x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Drama Politik: Cukupkah Kita Jadi Penonton?

Upaya kita mendirikan bangunan masyarakat terbuka yang saling menghormati membentur kepentingan segelintir orang yang mengusung panji-panji orang banyak.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Tyranny naturally arises out of democracy.”
--Plato (Pemikir Yunani, 427-347 SM)

 

Hidup dalam sebuah komunitas, masyarakat, atau bangsa-negara tidak selalu merupakan pilihan-bebas bagi individu-individu. Sebagai individu, kita kerap tidak memiliki pilihan kecuali mengikatkan diri pada suatu himpunan tertentu, dengan beragam alasan dan karena berbagai pertimbangan. Mungkin pula tanpa alasan dan pertimbangan apapun karena pilihan-bebas tidak lagi menjadi milik kita.

Betapa sering kita berjalan ke arah tertentu karena pilihan orang lain yang kita tidak mampu menampiknya; betapa kerap kita menyuarakan kehendak tertentu sebab itulah yang dikehendaki orang lain; betapa kita nyaris selalu bertepuk tangan lantaran orang lain bertepuk begitu keras dan kita terpaksa mengikutinya. Waktu kita, keringat kita, kening kita, tersita untuk memberi tepuk tangan bagi orang lain: menyemangati atau mungkin menyoraki.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hidup jadi meletihkan ketika sekeliling kita penuh hiruk-pikuk berkepanjangan. Kita bagai bangsa yang terperangkap dalam pusaran yang merampas waktu, keringat, dan kerut-kerut kening kita, dan beralih dari satu pusaran ke pusaran soal lainnya. Kita cemas menyaksikan drama di pentas politik, namun yang lain mungkin menikmati, asyik bermain, atau malah bersorak.

Barangkali, pusaran itu sesuatu yang perlu sebagai ujian agar kita mampu melejit ke tataran yang lebih matang—tentu saja, apabila kita mau dan sanggup mencecap sarinya. Tapi, betapa kerap kita menuliskan catatan pahit berulang-ulang, hingga tinta nyaris kering. Dari satu catatan ke catatan berikut, dan tetap saja pahit. Apakah kita manifestasi Sisiphus yang berulang kali mengangkat batu hingga nyaris tiba di puncak bukit tapi urung dan berguling kembali ke dasar?

Upaya kita mendirikan bangunan masyarakat terbuka yang saling menghormati membentur kepentingan segelintir orang yang mengusung panji-panji orang banyak, mereka yang cakap dalam berkata-kata, mereka yang mengisi kolom-kolom berita, nyaris setiap hari, mereka yang suaranya terdengar di studio-studio televisi. Di mana suara publik yang selebihnya, yang jauh—teramat jauh—lebih banyak? Hanya menjadi penonton yang menyaksikan segelintir orang bermain di atas panggung dengan mengatasnamakan orang kebanyakan?

Tirani, kata Plato, orang Yunani purba itu, lahir dari rahim demokrasi. Ketika engkau dominan, maka engkau yang dominan punya kuasa untuk menekan persaingan berbekal aturan permainan, engkau punya kuasa memilih siapa saja untuk duduk di kursi manapun agar engkau bisa mengendalikannya, engkau bisa mengambil apa saja yang rakyat punya hingga mereka bergantung kepadamu dan memenuhi permintaanmu.

Hidup kita pendek, mestikah kita menyerahkan suara kita satu-satunya yang paling berharga kepada segelintir orang yang merasa (atau merasa berhak) mewakili dan mengatasnamakan kita. Padahal mereka tengah menciptakan tragedi bagi kita—orang kebanyakan yang mereka butuhkan sebagai ornamen demokrasi. Cukupkah kita hanya menjadi penonton drama politik di atas panggung yang hiruk pikuk itu? (Sbr foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler