x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bila Manusia dan Cara Kerja Tidak Seirama

Banyak perusahaan terhambat untuk maju lantaran proses kerjanya tidak selaras dengan profil sumber daya manusianya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"The productivity of work is not the responsibility of the worker but of the manager."
--Peter Drucker (Guru manajemen, 1909-2005)
 

Mengelola bisnis di masa sekarang tidak bisa sambil lalu atau dengan gaya ‘alon-alon waton kelakon’ (Bahasa Jawa yang bermakna pelan-pelan, yang penting berjalan). Lingkungan bisnis yang cepat berubah, pendatang baru yang silih berganti memasuki arena kompetisi, dan pelanggan yang semakin tidak mudah dijaga agar tetap loyal adalah sebagian tantangan yang dihadapi pelaku bisnis saat ini.

Perusahaan dituntut untuk sanggup menyesuaikan diri terhadap perubahan secara lentur. Sayangnya, tidak mudah menggerakkan seluruh lini dalam perusahaan untuk bisa adaptif dengan cepat. Bayangkanlah seperti ini: untuk memenuhi permintaan konsumen yang meningkat, manajemen memutuskan untuk memperbarui teknologi informasi yang sudah ada. Perusahaan merekrut karyawan baru TI. Dalam waktu tidak lama, perusahaan telah memiliki kemampuan TI yang lebih maju.

Tapi, ternyata perusahaan masih juga sulit bergerak cepat memenuhi harapan konsumen yang, katakanlah, melaju dengan kecepatan 100 km/jam. Bagian-bagian selain TI menemui hambatan untuk berubah cepat. Bagian pemasaran berusaha mengimbangi bagian TI dengan bergerak agresif, sebutlah lajunya 75 km. Namun, bagian produksi belum sanggup mengimbangi, kecepatannya baru 60 km/jam, sedangkan bagian keuangan masih terbata-bata menyesuaikan diri dengan cara kerja dan pelaporan yang baru—lajunya 50 km/jam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perbedaan kemampuan dalam beradaptasi terhadap perubahan ini menimbulkan ketidakserasian gerak antar bagian dalam perusahaan. Lazimnya disebut de-sinkronisasi. Kita dapat membayangkan bagaimana perbedaan kecepatan ini memengaruhi kinerja perusahaan karena jalannya tidak seirama. Alhasil, kemampuan teknologi yang berubah cepat tidak dapat segera dimanfaatkan secara optimal. Manajemen bekerja keras untuk membenahi organisasi agar kerja antar bagian dapat sinkron.

De-sinkronisasi juga bisa terjadi bila orang yang bekerja tidak sesuai dengan proses kerja. Misalnya begini, sebuah organisasi melakukan reformasi dalam rekrutmen pegawai baru agar jumlah karyawan yang keluar tidak tinggi. Perusahaan ini berusaha mendapatkan orang-orang muda yang kreatif, independen, dan self-motivated. Namun, setelah direkrut, sebagian karyawan baru ini ternyata juga meninggalkan perusahaan tidak lama kemudian. Apakah profilnya tidak cocok?

Ternyata, persoalannya lebih dari sekedar rekrutmen, melainkan karena ‘orang’ dan ‘proses kerja’ tidak selaras. Meskipun para manajer menghargai karakteristik yang dimiliki karyawan muda ini, seperti kreatif, independen, punya inisiatif, namun proses kerja dalam perusahaan tidak mencerminkan hal itu. Alih-alih bekerja mandiri dan kreatif, para pekerja baru ini diharapkan menyelesaikan tugas yang telah didefinisikan secara kaku dengan cara-cara konvensional. Mereka diminta menyerahkan ‘hasil kerja’ mereka melalui hierarki yang sudah mapan.

Desinkronisasi ‘orang’ dan ‘proses’ menjadi akar persoalan mengapa tingkat retensi sukar diperbaiki. Jumlah karyawan yang keluar tetap saja tinggi. Karena proses-proses internal dalam perusahaan tidak sesuai dengan profil orang yang dipekerjakan, maka bakat-bakat bagus yang sudah direkrut tidak berfungsi dalam kapasitas penuh. Kehadiran mereka malah mubazir.

Sudah jelas bahwa orang, proses, strategi, teknologi, dan struktur harus selaras satu sama lain dan selaras dengan tuntutan lingkungan sekarang maupun masa depan agar organisasi berhasil. Untuk mengatasi persoalan de-sinkronisasi, perusahaan harus berubah. Tidak ada cara lain yang membuahkan hasil bagus.

Tentu saja, perubahan tidak mudah dilakukan. Meskipun proses untuk berubah atau ‘menjadi adaptif’ mungkin menantang, namun prinsip-prinsip di belakangnya tidak rumit. Pertama, sadarilah bahwa de-sinkronisasi ada. Sebuah organisasi yang tidak menyadari fenomena ini tidak akan bisa mulai mengidentifikasi bahwa perusahaan menghadapi persoalan serius. Kedua, pertimbangkan kinerja organisasi melalui lensa sinkronisasi, berpikir secara rasional mengenai tiap-tiap area kunci dalam perusahaan. Ketiga, berpikirlah kreatif, tidak usah takut untuk melakukan eksperimen. Gunakan betul kemampuan imajinatif Anda. (sbr foto: Tempo) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler