x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kartu Pos dan Jejak Historis Media

Media berkembang di luar kendali penemunya: menjadi sarana hiburan hingga alat propaganda.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

The media's the most powerful entity on earth. They have the power to make the innocent guilty and to make the guilty innocent, and that's power. Because they control the minds of the masses.
--Malcolm X (Aktivis HAM, 1925-1965)
 

Sejak berabad yang lampau, media komunikasi berperan sentral dalam perang—perang gagasan maupun perang fisik di medan pertempuran. Di Prancis, abad ke-16, media komunikasi memainkan peran layaknya pedang dan senapan. Seperti diuraikan oleh Asa Briggs dan Peter Burke dalam karya mereka, Social History of Media, kaum Protestan berpaling kepada pers untuk menyebarluaskan gagasan mereka. Kertas dan plakat yang menyerang massa Katolik dicetak di Swiss, diselundupkan ke Prancis dan dipamerkan di tempat-tempat umum.

Pamflet, gambar, dan desas-desus menjadi sarana bagi rakyat Belanda untuk melawan kekuasaan Philip II dari Spanyol. Lebih dari 7.000 pamflet dari masa yang disebut ’Perang Delapan-Puluh Tahun’ (1568-1648) masih tersimpan di berbagai perpustakaan di Belanda. Situasi serupa berlangsung di Inggris abad ke-17, yang merupakan tahun-tahun besar bagi pamflet dan suratkabar sebagai medan pertempuran antara kaum parlementarian dan kaum royalis yang mendukung Istana. George Thomason, seorang penjual buku, berhasil menghimpun hampir 15.000 pamflet dan lebih dari 7.000 suratkabar sepanjang tahun 1640-1663.

Unsur penting dari penelusuran historis oleh Briggs dan Burke terletak pada konteks sosial pertumbuhan media, yakni bagaimana teknologi media tumbuh bukan sebagai artefak yang lahir dari tangan para insinyur dalam keadaan tanpa tujuan, melainkan memiliki jalinan dengan kepentingan ekonomi dan politik. Bahkan, menunggangi dan ditunggangi oleh gejolak sosial, dimanfaatkan dan memanfaatkan pertikaian antarpihak dan antargeografis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Situasi itu pula yang kita jumpai selama kompetisi pemilihan presiden yang baru lalu: media menjadi alat untuk memberi dukungan politik, baik oleh pemilik media yang sekaligus politikus maupun oleh jurnalis yang secara sadar mendukung salah satu kandidat presiden dengan alasan yang dikonstruksi untuk pembenarannya. Situasi yang belum lama terjadi, dan niscaya masih berlangsung meski dengan tensi yang lebih rendah, merupakan pengulangan historis belaka.

Kisah-kisah tadi menggambarkan betapa media bergerak melampaui kehendak penciptanya. Tatkala Guntenberg menciptakan alat cetak, ia meniatkannya untuk menyebarluaskan pengetahuan. Tapi kebutuhan dan kepentingan manusia melebihi itu. Manusia perlu menghibur, menyebarluaskan dongeng, berbagi kesenangan, tapi juga membujuk, menghasut, memutarbalikkan fakta, dan menikam demi meraih keunggulan ekonomi dan kekuasaan politik.

Cerita tentang lompatan kecepatan media sudah sering dikisahkan, namun tetap saja ada catatan-catatan yang menarik untuk dibagi. Fernand Braudel, dalam studinya yang mashur, The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip II, mengisahkan obsesi Raja Spanyol Philip II (1527-1598) terhadap pos.

Dari balik meja, Raja Philip II memerintah wilayah kekuasaan yang amat luas, membentang dari Spanyol hingga Meksiko, menyeberangi Pasifik sampai Filipina. Ia membaca dan mencatat dokumen yang dikirim kepadanya dari seluruh penjuru wilayah kerajaan, dan mengirim perintah dengan cara serupa. Keterlambatan pemerintahan Spanyol amat terkenal, sehingga seorang pejabat ingin agar Kematian juga datang dari Spanyol—saking lambatnya. Philip II barangkali ‘raja administrasi’ yang baik, tapi jika cara itu dipakai di zaman sekarang, ia niscaya akan kehilangan wilayah kekuasaannya yang amat luas dalam waktu sebulan!

Mesin uap mengubah banyak hal, kemudian listrik. Kereta, kapal, dan pos berjalan beriringan. Kartu pos pertama diperkenalkan di Austria pada 1869, dan tahun berikutnya di Inggris dan Jerman. Orang-orang bertanya ketika itu, ‘Kenapa menulis berita pribadi di atas secarik kertas terbuka yang mungkin dibaca oleh setengah lusin orang sebelum berita itu sampai ke tujuannya?’ Di negeri ini, saat ini, kartu pos sudah amat jarang dipakai untuk berkomunikasi—telepon seluler telah mendepaknya. Televisi dan Internet membuat dunia terasa kian sempit dan jarak-waktu kian pendek.

Di atas latar teknologi yang terus tumbuh itulah ruang-ruang publik tercipta, dan ruang-ruang privat digerogoti. Pers tumbuh sebagai kekuatan sosial yang diagungkan dan diyakini sebagai tiang keempat yang menyangga demokrasi. Benarkah sedigdaya itukah? Mungkin iya, media punya kekuatan, tapi semulia itukah media—penyangga nilai-nilai demokrasi?

Pada akhirnya pers, sebagaimana artefak teknologinya sendiri, bergerak melampaui kehendak penciptaannya. Koran Inggris Daily Mirror, tahun 1950, menulis: ’jika Anda membiarkan televisi masuk ke rumah Anda, maka kehidupan tak kan pernah sama lagi.’ Kini, tentara di banyak negara mengundang jurnalis dan membubuhkan istilah baru: embedded journalism—”wahai para jurnalis, jika ingin meliput perang, Anda mesti mengikuti garis pandangan tentara,” kira-kira seperti itu maksudnya. Televisi semula dibuat untuk hiburan, tapi kemudian juga menjadi sarana propaganda (George W. Bush Jr., saat menjabat presiden AS, memanfaatkan media untuk meyakinkan masyarakatnya tentang kebenaran langkahnya mengobarkan ‘perang terhadap teror’). (sbr foto: cine-fille.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu