x

Iklan

Iqbal Kautsar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kebijaksanaan Uma Lengge di Bima

Sebagian besar masyarakat Bima telah beralih kepada rumah ‘generik’, yang berbentuk persegi, beratap genteng. Maraknya pembangunan telah mencerabut khasanah tradisi Uma Lengge yang telah ada sejak enam abad silam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ibu Yanti dengan cekatan menggerus bulir-bulir gabah untuk dimasukkan ke dalam karung. Cuaca mendung membuat hari ini dia lebih cepat mengemasi gabah yang dia gelar. Matahari malu-malu siang itu. Karung-karung gabah ini kemudian akan dia masukkan di Uma’ Lengge. Disimpannya sembari berharap matahari terik esok hari. Uma’ Lengge menjadi lumbung padi yang mentradisi dari suku Mbojo, masyarakat asli Bima, Nusa Tenggara Barat.

Sudah tidak banyak lagi bisa ditemukan masyarakat yang mempertahankan eksistensi Uma’ Lengge. Di daerah Bima, tinggal hanya tiga daerah yang tetap menjaga tradisi Uma’ Lengge. Yakni di Wawo, Sambori serta Donggi. Sebagian besar masyarakat Bima telah beralih kepada rumah ‘generik’, yang berbentuk persegi, beratap genteng. Maraknya pembangunan telah mencerabut khasanah tradisi Uma Lengge yang telah ada sejak enam abad silam.

Bersama sahabat baru asli Bima: Dian Pratiwi, saya, @linggabinangkit dan @megahanda bertakzim ke Uma Lengge di Desa Maria, Wawo, Kab. Bima. Kami mencoba mengenal kearifan Uma Lengge yang tetap bertahan tak lekang oleh zaman.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Konstruksi Sarat Fungsi

Secara umum, Uma Lengge berwujud sebagai rumah panggung. Konstruksinya menggunakan bahan kayu dengan atap dari ilalang yang menutupi tiga perempat bagian rumah. Arsitekturnya berbentuk limas dengan ditopang empat kaki kayu utama. Ukuran Uma Lengge sekitar 4 x 4 meter, dengan tinggi hingga puncaknya mencapai 7 meter.

Susunan ruang dalam Uma Lengge terdiri dari empat tingkat. Lantai dasar atau kolong berfungsi sebagai tempat menyimpan ternak. Lantai pertama digunakan untuk menerima tamu dan kegiatan upacara adat. Lantai kedua berfungsi sebagai tempat tidur sekaligus dapur. Sementara itu, lantai ketiga atau atap digunakan untuk menyimpan bahan makanan, seperti padi.

Menurut ahli antropolog dari Barat, Albert dalam kunjungannya di Bima pada tahun 1909 menamakan Uma Lengge dengan “A Frame” karena wujudnya menyerupai huruf A. Rumah seperti ini berfungsi sebagai penyimpan panas yang baik. Hal ini cocok pada daerah pegunungan yang berhawa dingin seperti daerah Wawo ini. Konstruksi “A Frame” juga sangat tahan terhadap terjangan angin dan badai. Selain itu, struktur seperti ini membuat tikus tidak bisa masuk ke Uma Lengge.

Tak semua warga punya Uma Lengge karena kepemilikan Uma Lengge diperoleh secara turun temurun dari leluhur keluarga masing-masing. Pemilik rumah akan memberi kepercayaan kepada dua orang untuk menjaga dan mengelola sumberdaya pangan di Uma Lengge. Sang pemilik rumah hanya boleh mengambil bahan pangan sekali seminggu.

Saat panen, prosesi penyimpanan padi di Uma Lengge dimulai dengan Ampa Fare. Upacara ini merupakan tradisi masyarakat Wawo ketika menyimpan padi ke lumbung pertama kali pasca panen. Pada upacara ini, akan dilakukan tarian tradisional yang diiringi oleh bebunyian musik dari tumbukan alu dari para wanita setempat.  Suasana akan sangat ramai dengan kehadiran seluruh masyarakat Wawo yang berpartisipasi.

Uniknya, saat Ampa Fare ini, para wanita Desa Wawo akan berbusana Rimpu. Rimpu ini semacam jilbab atau kerudung, tetapi bahannya dari sarung. Menurut warga setempat, rimpu bisa menandai status perkawinan para wanita. Yang sudah menikah atau punya tunangan, menggunakan rimpu yang hanya menutupi rambut dan wajahnya tetap terlihat utuh. Sementara gadis yang belum punya tunangan menggunakan rimpu hingga menutupi wajah, hanya menyisakan mata yang terlihat.

“Ketika padi di Uma Lengge digunakan pemiliknya untuk acara hajatan, para tetangga juga akan membantu. Si pemilik akan menurunkan beberapa ikat padi dari Lengge, sedangkan tetangga  akan membantu proses menumbuk padi hingga proses penumbukan menjadi beras. “ tutur Bu Yanti.

Jika ada hajatan besar seperti syukuran khitanan atau perkawinan, prosesi menurunkan padi dari Lengge akan sangat ramai. Para wanita yang bergotong royong di kompleks Uma Lengge akan menarikan tarian tradisional dengan iringan musik dari bunyi-bunyian penumbuk alu untuk menambah semangat bekerja.

 

***

Siang telah mulai meluntur dan mendung tetap awet menggelayut. Pada sore yang kian menjelang, kami pun meninggalkan Kompleks Uma Lengge Wawo yang sejak 1993 ditetapkan Pemerintah Kab. Bima sebagai cagar budaya. Ada pelajaran berharga, bahwa di tengah modernisasi yang gencar melunturkan tradisi, sepenggal harapan pada konstruksi arif Uma Lengge tetap bertahan di Wawo. Meski pada kenyataannya, sudah mengalami pergeseran yang kentara.

Sejatinya, lumbung pangan seperti Uma Lengge di Bima adalah simbol dari masyarakat Nusantara yang berbudaya agraris. Para nenek moyang mengajarkan betapa tingginya penghormatan manusia pada pangan. Segala pangan yang merupakan sumber kehidupan harus bisa dikelola dengan baik. Uma Lengge akan menghindarkan masyarakat dari kekurangan makanan sekaligus mencegah pemborosan pangan.

Ikuti tulisan menarik Iqbal Kautsar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB