x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Andaikan Pak SBY dan Bu Mega Saling Menyapa

Relasi yang bersifat pribadi di antara tokoh-tokoh politik pada akhirnya memengaruhi situasi politik di masyarakat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Nations are born in the hearts of poets, they prosper and die in the hands of politicians.
--Muhammad Iqbal (Filosof Pakistan, 1877-1938)

 

Saat pelantikan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden berlangsung di Gedung MPR, ada momen yang dinanti-nanti oleh masyarakat: Pak SBY dan Bu Megawati saling menyapa lalu berjabat tangan. Seperti halnya hubungan Prabowo dan Jokowi yang mencair setelah sempat memanas, masyarakat juga menunggu hal itu terjadi antara SBY dan Megawati. Sayangnya, momen itu tidak terjadi entah kenapa.

Megawati pernah menjabat presiden, sedangkan SBY baru saja menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan negara kepada Jokowi. Keduanya ketua umum partai politik besar. Tidak mengherankan bila jabat tangan kedua sosok ini dinanti masyarakat. Ketika kemudian harapan masyarakat itu tidak terwujud, Puan Maharani—putri Megawati—pun berkata, “Tidak dapat dipaksakan... Biarkan semuanya mengalir.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memang betul tidak dapat dipaksakan, sebab terdapat ‘momen sejarah dalam hubungan personal’ mereka yang menjadi penghalang dan hingga kini belum terlupakan. SBY pernah duduk dalam kabinet Megawati, namun kemudian SBY mencalonkan diri untuk menjadi presiden, sehingga keduanya berkompetisi dalam pemilihan presiden tahun 2004. Sejak itu, ‘perang dingin’ terjadi. Apa lagi, pada tahun 2009, keduanya kembali berkompetisi.

Hubungan antarpribadi mau hangat atau dingin, sebenarnya itu urusan pribadi, seandainya keduanya bukan siapa-siapa. Masalahnya menjadi sama sekali berbeda ketika keduanya elite politik yang berpengaruh. Ketika hubungan pribadi di antara elite politik begitu dingin, dampaknya dirasakan oleh masyarakat luas melalui keputusan-keputusan politik yang diambil oleh partai mereka. Lobi politik dapat berjalan lebih rumit bila hubungan pribadi para elitenya kurang bagus.

Bila hubungan pribadi kedua sosok itu baik-baik saja, hubungan kedua partai politik yang mereka pimpin akan berlangsung baik-baik pula. Kerjasama dua partai besar berpotensi bakal berpengaruh baik terhadap perkembangan bangsa. Jikalaupun terdapat perbedaan, tidak perlu tercipta ketegangan.

Politikus, pada akhirnya, memang harus berinteraksi pada tingkat personal. Hubungan pribadi yang akrab dapat menjembatani perbedaan pandangan politik. Lobi politik dapat berlangsung relatif mulus bila hubungan personal di antara tokoh yang berinteraksi berlangsung relatif baik.

Kecerdasan emosional pada akhirnya memang bagian penting dari proses pengambilan keputusan politik. Bila hubungan personal yang kurang baik terlihat oleh publik, hubungan pribadi tersebut dapat berkembang menjadi isu politik. Sejarah hubungan personal memang mampu memerangkap relasi politik hingga waktu yang lama—inilah yang terjadi dalam konteks hubungan SBY-Megawati.

Tapi, mestikah hubungan yang dingin itu berkelanjutan terus? Seperti kata Puan, pulihnya hubungan memang tidak dapat dipaksakan, namun masyarakat sangat berharap hubungan yang dingin ini segera mencair karena pengaruhnya sangat positif bagi bangsa. Bukankah kedua tokoh ini sama-sama pernah jadi presiden dan masih menjabat ketua umum dua partai politik besar?

Meminjam terminologi di dunia persilatan, kedua tokoh ini sudah mencapai tataran mahaguru, sehingga semestinya tidaklah sukar bagi mereka untuk merobohkan tembok penghalang walaupun sudah tegak bertahun-tahun. Bukankah saling menyapa itu lebih baik? (Foto: Tempo) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu