x

Iklan

Muhammad Isnaini

HP 0813 7000 8997. Alamat di Petatal, Batu Bara, Sumut. Penangkar bibit aren, asam gelugur, lada, durian dll.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Marketing Membuang Nurani

Hidup ini bukan hanya untuk mencari uang. Ada juga bisikan nurani yang harus didengar. Agar utuh arti kebahagiaan itu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Suatu hari, adik sepupuku bercerita tentang pekerjaannya sebagai salesman produk kursi pijat di salah satu mall kesohor di kota Medan.

 

“Kerja kayak gitu Bang, kita cuma pakai mulut sama otak. Hati nurani udah gak boleh dipakai lagi. Apa pun ceritanya, barang yang kita jual harus laku. Kita merayu, kalau perlu menipu. Yang penting ada setoran minimal tiap minggunya”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Menipunya dari segi apa?”, tanyaku serius.

“Dari harga misalnya”, sepupuku menjawab cepat.

“Kan sudah ada standar harga?”, tanyaku mendalami.

“Ah, itu kan bisa-bisa kita aja, Bang. Kadang kalau kita tengok calon pembeli itu orang kaya berat, bisanya kita bikin harganya dua kali lipat”.

“Apa gak ketahuan sama supervisor?”, punggahku lagi.

“Alah Bang, kalau tahu dia, dia pulak mintak bagian separoh”, tukas sepupuku itu sambil ketawa.  “Gak ada Bang, dunia marketing itu kejam. Barang tak bagus aja kita poles bisa laku mahal. Apalagi kalau tempat jualannya VIP”, tambah sepupuku.

Aku Cuma melongo.

 

***

 

Suatu hari aku ditelpon orang dari Riau.

“Selamat pagi Pak Muhammad Isnaini, saya Rahmad dari Bangkinang, Riau. Mau beli bibit ubi racun. Apa ada Pak?”, suara di ujung telpon.

“Ada Pak. Butuh berapa?”, tanyaku antusias.

“Kira-kira sepuluh ribu stek lah. Kami mau menanam satu hektar. Berapa harganya, Pak?”, Rahmad bertanya.

“Satu stek panjang dua puluh lima senti harganya empat ratus Rupiah”, jawabku galau. Aku jadi bertanya-tanya dalam hati, apakah harga itu cocok atau tidak. Maklum, seumur-umur, aku tak pernah menjual bibit ubi racun.Yang biasa kujual adalah jenis yang lain. Tapi bayangan uang empat juta Rupiah cukup menguatkan hatiku.

 

“Begini Pak, kami ini terus terang saja, belum pernah menanam ubi. Di daerah kami itu, banyak babi hutan.  Jadi kami mau menanam ubi racun saja, biar tak dimakan babi hutan. Kalau dimakannya, kan mati dia”, Rahmad menerangkan prospek usahanya.

“Wah Pak, kalau ubi racun, babi hutan juga mau makan daunnya”, aku menjawab refleks.

“Lho, jadi ubi racun dimakan juga sama babi hutan, ya Pak?”, Rahmad bertanya dengan nada terkejut.

“Ya, daun ubi racun itu, mau juga babi hutan memakannya. Yang beracun tinggi itu umbinya, daunnya tidak”, jawabku sejujurnya.

“Wah, kalau gitu, kami pikir dulu ya Pak. Terima kasih atas pemberitahuannya”, Rahmad lalu menutup telpon.

 

Aku terduduk lemas. Bayangan uang empat juta langsung amblas.

Tetapi kemudian aku berfikir. Jika aku tak menerangkan bahwa babi hutan juga mau memakan daun ubi racun, maka Rahmad akan menderita kerugian yang lumayan besar.

Kasihan juga.

 

Walau pun aku tak bersalah karena ia tak bertanya, tetapi aku akan merasa bersalah karena membiarkan orang merugi akibat ketidak tahuannya.

Lagi pula, rejekiku masih ada banyak di masa depan nanti.

Tetap jujur, tetap menjaga kebaikan.

 

Karena aku adalah marketing kampung yang mencoba mencari rejeki halalan thoyibbah.

Dan, aku masih punya hati nurani.

 

Foto : http://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/polrestabes-bandung-amankan-sejumlah-barang-bukti-uang-_140224171946-485.jpg(Diolah dengan Photoshop).

Ikuti tulisan menarik Muhammad Isnaini lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler