x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Altruistic Capital: Menantang Asumsi ‘Uang Segalanya’

Dalam diri manusia terdapat keinginan untuk membantu orang lain, menolong, juga melayani dengan sebaik-baiknya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Work done in the spirit of service is the highest form of worship.”
--Abdul Baha (Putra pendiri sekte Baha’i, 1844-1921)

 

Kepuasan pelanggan adalah tujuan yang ingin dicapai oleh setiap perusahaan dengan cara memberikan pelayanan terbaik. Manajemen selalu menekankan kepada karyawan untuk memperlakukan pelanggan dengan cara yang mengesankan (impresif) sehingga mereka menjadi pelanggan yang loyal. Bila pelanggan loyal, perusahaan dapat terus memetik laba (profit) dan selanjutnya meningkatkan kapital.

Konsep kapital sudah lama menjadi isu penting dalam studi ekonomi dan bisnis. Para pelaku bisnis disibukkan oleh aktivitas untuk memaksimalkan kapital, baik fixed capital (bangunan, pabrik, mesin), financial capital, maupun human capital. Beragam cara ditempuh oleh manajemen perusahaan untuk mendorong karyawan agar meningkat produktivitasnya, seperti memberi insentif dan bonus uang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun memberi pelayanan terbaik sesungguhnya bukan dilandasi oleh motif ekonomi semata. Dalam diri manusia terdapat keinginan untuk membantu orang lain, menolong, juga melayani dengan sebaik-baiknya. Ketika seorang pramugari menolong seorang penumpang yang kesulitan memasang sabuk pengaman, motifnya bukan sekedar memenuhi standar pelayanan yang ditetapkan maskapai tempat ia bekerja, tapi juga didorong oleh keinginan untuk menolong dan berbuat kebaikan kepada orang lain.

Keinginan untuk melayani orang lain, yang bersifat intrisik ini, disebut oleh Prof Nava Ashraf sebagai altruistic capital. Dalam sebuah organisasi, kata Ashraf, guru besar di Harvard Business School, AS, semua karyawan memiliki kapital ini dengan derajat yang beragam.

Gagasan tentang altruitic capital ini muncul setelah Ashraf melakukan kajian tentang apa yang paling memotivasi para aktivis organisasi nirlaba di berbagai negara di Afrika, antara lain Zambia dan Pantai Gading. Di Zambia, Ashraf mengajak para penata rambut untuk menjadi edukator bagi orang-orang yang datang ke salonnya mengenai HIV/AIDS.

Ia meyakini gagasan ini bisa menjadi pelajaran penting bagi sektor swasta. “Sebagai manajer, bagaimana Anda mengelola pekerjaan dapat meningkatkan atau menurunkan besarnya altruistic capital.”

Secara historis, ekonom dan perusahaan memegang teori bahwa pekerja termotivasi untuk memperoleh insentif finansial dan pendapatan. Dalam merancang proyek-proyek pembangunan di negara kurang maju, organisasi nirlaba cenderung mengikuti teori ini pula. “Pendekatan tradisional ala swasta ini mengasumsikan bahwa jika Anda tidak memberi bagian keuntungan perusahaan kepada seseorang, mereka tidak akan merasa memiliki perusahaan itu.”

Namun, dalam prakteknya, tidak mudah bagi badan-badan layanan sosial untuk memberi insentif finansial. Organisasi nirlaba pada umumnya tidak mampu memotivasi staf dengan iming-iming gaji besar dan insentif bonus. Karena itu, cara yang dapat ditempuh pemimpin organisasi nirlaba untuk memotivasi stafnya ialah dengan menunjukkan bahwa kerja mereka sangat bermanfaat bagi banyak orang, bahwa mereka telah membantu orang lain keluar dari kesulitan. Dalam studi Ashraf di Zambia, para penata rambut giat mengedukasi pelanggannya karena mereka mengetahui bahwa mereka telah ikut mencegah peningkatan pengidap HIV/AIDS.

Soalnya kemudian, di tengah lingkungan yang serba bermotif ekonomi, sejauh mana para manajer mampu mendorong karyawan untuk menyumbangkan yang terbaik dengan memanfaatkan altruistic capital. Kuncinya boleh jadi berpulang kepada visi perusahaan yang meletakkan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan utama--bahwa dengan memberi kontribusi terbaik, setiap karyawan bersama perusahaan telah ikut serta menyejahterakan masyarakat.

Sanggupkah pendekatan altruistic capital menantang asumsi ‘uang segalanya’ yang selama ini dipegang? (Sbr foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu