x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menjaga Nyala Api Pengetahuan

Perpustakaan, surat-menyurat pribadi, hingga internet menandai upaya manusia untuk menjaga agar api pengetahuan terus menyala.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Knowledge has to be improved, challenged, and increased constantly, or it vanishes.
--Peter Drucker (Mendiang guru manajemen, 1909-2005)

Barangkali kita tak mengenal kisah kepahlawanan Homer bila masyarakat Yunani kuno hanya mengandalkan tradisi lisan untuk menyampaikan kisah itu kepada anak-cucunya. Generasi penerus Sokrates dan Plato melihat urgensi untuk menyimpan pengetahuan yang dikembangkan para filosof awal ini dalam bentuk teks. Inilah keputusan yang memungkinkan kita, yang hidup di zaman Internet ini, untuk membaca Odýsseia—puisi epik Homer yang berpengaruh besar terhadap Barat modern.

Aristoteles, guru Alexander Agung, menyokong penulisan seperti halnya ia mendukung tradisi lisan. Alexander menghimpun tulisan (apa saja) di dalam apa yang disebut perpustakaan sebagai bagian dari kemuliaan masa itu. Perpustakaan dibangun atas dasar keyakinan bahwa menulis merupakan cara terbaik untuk mengorganisasikan pengetahuan.

Langkah Alexander Agung dan penerusnya untuk membangun perpustakaan menandai persinggungan kekuasaan dan pengetahuan. Hingga di masa-masa kemudian, pertumbuhan pengetahuan melalui lembaga-lembaga seperti perpustakaan, biara, universitas, maupun laboratorium tidak lepas dari konteks kekuasaan—yang mendukung maupun menentangnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan fokus pada tradisi Barat, sembari mengapresiasi peran budaya besar China, Islam, dan India, Ian McNeely dalam Reiventing Knowledge, meneropong peran lembaga-lembaga ini dalam mengelola dan mengembangkan pengetahuan.

Peran lembaga tak lepas dari konteks zamannya. Biara menjadi pilihan untuk menekuni teks ketika perkembangan pengetahuan diwarnai oleh hiruk-pikuk duniawi. Cassiodorus, senator Romawi, memilih untuk menyepi dengan menetap di Squillace, di kaki bukit Italia, tempat ia dapat membaca dan menulis buku dengan tenang. Untuk waktu yang lama, para petapa Kristen mengganti berbicara dengan diam, menanggalkan interaksi lisan dan menggantinya dengan pengabdian yang sabar terhadap teks.

Kita harus keluar biara untuk dapat memahami di mana dan bagaimana semangat perdebatan ilmiah bangkit kembali di Eropa, yakni universitas. Pada mulanya, universitas di Eropa Abad Pertengahan adalah gejala perkotaan yang diawali ketika para guru dan siswa mulai berkumpul. Paris, Salerno, Bologna, dan Praha melahirkan universitas-universitas Barat yang awal—walaupun lebih muda dibanding dengan universitas masa keemasan Muslim. Teologi, hukum, kedokteran, dan sosial-budaya menjadi fokus universitas ini.

Sepanjang dua abad (1500-1700), kombinasi antara protes keagamaan dan persaingan politik mengakibatkan Eropa nyaris terbakar. Gerakan reformasi, khususnya Martin Luther, merebak dan menimbulkan pergolakan. Tapi, kata McNeely, gerakan ini tak akan pernah berhasil seandainya para pangeran dan politisi tidak memakai alasan agama, dengan memilih atau menghancurkan para pembarunya.

Respublica literaria (Republic of Letters), lagi-lagi, menjadi respons atas situasi yang tidak kondusif bagi pertumbuhan pengetahuan secara normal. Respublica literaria, lembaga yang mungkin paling kurang kita kenal dibandingkan lembaga-lembaga lainnya, didefinisikan sebagai komunitas pembelajar internasional yang dirajut bersama melalui surat-surat yang ditulis dengan tangan dan dikirim melalui pos, dan kemudian melalui buku-buku atau jurnal-jurnal cetak. Surat, seperti kata Erasmus dari Rotterdam (1466-1536), adalah jenis pertukaran pembicaraan bersama di antara teman yang tidak hadir.

Copernicus, Newton, Descartes, raksasa-raksasa Abad Pertengahan, bertukar pikir dengan sejawat mereka melalui korespondensi. Keampuhannya dalam mengatasi pergolakan ditunjukkan oleh pertukaran pengetahuan yang mampu menembus wilayah geopolitik, etnis, kekuasaan, dan sekat-sekat lain. Legitimasi Respublica literaria dibangun berdasarkan produksi pengetahuan yang baru.

Lembaga-lembaga ini telah menjaga pengetahuan sepanjang masa dengan menjadi penengah atau penyambung lidah antara para ilmuwan dan masyarakat luas. Setiap lembaga yang baru mendefinisikan ulang praktik-praktik pengetahuan lama. Kalangan aktivis di respublica literaria menjauhi universitas yang dibuat bangkrut secara intelektual oleh konflik agama dan memanfaatkan korespondensi jarak jauh untuk mengesahkan penemuan-penemuan baru. Sebelum akhirnya bertemu, Alfred Wallace mengirim naskah hasil penemuannya di Nusantara kepada Charles Darwin di London—karena surat Wallace inilah teori evolusi ‘lahir lebih cepat’.

Biara, perpustakaan, universitas, hingga surat-menyurat telah berjasa menjaga pengetahuan yang dihimpun selama berpuluh abad agar tidak lenyap dari ingatan kolektif masyarakat. Kehadiran Internet, dengan segala kedigdayaannya, menopang keberlanjutan pengalihan pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Lebih dari respublica literaria, Internet membuka peluang yang lebih leluasa bagi mereka yang sanggup mengaksesnya untuk mereguk air pengetahuan.

McNeely skeptis perihal Internet yang melihatnya bukan sebagai jalan untuk menghasilkan pengetahuan baru, layaknya laboratorium, tapi sekedar metode baru dalam menyajikan informasi. Namun, dalam hemat saya, dengan kekuatan jejaringnya, Internet membuka peluang bagi produksi pengetahuan melalui kolaborasi yang lebih terbuka. Internet bukan sekedar menyimpan informasi dan pengetahuan, tapi juga menjadi sarana pertukaran dan produksi pengetahuan.

Kendati begitu, lebih dari masa lampau, akses manusia kepada pengetahuan kini menghadapi tantangan besar, yakni demokratisasi dan komersialisasi. Sejarah berulang ketika pengetahuan dihadapkan pada berbagai kepentingan. Mereka yang berniat menghegemoni pengetahuan dan mereka yang menilai tinggi bobot ekonomis pengetahuan akan cenderung enggan berbagi. Kapitalisasi pengetahuan ini melanggengkan pengaruh timbal balik antara universitas riset dan dunia bisnis/industri/militer/intelijen sembari menepis keterlibatan pihak lain yang memiliki interes sosial. (sbr foto: barnesfoundation.org) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB

Terkini

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB