x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jenius di Antara Daya Kreasi dan Penghancuran

Dalam buku barunya, Divine Fury, Darrin McMahon menyusuri gagasan tentang jenius sejak zaman purba hingga kini. Bila Stalin disebut 'jenius revolusi, Hitler dijuluki 'evil genius'.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Imperfection is beauty, madness is genius and it's better to be absolutely ridiculous than absolutely boring.”
--Marilyn Monroe (Artis, 1926-1962)
 
Judul Buku:
Divine Fury: A History of Genius
Penulis:
Darrin M. McMahon
Penerbit:
Basic Books
Edisi:
I, 2014
Tebal:
399 halaman

 

Siapakah jenius itu? Albert Einstein, B.J. Habibie, Mozart, Leonardo da Vinci—keempat mereka? Bagaimana dengan Christiano Ronaldo dan Michael Jordan? Bagaimana pula dengan Stalin, orang galak dari Rusia yang disebut oleh Lenin sebagai ‘jenius revolusi’? Bagaimana dengan Hitler yang oleh majalah Time edisi 1938 dinobatkan sebagai 'Man of the Year' karena dianggap sebagai 'evil genius'?

Freedictionary memaparkan sejumlah pengertian tentang jenius: kekuatan intelektual dan kreatif yang luar biasa; seseorang dengan kecerdasan dan bakat luar biasa; seseorang yang memiliki IQ di atas 140—untuk menyebut tiga pengertian di antaranya. Jika mengikuti pengertian ini, apakah pesepakbola dan pebasket hebat tersebut tergolong jenius?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hingga kini, lebih dari 2.000 tahun setelah catatan pertama dibuat oleh Plautus, kata ‘jenius’ masih beresonansi dengan kuasa dan daya pikat: kuasa untuk mencipta, kuasa untuk menyingkap rahasia semesta, kuasa untuk menghancurkan. Jenius, hingga kini, masih merupakan kekuatan misterius yang seolah memiliki akses istimewa kepada rahasia-rahasia di balik segala sesuatu. Jenius tak ubahnya kilatan cahaya, yang kecerdasannya menerangi misteri kegelapan yang melingkupi sesuatu.

Dalam bukunya yang baru terbit, Divine Fury: A History of Genius, sejarawan Darrin M. McMahon menyebutkan bahwa konsep jenius memiliki akar hingga zaman purba ketika manusia yang berwawasan luar biasa dianggap memiliki atau dimiliki oleh jenius—semacam pengawal atau spirit/jiwa yang menyertai. Orang hebat seperti Julius Caesar, Alexander the Great, ataupun Socrates dianggap dirahmati dengan kejeniusan yang memungkinkan mereka meraih prestasi hebat.

Dalam perjalanan waktu, konsep jenius dikenakan pula pada beragam figur relijius, seperti rasul, nabi, wali, hingga ahli sihir. Di era Renaisans Barat (abad ke-14 hingga 16 Masehi), jenius dipakai untuk menjelaskan kreativitas luar biasa yang lahir dari sosok seperti da Vinci dan Michelangelo. Baru di abad ke-18, jenius benar-benar lahir sebagai model baru tipe manusia tertinggi. Isaac Newton dan Napoleon Bonaparte dianggap sejenis jenius modern.

Berbenturan dengan gagasan bahwa manusia diciptakan setara, konsep jenius mengalami dramatisasi sebagai individu luar biasa yang tidak mengikuti hukum-hukum biasa. Kajian-kajian pun dilakukan, perhatian publik tersedot, dan pemujaan terhadap kejeniusan pun tumbuh. Kajian mutakhir, misalnya, berusaha memecahkan misteri mengapa sosok-sosok yang mampu melahirkan karya kreatif yang luar biasa hidup bersama penyakit mental tertentu?

McMahon tidak berbicara perihal isu tersebut walaupun ia mengamati dari dekat figur-figur jenius dalam sejarah. Ia juga tidak bermaksud menulis biografi orang-orang hebat. Profesor sejarah di Florida State University, AS, ini menyusuri perkembangan gagasan tentang jenius sejak zaman kuno hingga sekarang. Ia menapaki pencapaian para ‘idols of the mind’—ilmuwan, penyair, filosof, ahli strategi militer, tiran, dsb—untuk mencari tahu bagaimana gagasan 'jenius' dimaknai pada suatu masa.

Meski mengalami penyesuaian-penyesuaian, tulis McMahon, konsep tentang jenius tetap berasoasi dengan kecerdasan yang hebat, daya kreasi yang luar biasa, tetapi juga daya penghancuran yang mengerikan. McMahon menunjukkan: meskipun demokrasi terus berkembang, para jenius tetap menjadi kekuatan ampuh dalam hidup kita, sekaligus mencerminkan kebutuhan, harapan, sekaligus ketakutan manusia modern.

Namun jenius masa sekarang berasal dari jenis yang berbeda—kini jenius bisa dijumpai di koran-koran, teve, internet: mereka jenius fesyen, jenius bola, jenius bisnis. Konstruksi tentang jenius telah memasuki budaya pop—pada Madonna (dulu) dan Lady Gaga (kini). Einstein, kata McMahon, barangkali tergolong 'jenius raksasa’ sejati yang terakhir ada—yang dirindukan banyak orang. Ya, jenius pada dasarnya adalah konstruksi dari harapan manusia akan sosok yang luar biasa. (sbr foto: twocities.org) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB