x

Iklan

Abdul Manan

Jurnalis yang tertarik mengamati isu jurnalisme, pertahanan, dan intelijen. Blog: abdulmanan.net, email abdulmanan1974@gmail.com
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perang Suriah, Inkubator bagi Generasi Baru Teroris

Militan dari Indonesia yang berjihad ke Suriah, berdasarkan taksiran sampai Mei 2014, sebanyak 30 sampai 60 orang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Konflik Suriah kini memasuki tahun ketiga dan sepertinya tak akan mereda dalam waktu segera. Ribuan orang tewas dalam konflik yang bermula dari demonstrasi damai menentang kebijakan pemerintah pada tahun 2011 lalu, dan jutaan warganya kini mengungsi ke negara sekitar.

Demonstrasi damai itu berujung pada perlawanan bersenjata oleh para oposisi, yang kemudian mendapat dukungan besar negara Barat, termasuk Amerika Serikat. Oposisi, bersama-sama dengan kelompok militan Islam, bahu membahu untuk menjungkalkan pemerintahan Basar al-Assad.

Pemberontakan sekitar tiga tahun tak membuat Assad jatuh. Yang terjadi kemudian justru para penentangnya yang terbelah. Salah satu kelompok militan, Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), yang berjuang bersama oposisi, akhirnya memilih jalan sendiri dengan mendirikan negara Islam, yang berbeda dengan cita-cita para oposan Assad.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

ISIS tak hanya memiliki daerah kekuasaan di Suriah, tapi juga berhasil mencaplok sebagian wilayah Irak. Dukungan dari kelompok Sunni di Irak membuat invasi ISIS ke negara itu lebih mudah, karena komunitas ini merasa tak mendapat tempat di bawah pemerintahan Perdana Menteri Irak Nouri Maliki yang Syiah.

Setelah negaranya membentang dari sebagian Suriah dan Irak, ISIS mengubah namanya menjadi Islamic State (IS). Kelompok yang dulunya berjuang bersama kelompok oposisi Suriah dan didukung negara Barat itu, kini berbalik menjadi musuh yang ditakuti, seperti halnya Assad.

Di wilayah yang dikuasainya, IS menerapkan hukuman keras, yang salah satunya ditunjukkan dengan memenggal sejumlah orang asing. Kampanye IS melalui sosial media, juga membuat banyak para relawan datang berjihad ke Suriah. Fakta ini yang menjadi sumber sakit kepala baru para kepala pemerintahan dan badan intelijen di negara Barat.

Menurut taksiran The Soufan Group dalam laporan berjudul Foreign Fighters in Syria yang diterbitkan Juni 2014, diperkirakan lebih dari 12.000 militan dari setidaknya 80 negara yang masuk ke Suriah untuk membantu menggulingkan pemerintahan Presiden Bashar al-Assad.

Inilah asal negara para relawan 'jihad' itu: Aljazair (sekitar 200), Australia (sekitar 250), Belgia (sekitar 250), Kanada (sekitar 30), Denmark (100), Finlandia (lebih dari 30), Prancis (lebih dari 700), Jerman (270), Indonesia (antara 30-60), Irlandia (antara 25-30), Kosovo (antara 100-120), Kyrgyzstan (sekitar 10), Maroko (sekitar 1.5000), Belanda (120), Norwegia (antara 40-50), Federasi Rusia (lebih dari 8000), Saudi Arabia (sekitar 2.500), Singapura (1), Spanyol (51), Swedia (sekitar 30), Swis (sekitar 10), Tunisia (sekitar 3.000), Turki (sekitar 400), dan Inggris (sekitar 400).

Tiga kelompok yang menjadi daya tarik para pejuang asing itu datang ke Suriah adalah Ahrar al-Sham, Jabhat al-Nusra, dan IS. Ketiga kelompok besar militan ini awalnya didirikan oleh anggota al-Qaeda. Menurut The Soufan Group, motivasi para relawan itu bervariasi. Tapi secara umum mereka menyebut jihad sebagai alasan utama untuk berperang di negeri orang tersebut.

Kepemimpinan al-Qaeda mengambil keuntungan dalam konflik di Suriah dan melihatnya sebagai kesempatan untuk memulihkan pengaruhnya setelah mendapat tekanan hebat sejak tahun 2001. Al-Qaeda juga disebut telah mengirim tokoh-tokoh seniornya ke wilayah ini.

"Terlepas apa yang mungkin terjadi di Suriah, jika al-Qaeda dapat mempertahankan jaringannya, memotivasi sejumlah kelompok kecil atau merekrut pejuang untuk agenda terorismenya saat mereka masih di Suriah, hal itu mungkin sekali lebih menimbulkan ancaman global yang signifikan," tulis Richard Barrett, wakil presiden senior The Soufan Group, penulis laporan Foreign Fighters in Syria.

"Perang Suriah mungkin menjadi inkubator bagi generasi baru teroris," tulis The Soufan Group dalam temuan utamanya. Pada saat yang sama, sumber daya nasional di sebagian besar negara tidak cukup untuk memantau semua militan itu yang nantinya kembali ke negaranya. Apa yang akan terjadi saat mereka pulang ke tanah air, itulah yang kini menjadi kekhawatiran banyak negara. Termasuk Barat, yang sekitar 3.000 warganya ke Suriah, dan mendapatkan pelajaran menjadi radikal melalui medan perang.

 

Ikuti tulisan menarik Abdul Manan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB

Terkini

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB