x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ilmuwan dari Mars, Humanis dari Venus?

Berbagai upaya dibangun untuk menjembatani dua budaya yang selama ini dianggap terpisah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"A scientist has to be neutral in his search for the truth, but he cannot be neutral as to the use of that truth when found. If you know more than other people, you have more responsibility, rather than less." 
--C.P. Snow (Ilmuwan, novelis, 1905-1980)

 

Ini catatan yang sudah cukup lama saya tulis, tapi saya ingin berbagi melalui media ini karena baru-baru ini terbit buku berjudul The Island of Knowledge: The Limits of Science and the Search for Meaning. Karya fisikawan Marcelo Gleiser ini seperti mengangkat kembali diskusi tentang dua budaya yang dilihat sebagai terpisah, yakni dunia humaniora, literer, atau kelompok ‘men of letters’ dan mereka yang dihimpun sebagai ilmuwan (natural scientist). Catatan saya seperti ini:

Setengah abad yang silam, persisnya 9 Mei 1959, C.P. Snow—seorang scientist dan novelis—berbicara perihal dua budaya (”The Two Cultures”). Di sebelah sini berdiri mereka yang bergerak di dunia humaniora, literer, yang kerap menyebut diri ”kaum intelektual.” Di seberang sana berkemah orang-orang yang tidak dianggap anggota kelompok ”men of letters” ini, seperti astronom Edwin Hubble, matematikawan John von Neumann, sibernetikus Norbert  Wiener, dan para fisikawan sekaliber Albert Einstein, Niels Bohr, dan Werner Heisenberg.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kedua budaya itu berjarak jauh. Mereka yang bergelut di dunia ilmu-ilmu kealaman (natural sciences) dipandang asyik dengan dirinya sendiri dan kelompoknya. Andaipun mereka berusaha berbicara kepada audiens umum, karya mereka diabaikan oleh kaum ”intelektual” literer ini. Tulisan mereka, nilai dan bobot pentingnya, dianggap tak cukup memenuhi untuk dilihat sebagai hasil aktivitas intelektual. Tak ada komunikasi di antara keduanya.

Snow, empat tahun kemudian, menambahkan esai baru atas gagasan yang ia sampaikan dalam ceramah di University of Cambridge itu: ”The Two Cultures: A Second Look.” Dengan optimistis ia menyebutkan, sebuah budaya baru, yang ia sebut ”budaya ketiga,” akan muncul dan menutup communications gap antara kaum intelektual literer dan para natural scientist. Ia yakin, percakapan antara keduanya akan berlangsung.

Di tahun 1996, John Brockman menggunakan istilah ”budaya ketiga” itu namun dengan pengertian yang berbeda. Brockman tidak melihat komunikasi antara intelektual literer dan para scientist, melainkan para scientist yang berkomunikasi langsung dengan publik umum. Para pemikir budaya ketiga ini menghindari gaya komunikasi lama, melalui para jurnalis, dan mengekspresikan pikiran terdalam mereka dalam bahasa yang mampu diakses publik.

Mendiang Stephen Jay Gould, Richard Dawkins, Marvin Misnky, Paul Davies, dan Stuart Kauffman, dan Roger Penrose adalah sejumlah nama yang dianggap Brockman memiliki kepiawaian mengekspresikan pikiran mereka dalam bahasa yang menggoda. Bahasa yang membuat calon pembacanya tak kuasa menolak untuk mencerna pikiran mereka.

Nama-nama itu, kata Brockman, tampil sebagai intelektual baru. Karya-karya mereka dibaca orang, dan tidakkah ini cukup sebagai bukti bahwa publik umum selama ini menyimpan rasa lapar-intelektual akan gagasan-gagasan baru, yang tidak mereka jumpai dalam pikiran kaum ”intelektual lama” yang diwakili pemikir-pemikir di wilayah humaniora, literer. Gould, Dawkins, Davies, Penrose—juga Steven Pinker, Stephen Hawking, Murray Gell-Mann—berbicara melampaui apa yang dulu dianggap sebagai wilayah natural sciences.

Media kini berbicara ihwal genetika evolusioner, superstring, fraktal, dan expert systems bukan dalam kantong-kantong yang steril dari konteks masyarakatnya, persoalannya. Publik umum, di banyak wilayah, berbicara dengan semangat keingintahuan, sebab mereka mengerti hidup mereka terpengaruh oleh semua itu.

Di saat yang sama, gagasan percakapan dua budaya seperti yang diangankan Snow tak berarti terkubur. Mengapa percakapan itu tidak mulai dikonkretkan? Itulah yang dipikirkan oleh David Sloan Wilson, guru besar biologi evolusioner, dan Leslie Heywood, guru besar sastra Inggris, di Binghamton University, New York. Mereka mencoba membangun jembatan yang diangankan Snow melalui program New Humanities Initiative.

Salah satu program inisiatif yang ditawarkan Wilson ialah pendekatan baru dalam mempelajari studi evolusi. Bila ingin melakukannya dengan benar, kata Wilson, biologi evolusioner sebagai disiplin tersendiri memerlukan pendekatan dari berbagai arah, butuh kapasitas berpikir naratif dan abstrak sekaligus.

Berbeda dengan yang dibayangkan banyak orang, kata Wilson, ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu humaniora memiliki lebih banyak persamaan ketimbang perbedaan. Ia mencontohkan, Charles Darwin membangun teori evolusinya dengan berbasis pada observasi sejarah alam. Sebagian besar informasi itu, sebagaimana terbaca dalam On The Origini of Species dan Darwin Barnacle, bersifat kualitatif.

Heywood memberi contoh lain, kajian terhadap simbolisme serigala dalam teks literer. Pendekatan humaniora yang standar, kata Heywood, menafsirkan gambaran serigala dari teks folklor. Lewat inisiatif ini, Heywood mengajak mereka yang mempelajari teks folklor untuk memperkaya pemahaman tentang serigala dengan memasuki wilayah ekologi, biologi, dan evolusi serigala.

Dengan memadukan studi awal tentang gambaran serigala dari berbagai budaya di dunia, Heywood menemukan dukungan awal bagi hipotesis, yang barangkali terdengar provokatif, bahwa manusia dan serigala tumbuh bersama (co-evolved). ”Mereka predator yang bersaing, yang hidup di ceruk ekologis yang sama seperti kita,” kata Heywood, ”mungkin kita belajar sebagian perilaku sosial dan berburu kita dari serigala.” Heywood bergerak melampaui teks folklor.

Ketika belajar musik, tari, atau bercerita, eksplorasinya tak berhenti pada bunyi, gerak, atau tutur, tapi juga pemahaman bahwa musik, tari, dan bercerita sangat dihela oleh kebutuhan biologis—dalam makna luas, sesuatu yang esensial bagi spesies seperti kita. Secara biologis, kita membutuhkan musik (bunyi), tari (gerak), bercerita (tutur). Saat ini terjadi, percakapan pun terjadi. Batas-batas yang memisahkan ”dua budaya”, yang dulu diprihatinkan Snow, terlampaui.

Berabad yang lampau, Al-Kindi, seorang jenius dari abad ke-9, mencontohkan perpaduan dua budaya itu dalam dirinya—contoh tentang ”melampaui perbatasan”. Al-Kindi menulis De Aspectibus (terjemahan Latinnya), sebuah risalah mengenai geometri dan optik, yang memengaruhi Roger Bacon. Ia juga menulis tujuh risalah tentang musik, di antaranya Kitab Utama tentang Komposisi Melodi. Ibnu Sina, yang ikut meletakkan dasar-dasar ilmu kedokteran, juga sangat dikenal karyanya tentang musik dan sastra. Umar Khayyam dari abad ke-11 adalah contoh lain sosok yang mengarungi dua dunia itu—ia penyair yang terkenal dengan Rubaiyyat-nya dan matematikawan yang kontribusi dalam mengantarkan kepada geometri non-Eucledian sangat diakui. Bukankah Leonardo da Vinci adalah seniman rupa dan sekaligus ilmuwan?

Sayangnya, seperti dikatakan mendiang Stephen Jay Gould—yang piawai dalam berbicara perihal pola sejarah kehidupan, masih juga ada orang-orang di wilayah seni dan humaniora yang bangga karena mengerti sedikit saja tentang sains dan teknologi, atau ihwal matematika. Sebaliknya, kata Gould, sangat jarang ilmuwan (natural scientist) yang merasa bangga lantaran tak mengenal siapa itu Shakespeare. ****

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu