonesia bukan secara kebetulan muncul sebagai respon terhadap krisis ekonomi dan ketegangan kalangan elite, namun lebih dipicu oleh inisiasi dan mobilisasi di kalangan masyarakat kelas bawah.

Menurut Aspinal, setidaknya terdapat dua pola dinamika kerakyatan yang menandai pentingnya peran kelas bawah dalam mendorong demokratisasi setelah runtuhnya rezim Orde Baru, yaitu (1) gerakan sosial yang terpecah-pecah dan (2) politik pemilihan oleh rakyat. Dalam dua dinamika inilah agensi kerakyatan mengemuka dan mewarnai arah pembangunan demokrasi. Dinamika yang pertama melingkupi munculnya berbagai organisasi sosial yang merepresentasikan kepentingan buruh, petani, dan kelompok kelas bawah lainnya. Meski berbagai organisasi sosial ini membangun gerakan yang terpecah-pecah (fragmented activism) dan gagal membangun partai politik, namun bukan berarti mereka gagal menegosiasikan kepentingan kelas bawah, dan bahkan kalangan elite politik tidak bisa mengabaikan begitu saja tuntutan-tuntutan dari gerakan sosial yang terpecah-pecah ini. Karenanya, berbagai gerakan sosial ini berperan besar dalam menyongsong demokrasi Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dinamika yang kedua adalah politik pemilihan langsung oleh rakyat (electoral populism) yang juga berkonstribusi pada hadirnya pengaruh kerakyatan dalam kancah persaingan perebutan suara pemilih. Dalam dinamika inilah para kandidat yang mecalonkan dalam posisi struktural pemerintahan berupaya menawarkan program-program kebijakan yang berpihak pada pemilih miskin demi memenangkan pemilihan atau menduduki posisi struktural di pemerintahan.

Kedua bentuk agensi kerakyatan tersebut ternyata mampu memengaruhi dan menghasilkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan kelas bawah. Aspinal mengemukakan dua bentuk kebijakan yang dipengaruhi oleh agensi kerakyatan. Pertama, kebijakan tentang hak buruh sebagai respon terhadap gerakan buruh (fragmented activism). Meski institusi politik disandera oleh kepentingan kalangan elite, namun gerakan buruh masih tetap melanjutkan berbagai tuntutan dalam menegosiasikan kepentingannya, terutama dalam meningkatkan kesejahteraan buruh. Bahkan beberapa aktivis sukses beraliansi dengan beberapa politisi dan menghasilkan kebijakan yang berpihak pada buruh, misalnya peningkatan Upah Minimum Regional (UMR). Dengan menyadari solidnya gerakan buruh, pihak pemerintah tidak berani merevisi kebijakan yang menguntungkan buruh, meski pihak perusahaan sering mengemukakan keberatan dan bahkan mengancam menghentikan produksi. Di beberapa wilayah, fenomena serupa terjadi pada gerakan tani.

Kedua, kebijakan jaminan kesehatan sebagai negosiasi dalam merebut suara pemilih (electoral populism). Tak dapat dipungkiri, Indonesia berada dalam proses menjadi negara kesejahteraan, melalui Undang-undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Sepanjang Juni 2008 hingga April 2009, presiden SBY mengalokasikan dana sebesar 2 milyar dollar untuk subsidi BBM, beasiswa, dan pendanaan usaha kecil, yang terbukti mampu meningkatkan elektabilitasnya secara drastis. Dengan adanya kebijakan desentralisasi, para elite pemerintah daerah pun menjanjikan pendanaan yang serupa, namun lebih banyak menekankan pada jaminan kesehatan, demi meningkatkan elektabilitasnya. Sehingga pendanaan jaminan kesehatan meningkat drastis di Indonesia, meski masih terhitung sangat rendah bahkan dibandingkan standar negara-negara Asia Tenggara. Berdasarkan pola pemilihan langsung inilah kelas bawah dapat diperhitungkan sebagai kekuatan negosiasi bagi kalangan elite pemerintahan.

Dengan begitu, agensi kerakyatan tidak seharusnya menghilang dalam analisis sosial. Meski kalangan elite cenderung membangun politik oligarki dalam sistem demokrasi Indonesia, namun berbagai gerakan sosial dan negosiasi kepentingan kalangan bawah terus tumbuh dan menguat dalam sejarah demokrasi Indonesia. Para pengkaji sosial seharusnya mengembangkan analisis pada dinamika sosial yang lebih luas, dan tidak terfokus pada institusi formal belaka, sehingga menyadari kekuatan civil society yang mewarnai sejarah demokrasi Indonesia.

Ikuti tulisan menarik Syiqqil Arofat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler