x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Cendekia yang Tersisa

Di tengah hiruk pikuk perebutan kuasa para elite politik, kaum cendekia kita kurang terdengar suaranya. Sebagian ikut larut, sisanya hanya menjadi penonton.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

The intellectual is different from the ordinary man, but only in certain sections of his personality, and even then not all the time.
--George Orwell (Penulis, 1903-1950)

 

Setelah melewati periode tidur panjang, apa yang disebut sebagai ‘kebangunan (kembali) demokrasi’ ternyata diwarnai oleh fenomena mencolok: korupsi. Bukan lagi kejanggalan, uang telah menjadi sumber daya kekuasaan yang mampu mengubah prinsip dan karakter. Para elite membutuhkan sumber daya material yang andal agar mampu menghadapi persaingan di antara mereka sendiri dan tantangan para oligark dalam memperebutkan kuasa politik.

Di tengah elu-elu atas pertumbuhan ekonomi, yang berbaur dengan korupsi yang terus menular bagai wabah dan keadilan sosio-ekonomi yang tak kunjung tegak, ke arah mana bangsa ini hendak menuju? Mungkinkah kita tengah kehilangan orientasi lantaran kekaburan tentang apa yang harus menjadi pegangan di tengah begitu banyaknya paradoks.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Betapa sukar menemukan gagasan besar tentang masa depan Indonesia tatkala percakapan dipadati oleh keinginan yang tak putus-putus minta segera dipenuhi. Demi sebuah jabatan publik, bersekutu dengan siapa lebih penting ketimbang bersekutu karena gagasan yang sama. Mereka melipat gagasan di bawah bantal demi memenuhi hasrat kuasa yang sangat mendesak.

Alangkah sulit mendapati diskursus yang bersemangat seperti dulu ketika orang memperdebatkan jalan mana yang sebaiknya ditempuh, antara ‘Widjojonomics’ dan ‘Habibienomics’. Perdebatan itu begitu hangat dan berbobot. (Ada sebuah foto yang merekam adegan B.J. Habibie menghadiri acara ‘peringatan 40 hari wafatnya Widjojo Nitisastro’ di FE-UI tahun 2012. Sangat mengesankan, perbedaan pandangan itu tidak mengubur keakraban hubungan pribadi).

Kita barangkali tengah mengalami apa yang disebut oleh Jeffrey Goldfarb dalam Civility and Subversion sebagai ‘systemic deliberation deficit’. Lalu lalang percakapan tidak beranjak dari telaah yang dalam. Keriuhannya dipandu oleh respons refleks semata. Sebuah kecurigaan sanggup melontarkan debat berkepanjangan. Di titik itu yang disebut rakyat hanyalah penonton belaka dari lalu lalangnya percakapan para elite politik. Barangkali benar apa yang dikatakan oleh filosof Bertrand Russell bahwa “politik pada umumnya dikendalikan oleh slogan-slogan hampa yang tidak mengandung kebenaran.”

Sebagian kita bertanya-tanya: di manakah para inteligensia ketika masyarakatnya kehilangaan orientasi? Di manakah kaum intelektual yang mengusung amanah sejarah untuk selalu mengusik kemapanan dengan ide-idenya yang disruptif? Di manakah mereka yang memperoleh tugas historis untuk menunjukkan arah gerak masyarakatnya?

Bagi sebagian intelektual, alangkah sukar untuk tetap bertahan menjadi seseorang yang terasing dari kuasa sekaligus memikirkan persoalan yang dihadapi masyarakat dan kekuasaan. Sebagai ‘orang-orang asing’ yang bertindak otonom dari pusat-pusat kekuasaan, mereka dapat berperan khusus mendorong diskursus berbobot tentang isu-isu kemasyarakat yang paling menekan.

Tetapi politik kini tengah menjadi panglima, segala soal ditelisik dari sudut pandang politik. Gagasan yang dilontarkan kaum cendekia sebagai ‘orang asing’ menumbuk dinding-dinding yang bebal, untuk kemudian memantul kembali dan hilang terbawa angin. Mendiang Vaclav Havel, sastrawan yang mendorong revolusi dan kemudian memimpin negeri Ceko, pernah mengatakan, “Politik dan intelektual dapat dihubungkan, tapi tanggung jawab bagi ide-ide tetap di tangan intelektual.”

Entah membaca Havel atau tidak, para intelektual yang tertawan oleh kuasa membuktikan betapa tidak mudah memanggul dua tanggung jawab sekaligus. Barangkali mereka ikut memasuki arena politik/kuasa dengan mengusung gagasan seperti halnya para pendiri republik ini. Mereka, pada mulanya, adalah intelektual publik yang tekun memikirkan persoalan masyarakatnya dan menyampaikan pandangannya sekalipun di bawah tekanan kolonial. Setelah merdeka, sebagian mereka gagal mewujudkan gagasannya karena terlempar dari kekuasaan dan sebagian lainnya gagal karena tertawan oleh kekuasaan.

Pesona kuasa itu pula yang sukar ditampik oleh sebagian intelektual yang hidup di masa sekarang. Namun, alih-alih memperadabkan kontestasi politik dan mensubversi konsensus-konsensus yang hanya memuaskan sebagian kecil orang, mereka justru ikut menikmati permainan. Mereka lipat gagasan di bawah bantal.

Ketika keputusan-keputusan di dunia modern begitu kompleks dan memiliki watak saling-terkoneksi, para pemimpin politik sesungguhnya dapat mengambil manfaat dari partisipasi para intelektual yang berada di sekitarnya. Para intelektual dapat berperan memperluas pemahaman pemimpin politik perihal konsekuensi jangka panjang dari sebuah keputusan dan tindakan yang mereka ambil. Sayangnya, hasrat akan kuasa yang demikian besar telah mengabaikan pikiran dan peran yang dapat disumbangkan oleh kaum cendekia itu.

Peran itu terpinggirkan. Terlampau banyak hiruk pikuk politik yang menguras sumber daya, barangkali pula karena gagasan semakin menjadi sesuatu yang asing. Tugas intelektual untuk menjaga perspektif kritis terhadap seluruh usulan kebijakan menjadi kian berat. Sebagian dari mereka, karena itu, terlempar dari lingkaran kekuasaan. Sebagian lainnya semakin larut dalam permainan. Drama yang dimainkan oleh para pendiri negeri ini seakan berulang.

Kaum cendekia yang tersisa memang masih menyempatkan diri berbicara kepada masyarakat tentang persoalan-persoalan paling krusial yang dihadapi bangsa ini. Sayangnya, kerap kali suara mereka ditelan oleh hiruk-pikuk percakapan para elite politik yang tidak mencerahkan. Sanggupkah para cendekia ini bertahan di luar lingkaran, mengambil jarak dari rekan-rekannya yang telah tertawan oleh kekuasaan, dan tetap tekun memandu masyarakatnya? Inilah tantangan terberat mereka, bukan penjara. (sbr foto: tempo) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler