x

Iklan

Mulya Sarmono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Film, Politik, dan Skandal Korupsi

Tulisan ini mengulas tentang korupsi politik yang terjadi di Sulawesi Selatan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Korupsi merupakan fenomena yang menarik untuk diulas. Ketertarikan orang untuk mengulasnya karena selalu berhubungan dengan skandal kehidupan para penguasa, pengusaha bahkan kalangan artis. Setiap hari, pemberitaan pada media massa selalu di jumpai fenomena seperti ini.

Telah banyak tercipta literatur, artikel, novel bahkan film yang terinspirasi dari fenomena korupsi. Film adalah salah satu media menarik untuk menggambarkan fenomena korupsi. Banyak film yang telah dibuat, salah satu film tersebut adalah film “Negara Tanpa Telinga”.

Beberapa hari lalu di sebuah bioskop yang berada di kota Makassar, penulis menikmati malam minggu dengan menonton sebuah film. Penulis kemudian menonton film yang berjudul “Negara Tanpa Telinga”. Film yang di produseri oleh seorang produser terkenal bernama Lola Amaria membuat penulis kagum sekaligus ngeri. Kengerian yang dilihat penulis dikarenakan para politikus partai melakukan cara-cara korup untuk mendapatkan serta mempertahankan kekuasaan.

Dalam film tersebut digambarkan bagaimana pemimpin partai yaitu Partai Amal Syurga yang bernama Ustadz Etawa (yang diperankan oleh Lukman Sardi) bekerja sama dengan importir daging domba untuk memanipulasi uang Negara demi keuntungan partainya. Lebih lanjut dalam film tersebut, digambarkan seorang pemimpin partai yaitu Partai Martobat bernama Piton (yang diperankan Ray Sahetapy). Piton menggunakan pengaruh kawan separtainya di parlemen untuk memanipulasi berbagai proyek demi mendapatkan dana sebanyak-banyaknya yang akan digunakan untuk biaya pencalonan dirinya menjadi presiden. Dalam film tersebut, digambarkan bagaimana seorang politikus melakukan korupsi politik untuk kepentingan dirinya, koleganya serta partainya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam film itu, penulis mengingat kasus korupsi Bansos Sulsel tahun 2008. Seperti telah diketahui, kasus ini melibatkan para pejabat dan politikus. Diduga dana Bansos yang senilai Rp. 151 M diselewengkan dan merugikan keuangan Negara senilai Rp. 8,8 M serta Rp. 26 M belum dapat diyaniki kewajarannya.

Dalam kasus ini, Anwar Beddu selaku Bendahara Pengeluaran Pemprov Sulsel divonis 15 bulan penjara. Selain itu, Sekertaris Provinsi Sulsel Andi Muallim juga sedang menjalani proses persidangan. Tersangka lainnya adalah para legislator DPRD Sulsel bernama adil Patu, Mudjiburrahman, Mutagbir Sabri dan Kahar Gani.

Todung Mulya Lubis dalam makalahnya yang berjudul “Lingkaran Setan Politik Korupsi ke Korupsi Politik” yang terbit di Koran Tempo tanggal9 Desember 2004 menyebutkan bahwa “adanya korupsi yang maha dahsyat yang terjadi dalam dunia politik, yaitu Korupsi Politik”. Korupsi politik biasanya dilakukan oleh para politikus. Seperti kata Artidjo Alkostar dalam bukunya yang berjudul “Korupsi Politik di Negara Modern, “Perbedaan korupsi politik dan korupsi yang lain adalah pelaku yang memiliki posisi politik, sehingga jabatan atau kedudukan yang disalahgunakan adalah bermuatan politik. Lebih dari itu akibat yang ditimbulkan juga tidak hanya kerugian keuangan Negara. Tetapi juga akibat politik,moral dan hak asasi manusia”.

Danang Widoyoko dalam bukunya “Oligarki dan Korupsi Politik Indonesia” mengutip pendapat Hoddes. Hodess melihat korupsi politik melibatkan berbagai macam kejahatan dan kecurangan oleh pemimpin politik sebelum, selama dan setelah menjabat.

Maka dapat disimpulkan bahwa korupsi politik adalah puncak tertinggi dari korupsi. Korupsi politik menjadi momok paling mengerikan dalam suatu Negara karena selalu berhubungan dengan ring satu kekuasaan.

Pada kasus korupsi Bansos Sulsel Tahun 2008, korupsi dilakukan oleh oknum pemerintah dan pilitikus untuk keuntungan dirinya dan kelompoknya. Mereka menyalahgunakan jabatan, sarana serta kesempatan guna mendapatkan keuntungan baik berupa keuntungan uang, keuntungan politis serta untuk mendapatkan kekuasaan. Dari fenomena yang terjadi pada kasus ini, dapatlah diketahui bahwa telah terjadi Korupsi Politik.

Dalam kasus ini, dapat kita ketahui bahwa Korupsi Politik telah terjadi di Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan telah menjadi sarang koruptor untuk melakukan korupsi politik. Korupsi politik adalah perbuatan yang lebih luar biasa dari jenis korupsi lainnya. Maka dari itu, korupsi yang luar biasa ini juga telah menjangkiti Sulawesi Selatan.

Maka dari itu, penegak hukum terutama di Sulawesi Selatan harus berani menumpas korupsi politik. Karena korupsi politik selalu melibatkan ring satu kekuasaan serta berakibat fatal bagi suatu pemerintahan. Kekuasaan politik dan uang yang dimiliki oleh para pelaku Korupsi politik tidak boleh membuat penegak hukum menjadi tidak bisa dan takut untuk menumpasnya.

Selain para penegak hukum yang tidak boleh menjadi pengecut, regulasi juga harus secara tegas memisahkan korupsi politik dengan jenis korupsi lainnya. Regulasi itu harus dirumuskan dengan memberikan sanksi paling berat pada pelaku korupsi politik.

Seperti kata Artidjo Alkostar bahwa memang KUHP Indonesia tidak mengatur secara tegas tentang korupsi politik. Begitu pula undang-undang korupsi yang ada sejak Orde Lama, Orde Baru, serta era reformasi tidak pernah mendefinisikan dengan tegas tentang korupsi politik tetapi secara substansial korupsi politik selalu ada dan mengada dalam setiap pemerintahan Negara.

Maka dari itu, undang-undang yang mengatur khusus tentang korupsi politik harus segera di dirumuskan agar pemberantasan korupsi politik terutama di Sulawesi Selatan dapat dilakukan secara maksimal. Sebagaimana diketahui korupsi politik selalu ada dan mengada dalam setiap pemerintahan Negara, baik di pusat maupun di pemerintahan daerah.

 @Mulya_Sarmono

Ikuti tulisan menarik Mulya Sarmono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler