x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Seberapa Dekat Kreativitas dengan Penyakit Mental?

Sejumlah riset menunjukkan kedekatan kreativitas genius dengan penyakit mental.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“No great mind has ever existed without a touch of madness.” 
 --Aristoteles (Pemikir Yunani, 384-322 SM)

 

Apakah kreativitas para jenius memiliki kedekatan hubungan dengan penyakit mental? Pertanyaan purba ini masih juga mengusik hingga kini. Ilmuwan berusaha memahami seperti apa hubungan antara dua kutub ekstrems dalam diri seorang manusia ini: kejeniusan dan kegilaan. Anggapan ‘karya hebat lahir dari derita yang hebat’ seperti melekat dalam benak publik.

Ilmuwan berpaling kepada Vincent van Gogh, Virginia Woolf, Ernest Hemingway, hingga John Nash dan berusaha menyelami apa yang sesungguhnya dirasakan oleh sosok-sosok kreatif ini. Tiga nama pertama bunuh diri, sedangkan matematikawan Nash berhasil sembuh dan meraih penghargaan Nobel ekonomi. Mengapa Kurt Cobin dan Jimmy Hendrix mengakhiri hidupnya di usia muda?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam acara tahunan World Science Festival, yang diadakan di New York, AS, akhir Mei silam, tiga panelis memperbincangkan riset mutakhir tentang isu ini. Ketiganya juga mengidap penyakit mental—salah satunya Kay Redfield Jamison, psikolog klinis dan guru besar di John Hopkins University School of Medicine.

Seperti dikutip livescience.com, Jamison menyebutkan, sekitar 20-30 kajian ilmiah menyodorkan istilah ‘tortured genius’—cerdas, brilian, tapi sekaligus banyak ide berkeliaran di benak si genius, juga kecemasan dan kegelisahan. Dari sekian banyak ragam psikosis, kata Jamison, kreativitas tampaknya memiliki kaitan paling kuat dengan mood disorder, dan khususnya bipolar disorder—Jamison sendiri juga mengidapnya.

Pengidap bipolar disorder bisa mengalami perubahan suasana hati yang dramatis antara sangat bahagia (disebut ‘mania’) dan kesedihan yang sangat dalam. Pertanyaan: bagaimana siklus ini sanggup melahirkan kreativitas yang hebat? James Fallon, seorang neurobiologist dari University of California di kampus Irvine, menawarkan jawabannya: “Orang yang hidup dengan bipolar cenderung menjadi sangat kreatif ketika keluar dari situasi depresi yang dalam.” Di satu saat, mereka mengalami kekacauan mood dan amat gelisah, namun merasa sangat gembira ketika kreativitas mereka keluar. Begitu paradoksal.

Upaya pertama untuk mengkaji hubungan antara genius dan kegilaan antara lain telah dimulai oleh Cesare Lombroso. Dokter Italia ini pada tahun 1891 menerbitkan The Man of Genius, sebuah buku yang bersifat anekdotal. Ia mengisahkan gosip dan catatan perilaku aneh para genius, seperti kidal, hidup selibat, gagap, dewasa lebih cepat, dan neurosis serta psikosis. Cesare mengaitkan cerita-cerita itu dengan individu kreatif seperti Jean-Jacques Rousseau, Isaac Newton, Arthur Schopenhauer, Jonathan Swift, Charles Darwin, Lord Byron, Charles Baudelaire, dan Robert Schumann. Cesare berspekulasi mengenai penyebab kegeniusan mereka, mulai dari faktor keturunan hingga pengaruh urbanisasi sampai kepada iklim.

Francis Galton, sepupu Charles Darwin, menulis Hereditary Genius (1869). Ia memanfaatkan berbagai bahan dokumentasi, termasuk pohon silsilah yang rinci dari keluarga lebih dari 20 musikus terkemuka. Menurut Galton, para genius itu mewarisi unsur genetik yang kuat.

Nancy Andreasen, peneliti lain dari era sekarang, melihat keserupaan ketika mempelajari James Joyce yang anak perempuannya menderita skizoprenia, sedangkan James sendiri merasa dirinya juga seorang skizoprenis. Bertrand Russell, filosof, memiliki anggota keluarga yang juga skizoprenis. Begitu pula dengan Albert Einstein. Jadi, Nancy berhipotesis bahwa para genius memiliki silsilah yang demikian, meski para genius itu sendiri pada umumnya dalam kondisi yang relatif baik.

Sebagai psikiatri dan neuroscientist yang mempelajari kreativitas, Nancy memperoleh kesenangan dari bekerja dengan banyak orang yang sangat berbakat, tapi Kurt Vonnegut menjadi salah satu favoritnya. Sastrawan ini merupakan studi kasus yang sempurna dalam kajian Nancy tentang hubungan antara kreativitas dan penyakit mental.

Sebentar-sebentar, kata Nancy, Kurt mengalami depresi. Ibu Kurt juga menderita depresi dan bunuh diri pada Hari Ibu ketika Kurt berumur 21 tahun. Anak Kurt bernama Mark, seorang dokter, semula didiagnosis skizoprenia tetapi senyatanya ia mengidap bipolar disorder. Dalam dua judul buku, The Eden Express: A Memoir of Insanity dan Just Like Someone Without Mental Illness Only More So, Mark mengisahkan perjuangan keluarganya untuk mengatasi masalah kejiwaan.

Kendati penyakit mental melanda keluarga Vonnegut, Nancy menemukan pula kreativitas di dalam keluarga ini. Ayah Kurt seorang arsitek berbakat, dan kakaknya Bernard seorang ahli kimia-fisika berbakat serta penemu yang mencatatkan 28 paten. Mark dokter dan penulis, dan kedua anak perempuan Kurt visual artist. Kurt meninggal dalam kondisi normal bila dibandingkan dengan mereka yang kalah dalam pertarungan melawan sakit dengan cara bunuh diri, seperti Woolf, Hemingway, van Gogh, maupun Sylvia Plath.

Kendati banyak studi yang berujung pada kesimpulan serupa, tidak serta merta para ahli kesehatan mental bersepakat. “Ada banyak genius yang tidak sakit mental, dan ada banyak orang yang sakit mental tapi bukan genius,” ujar Lloyd Sederer, direktur medis New York State Office of Mental Health. Perdebatan tentang sejauh mana kedekatan kreativitas genius dengan penyakit mental tampaknya belum bakal usai. Para pendukung gagasan ‘tortured genius’ dihadapkan pada tantangan yang diajukan Sederer. (Sbr foto: utmedhumanities.wordpress.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler