x

Iklan

Adjat R. Sudradjat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bangsa yang Merangkak Dewasa

Pertemuan Prabowo dengan Jokowi dianggap sebagai tonggak baru kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebagaimana yang ditulis Arswendo Atmowiloto dalam Koran Jakarta.com, Jum’at keramat tidak selalu berkonotasi negatif dengan penangkapan tersangka korupsi oleh KPK. Jum’at (17/10) lalu disebut penulis buku Mengarang Itu Gampang, sebagai Jum’at yang benar-benar keramat dalam makna yang sesungguhnya.

“Padahal, arti kata keramat tidak senegatif itu. Bahkan, boleh dikatakan mengandung nilai positif. Keramat itu ada unsur suci dan bertuah. Memberi efek magis dan psikologis, tentang barang atau sesuatu. Saya mau memaknai pertemuan presiden terpilih, Jokowi, dengan Prabowo Subianto dengan istilah itu,” tulisnya.

Ya, pertemuan dua sosok yang sebelumnya dianggap berseteru karena rivalitas dalam Pilpres lalu, begitu mengharubiru, karena telah mencairkan suasana yang begitu beku dan kaku dalam tempo beberapa waktu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Karena inisiatif Jokowi – sapaan akrab Presiden ke-7 yang pertama dipopulerkan oleh pelanggan mebeulnya dari Perancis bernama Bernard – pula untuk bersilaturahmi menemui Prabowo. Dan Prabowo sendiri dengan legowo menerima kehadiran pesaingnya yang mantan Walikota Solo, di kediaman almarhum ayahandanya Prof. Sumitro Djojohadikusumo.

Sehingga perseteruan antara keduanya yang selama ini banyak diprediksi orang akan berkepanjangan, dan dianggap akan menghambat perjalanan pemerintahan Jokowi nantinya di berbagai bidang, ternyata di Jum’at keramat itu pelan namun pasti telah terjawab secara gamblang. Bahkan sepertinya sama sekali tak berbekas lagi.

Maka paska pertemuan itu pula sosok dua tokoh pemimpin tersebut ditasbihkan banyak orang sebagai negarawan sejati. Jokowi yang ndeso, dan Prabowo yang semula  dijuluki seorang pendendam, telah mampu menunjukkan dirinya sebagai demokrat yang sesungguhnya.

Hal itu merupakan sesuatu yang baru di negeri ini memang. Mari kita tengok ke belakang, sebelumnya seperti tak pernah terjadi suasana seperti ini. Ketika Presiden pertama Ir. Sukarno diganti oleh Suharto, konon dilakukan dengan kudeta. Malahan Bung Karno sampai dijebloskan ke dalam tahanan oleh penggantinya, hingga menghembuskan nafas terahirnya dalam tahanan rumah yang dikenal dengan nama Wisma Yasa itu.

32 tahun kemudian, setelah  dipaksa lengser oleh aksi rakyat dan mahasiswa Suharto diganti oleh BJ Habibie. Dan apa yang terjadi, ternyata mantan penguasa Orde Baru itu menolak untuk bertemu mantan penggagas industri dirgantara itu sampai ahir hayatnya.

Sementara Habibie yang menjabat Presiden ke-3 dalam kurun kurang dari satu tahun, saat peralihan kekuasan dan sesudahnya pada Gus Dur, tidak terdengar adanya konflik memang. Hanya setelah Abdurrahman Wahid dimakzulkan dalam sidang MPR yang ketika itu dibawah ketuanya Amien Rais, kemudian diganti oleh Megawati, dikabarkan hubungan antara ayahya Yeni Wahid dengan ibunya Puan Maharani itu yang semula tampak akrab, berubah menjadi renggang. Sampai beberapa waktu keduanya konon tak lagi bertegursapa.

Begitu juga halnya dengan Megawati yang dalam Pilpres 2004 dikalahkan oleh SBY yang notabene mantan ‘anak buah’-nya dalam kabinet  yang dipimpinnya. Sampai saat ini, dalam kurun waktu sepuluh tahun hubungan keduanya tampak bak air dengan minyak. Sepertinya Megawati begitu kuat memendam dendam pada pesaingnya di dua kali Pilpres tersebut. Dan SBY sama sekali tak terlihat untuk mengambil inisiatif.

Oleh karena itu, pertemuan Jokowi dengan Prabowoyang membuat plong hati banyak orang, dianggap telah membuka cakrawala baru. Suatu tradisi yang niscaya harus berlanjut dan ditiru oleh semua rakyat Indonesia. Meskipun Jokowi jelas-jelas sebagai seorang pemenang, akan tetapi dia tidak mentang-mentang. Dirangkulnya rivalnya itu dengan tulus dan ikhlas untuk diajak bersama-sama membangun Indonesia menuju keadaan yang lebih baik lagi.

Kemudian di hari H pelantikan Presiden ke-7 pun muncul pula suatu tradisi baru yang membuat banyak orang tercengang. SBY dengan elegan bergandengan tangan dengan penggantinya – Jokowi, tentu saja. Bahkan kelihatan begitu mesra dan penuh keakraban.

Sehingga sikap Jokowi, Prabowo, dan SBY - terlepas dari hubungan dengan Megawati yang belum mencair hingga saat ini, adalah merupakan babak baru dari tradisi kehidupan berdemokrasi di negara ini. Karena paling tidak, kita sedang menyaksikan suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yang merangkak dewasa. Dan sudah seharusnya pula dikuti oleh para pemimpin lainnya di segala tingkatan. Termasuk kita sendiri, rakyatnya – tentu saja. ***

(Sumber Photo: Tempo.co)

Ikuti tulisan menarik Adjat R. Sudradjat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB

Terkini

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB