x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tak Bisakah Kita Menghentikan Kekerasan?

Kekerasan terjadi di mana-mana dan semakin dianggap lumrah. Anak-anak menirukan aksi orang dewasa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Nothing good ever comes of violence."
--Martin Luther (Tokoh Pembaharu Jerman, 1483-1546)

 

Jauh dari Jakarta kami bisa menyaksikan dari dekat kemarahan yang meluap-luap di jalanan Ibukota. Teriak kebencian, nafsu amarah, pukulan yang membabi buta, dan raut wajah berlapis dendam. Kami bisa melihat dengan jelas bagaimana batu-batu dilemparkan, pedang-pedang diacungkan, dan tinju-tinju dikepalkan. Kami jauh dari Jakarta, tapi peristiwa itu meletus di depan mata, di layar kaca keluarga kami. Menghantui hingga kini.

Hari-hari yang penuh amarah selalu memasuki rumah kami dari banyak tempat di negeri ini. Dari daerah yang jauh di penjuru Nusantara, dari banyak kota besar provinsi, juga dari jalan-jalan di kota kami sendiri yang terkadang diramaikan oleh geng-geng motor yang kerap melukai warga yang tak mengerti mengapa mereka dilukai.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Suratkabar membawa berita kekerasan itu ke dalam rumah kami. Televisi, terlebih lagi, langsung memasuki ruang keluarga kami dan sanggup menghidupkan kekerasan itu di depan mata kami. Berkali-kali dalam sehari. Berulang-ulang di berbagai saluran. Kekerasan dengan intensitas yang mengerikan itu diputar di siaran berita, talk show, laporan khusus, bahkan juga acara selebritas. Justru ketika kami berusaha menghalau amarah, kebencian, dan kekerasan dari rumah tangga kami.

Mula-mula kekerasan di media teve itu mengerikan, menakutkan, membuat jantung berdegup cepat, meneteskan air mata kami. Pelan-pelan, sebagian kami mulai muak dan beralih ke saluran lain atau mematikan teve karena aksi kekerasan juga muncul di sinetron dan berita infotainment. Sebagian yang lain mulai menganggapnya lumrah. Banalisasi kekerasan mulai merayapi. Kekerasan menjadi jamak adanya.

Apakah kekerasan yang terjadi di dunia nyata dan lalu rekamannya diputar di media teve sanggup bertindak bagaikan virus yang menyebar? Sebagian orang menampiknya. Tapi mampukah setiap orang menyaring apa yang dilihatnya agar “tontonan kekerasan” itu tak mengendap dalam pikiran dan suatu ketika bisa memantik kemarahannya menjadi aksi kekerasan?

Apakah orang-orang yang berdemonstrasi dan bertindak brutal (menghancurkan rumah, sekolah, tempat ibadah, dsb) steril dari pengaruh tayangan kekerasan di media teve? Apakah mereka tidak meniru apa yang mereka tonton? Apakah mereka, setidaknya, tidak terilhami oleh apa yang mereka lihat di layar kaca?

Bagaikan tembakau, kata David Grossman, seorang pensiunan letnan kolenel di dinas ketentaraan AS, menyebutkan bahwa kekerasan itu adiktif atau membikin orang kecanduan.  Dan, kata Grossman—yang ahli dalam desensitisasi prajurit (menghilangkan kepekaan perasaan prajurit  agar mereka bisa lebih efisien ketika membunuh) tersebut, “Industri televisi sejak awal sudah tahu bahwa content yang bersifat adiktif adalah kekerasan.” Kekerasan dijadikan daya tarik agar pemirsa menyalakan teve dan memilih saluran yang menyajikannya.

Leonard Leon, mantan Ketua Komisi Kekerasan dan Kaum Muda pada American Psychological Associaton (Lihat karya John Naisbitt, High Tech High Touch), menyebutkan bahwa kebiasaan menonton kekerasan di televisi menjadi salah satu penyebab menyeruaknya perilaku agresif, kejahatan, dan kekerasan dalam masyarakat kita.

Kami ingin bersuara, walau mungkin tak didengar, sebab sebuah kajian yang diterbitkan oleh American Medical Association pada 1992 mendapati bahwa hampir di setiap tempat di dunia yang terdapat televisi, 15 tahun kemudian angka pembunuhan meningkat dua kali lipat. Mungkin banyak yang menyangkal pengaruh negatif siaran televisi, tapi setidaknya kita perlu bertanya: mengapa kekerasan begitu marak?

Tekanan ekonomi? Mungkin. Rasa frustrasi masyarakat? Barangkali. Namun, replikasi kekerasan di televisi melalui penayangan peristiwa kekerasan yang berulang setiap hari, bisakah ditepis pengaruhnya? Bisakah kita menampik kemungkinan pengaruh siaran televisi terhadap kekerasan yang dilakukan anak-anak, dan pengaruh tersebut kini diperkuat oleh kehadiran Internet dengan tayangan videonya? Juga oleh kemudahan perekaman dan penyebarluasan adegan kekerasan dengan handphone?

Kekerasan massal, di negeri ini, semakin lama semakin dimaklumi sebaga cara yang sah dan dibenarkan. Kerumunan orang yang marah dan menghancurkan rumah seorang kepala desa dianggap lumrah. Orang-orang membakar rumah ibadah dianggap jamak. Orang-orang mengacungkan pedang sambil berlalu tanpa rasa gentar di hadapan seorang perwira penegak hukum yang hanya bisa terbengong-bengong.

Di tengah hilangnya kepekaan perasaan dan rasa empati, kita seperti tengah bergerak menuju masa lampau ketika massa, kekuatan fisik, keris dan pedang, dan kekerasan menjadi pilihan untuk mencapai kata putus terhadap suatu persoalan. Massa dan kekerasan menjadi kekuatan yang lebih berbunyi nyaring. Tidak percaya kepada penegakan hukum? Boleh jadi, apa lagi massa cenderung dibiarkan.

Banalisasi kekerasan menjadikan kita kebal terhadap kesakitan dan penderitaan orang lain. Orang yang sudah tersungkur masih ditendang dan diinjak, persis seperti logika kekuasaan yang zalim. 

Posisi berkuasa bisa menggoda siapapun untuk bertindak semena-mena. Massa di jalanan adalah penguasa juga yang tergoda untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan: melempari orang dengan batu, menebaskan pedang dan melemparkan tombak, menghancurkan rumah dan membakar mobil. Setiap hari kami disodori kekerasan di jalan-jalan, di desa-desa, di kantor pengadilan, di kantor polisi, di sekolah, dan di kampus-kampus perguruan tinggi di kota-kota.

Kita barangkali tengah menapaki fase yang disebut oleh Sissela Bok dalam bukunya, Mayhem (1998), sebagai compassion fatigue. Inilah fase keletihan yang membuat kita tidak sanggup lagi merasa terharu atau berbelas kasihan. Kekerasan demi kekerasan kian menggerogoti kemampuan kita untuk berempati, untuk merasa bertanggungjawab atas keselamatan orang lain, serta untuk membantu dan menolong sesama.

Setiap hari, kekerasan itu memasuki ruang keluarga kami lewat layar kaca, internet, video, suratkabar dan majalah, serta telepon genggam. Hendak diajak pergi kemana kami? (sbr foto: tempo) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler