x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Nobel, Modiano, dan ‘Seni tentang Ingatan’

Patrick Modiano meraih Nobel Sastra 2014. Seni tentang Ingatan—alasan bagi penghargaan terhadap penulis Prancis ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“For a long time - and this particular time with greater force than usual - summer has been a season that gives me a sense of emptiness and absence, and takes me back to the past.”
--Patrick Modiano (Nobelis Sastra 2014)

 

Namanya nyaris tak bergema di sini andaikan Akademi Swedia tidak memilih Patrick Modiano sebagai Nobelis Sastra 2014. Bahkan, London Library hanyalah salah satu dari sedikit institusi di Inggris yang menyimpan koleksi karya Modiano. Di perpustakaan lain, tak jauh dari Royal Academy, karya Modiano terdiam di rak buku.

Penulis berusia 69 tahun ini memang lebih mashur di negeri kelahirannya sendiri, Prancis—kendati sejumlah novelnya telah diterjemahkan. Bagi orang luar, namanya tidak tertera dalam daftar yang memuat Andre Gide, Jean Paul Sartre, Albert Camus, atau Victor Hugo dari masa yang lebih tua. Mungkin saja, setelah ini, banyak orang berburu fiksinya yang mengusung kisah pencarian identitas hingga ke masa lampau.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Masa lampau yang suram, bagi Madiano, adalah ingatan yang membuka jalan bagi kedamaian di masa kini. Tak terpisahkan. Masa silam—betapapun pahit—bukanlah untuk ditinggalkan, melainkan dirajut agar perjalanan ke depan tak terantuk pada batu yang sama.

Sebagian orang bertanya: Mengapa Modiano? Siapa Modiano?

Seni perihal ingatan (‘art of memory’) kabarnya menjadi alasan mengapa Modiano dipilih. Pemberian Nobel kali ini adalah perayaan ‘art of memory’—penghargaan bagi penulis yang berulang-ulang kembali kepada tema dan subyek yang sama: memori, identitas, dan alienasi yang semuanya berakar pada trauma pendudukan Nazi di Prancis.

Kesetiaan Modiano pada momen-momen historis itu membuatnya menghidupkan kembali kehidupan orang-orang biasa masa itu. Dengan pilihannya, Modiano mengingatkan kita betapa ambisi dan kuasa telah menjerumuskan orang-orang biasa ke dalam kegelapan.

Dalam Missing Person, Modiano berkisah tentang Guy Roland. Ia detektif yang mengalami amnesia dan tengah mencari identitasnya sendiri. Perjalanannya sampai kepada Perang Dunia II dan mendapati dirinya dipanggil Jimmy Pedro Stern, seorang Yahudi Yunani yang tinggal di Paris dengan nama samaran Pedro McEvoy. Alias diperlukan ketika okupasi Jerman semakin menindas. Guy Roland mengonstruksi kepingan masa lalu—foto, kertas, koran tua—untuk menemukan dirinya.

Sebagai pendongeng, Modiano bertumpu pada realitas masa lampau. Ia berperan tak ubahnya seorang ‘literary archaeologist’, yang mengukirkan detail dengan cermat—nama-nama jalan, kafe, stasiun metro, dan peristiwa nyata saat itu. Modiano memadukan realitas historis dan fiksi, dan dengan itu ia mengajak kita menemukan identitas diri pada masa lampau.

Out of the Dark (judul yang diberikan oleh penerjemahnya, Jordan Stump, untuk karya Modiano, Du Plus Loin de L’Oubli) adalah sebuah pencarian kepada cinta masa lampau—kisah percintaan yang asing, yang ditandai oleh perjumpaan 30 tahun yang silam, lalu kehilangan, diikuti pertemuan 15 tahun kemudian, lalu kehilangan, dan 15 tahun kemudian yang dikasihi muncul tapi sang narator enggan bersua. Modiano merangkai kecemasan, keinginan, dan rasa cinta yang asing dalam perjalanan dari masa lampau ke masa kini.

Masa lalu keluarganya yang tidak mudah, suram, dan bagi Modiano mungkin memalukan di tengah pendudukan Nazi Jerman menjadi obsesi pre-histori pribadinya—ia sempat menampik ayahnya, tapi kemudian mempersembahkan bukunya untuk sang ayah. Missing Person adalah perkenalan yang amat layak dengan Modiano, dan sesudahnya Out of the Dark, Honeymoon, dan Night Rounds. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler