x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dari Soekarno-Hatta untuk Generasi Jokowi

Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan Tan Malaka mewariskan gagasan yang hingga kini masih relevan. Generasi Jokowi patut membacanya agar tahu untuk apa negeri ini dibentuk dan diperjuangkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Demokrasi hanya berjalan kalau disertai rasa tanggung jawab. Tidak ada demokrasi tanpa tanggung jawab. Dan, demokrasi yang melewati batasnya dan meluap menjadi anarki akan menemui ajalnya dan digantikan sementara waktu oleh diktator.” 
 
--Mohammad Hatta dalam Demokrasi Kita

 

Bekal apa yang bisa dibawa Presiden Jokowi dan big-team-nya, juga para politikus di parlemen maupun di partai-partai, dalam mengelola negara selama lima tahun ke depan? Salah satunya, saya kira, ialah bacaan tentang kisah hidup para pendiri negara ini. Zaman memang berbeda, tapi perjuangan para pendiri ini niscaya bisa menginspirasi mereka dalam menyejahterakan bangsa ini: untuk apa negeri ini dibentuk dan diperjuangkan.

Bukan hanya biografi dan memoir, mereka juga perlu membaca tulisan para pendiri bangsa. Kekuatan dalam menuangkan gagasan secara tertulis merupakan salah satu hal yang membedakan pemimpin bangsa di seputar kemerdekan dengan politikus masa sekarang. Mereka bukan sekedar ‘insan politik’, tapi juga pemikir yang mampu mengomunikasikan gagasannya melalui tulisan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Banyak nama yang patut disebut, seperti Tjokroaminoto, Ahmad Dahlan, I.J. Kasimo, Muh. Yamin, dan banyak lagi. Empat sosok di antaranya relatif intens menulis agar gagasan mereka dapat dipahami oleh masyarakat di masa kolonial maupun sekitar kemerdekaan ialah Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka. Warisan pemikiran mereka masih relevan hingga kini.

 

SOEKARNO

Pengaruh besar Soekarno terhadap Indonesia menjadikan kisah hidup dan sepak terjangnya sebagai pemimpin menjadi subyek buku banyak ahli. Dalam buku Sukarno: A Political Biography, John D. Legge mendiskusikan kebangkitan Sukarno sebagai pemimpin muda yang idealistis hingga kejatuhannya dari kursi presiden. Sementara, sejarawan Jerman Bernard Dahm dalam karyanya, Sukarno and the Struggle for Indonesia Independence, menawarkan penafsiran yang menarik tentang pikiran-pikiran dan aksi Sukarno di masa muda.

Jalan untuk mengenal lebih dekat Sukarno secara pribadi ialah melalui biografinya yang dituliskan oleh Cindy Adams. Buku yang kemudian diterjemahkan menjadi Bung Karnor, Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (terbit pertama kali tahun 1966) ini lebih personal, menggunakan pendekatan ‘aku’ sehingga seolah-olah Bung Karno berbicara sendiri kepada pembaca. Buku ini menarik karena menggambarkan kepribadian Soekarno. Bung Karno menceritakan, misalnya, keributan dengan Sutan Sjahrir perihal sepotong baju.

Memahami Soekarno juga bisa dilakukan dengan membaca langsung tulisannya. Pikiran dan gagasan Soekarno bertebaran dalam berbagai tulisan, yang kemudian dihimpun dalam bukunya yang mashur, Di Bawah Bendera Revolusi. Buku ini merefleksikan pencarian Soekarno terhadap gagasan-gagasan besar dunia. Tak heran bila ia begitu fasih mengutip Ernest Renan, Karl Marx, Karl Kautsky, hingga Jamaluddin al-Afghani. Hingga kemudian ia mengonstruksi gagasannya sendiri yang ia anggap cocok untuk bumi Indonesia. Pikiran penting lainnya tertuang dalam tulisan Nasionalisme, Islam dan Marxisme. Sedangkan pikiran kritis Soekarno muda terhadap kolonialisme dan kapitalisme dituangkan dalam pembelaannya di hadapan pengadilan kolonial di Bandung yang kemudian diterbitkan sebagai Indonesia Menggugat.

 

MOHAMMAD HATTA

Sebagaimana Soekarno, Hatta juga menjadi subyek kajian para sejarawan dan ahli ilmu politik. Sosok yang menjadi pasangan Bung Karno ini tak kalah kritis pikirannya. Setidaknya ada dua buku menarik untuk memahami Bung Hatta, yakni Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta karya Marvis Rose dan Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa, 1902-1980 karya Deliar Noer.

Marvis Rose menulis bahwa Bung Hatta adalah sosok yang membaktikan seluruh hidupnya untuk kemerdekaan Indonesia, yang bagi Hatta bukan hanya berarti tercapainya kedaulatan nasional, tapi juga terwujudnya reformasi sosial dan kedaulatan rakyat. Bersama karya Deliar Noer dan karya Marvis Rose, buku lain yang memberi gambaran jelas tentang sosok Bung Hatta ialah Seratus Tahun Bung Hatta yang memuat kumpulan tulisan dari penulis dari generasi yang berbeda-beda.

Tentu saja, Memoir merupakan karya yang tidak boleh dilewatkan. Buku yang ditulis sendiri oleh Bung Hatta ini bukan hanya menggambarkan secara rinci perjalanan hidupnya sejak masa kecil di Tanah Minangkabau, tetapi juga refleksi terhadap berbagai peristiwa penting yang terjadi ketika ia sudah terjun ke dunia pergerakan.

Sebagaimana Soekarno, sejak usia muda Hatta telah menuangkan pikiran-pikirannya di berbagai media massa. Di usia 21 tahun, ia menulis tentang Indonesia di Tengah-tengah Revolusi Asia. Bung Hatta berbicara bahwa revolusi yang berlangsung di Indonesia tak bisa dilepaskan dari pergolakan bangsa-bangsa Asia yang sedang berusaha membebaskan diri dari kolonialisme. Buku Alam Pikiran Yunaniditulis oleh Hatta saat ia dibuang oleh penguasa kolonial ke Banda Neira. Kumpulan Karangan I hingga IV menampung tulisannya yang bertebaran di berbagai media zaman kolonial maupun setelah kemerdekaan. 

Buah pikir Hatta yang menggemparkan setelah kemerdekaan ialah manifesto Demokrasi Kita yang diterbitkan setelah ia mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden pada 1956. Hatta berusaha mengingatkan kembali penguasa dan masyarakat perihal bagaimana seharusnya demokrasi dipraktikkan dalam masyarakat kita. Bung Hatta menulis: “ ... orang melupakan syarat-syarat untuk membangun demokrasi di dalam praktik.” Di saat yang sama ia bermaksud memberi kesempatan kepada Soekarno untuk mewujudkan gagasannya tentang masyarakat Indonesia.

 

SUTAN SJAHRIR

Orang ketiga yang berada di pucuk pimpinan Indonesia segera setelah kemerdekaan ialah Sutan Sjahrir. Lebih muda dibandingkan Soekarno-Hatta yang menjadi presiden dan wakil presiden pertama, Sjahrir ditunjuk menjadi perdana menteri pertama Indonesia pada usia 36 tahun. Hubungan Sjahrir dan Bung Karno sungguh menarik, bagaikan ‘benci tapi rindu’—namun perbedaan di antara mereka justru memperkaya kapasitas bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan. Sayangnya, Sjahrir harus meninggal di pengasingan di Swiss pada masa pemerintahan Soekarno.

Peran, kontribusi, dan pemikiran Sjahrir dapat dibaca dalam karya Rudolf Mrazek, Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia (sudah diterjemahkan) serta karya John D. Legge, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sjahrir. Gambaran sosok Sjahrir yang lebih personal dapat dibaca dalam Mengenang Sjahrir, sebuah kumpulan tulisan yang disunting oleh Rosihan Anwar.

Sjahrir selalu mengumandangkan ide-ide tentang demokrasi yang bermartabat walaupun menurut para pengritiknya jalan tersebut begitu lambat. Selain Pikiran dan Perjuangan, Perjuangan Kami (diterjemahkan oleh Ben Anderson menjadi Our Struggle) serta Renungan Indonesia, Sjahrir menggemparkan dunia politik di seputar tahun 1945 lewat manifestonya: Perdjoeangan Kita. Sosok yang akrab disebutBung Kecil ini mengritik para pemuda yang tidak memiliki pendirian yang tegas. Ia juga mengecam partai politik yang bersikap plin-plan. Ini barangkali karena Sjahrir bukanlah politikus seperti dalam pemahaman James Freeman Clarke yang mengatakan, “Seorang politikus memikirkan soal pemilu yang akan datang. Seorang negarawan memikirkan generasi yang akan datang.”

 

TAN MALAKA

Sebagai tokoh yang bergerak secara misterius selama masa perjuangan untuk menghindari kejaran pemerintah kolonial, dan lebih tua dibandingkan generasi Sukarno-Hatta, Tan Malaka merupakan sosok menarik. Harry Poeze, ilmuwan Belanda, menaruh perhatian dan melakukan penelitian yang intens terhadap sosok Tan Malaka. Buku penting yang ditulis Poeze mengenai sosok ini adalah Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik serta Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia. Dua karya penting Poeze—yang kerap disebut sebagai ‘ahli tentang Tan Malaka’—ini  menggambarkan dengan jelas peran dan kontribusi Tan Malaka terhadap kemerdekaan, meskipun kemudian ia dilupakan oleh bangsanya.

Di samping sebagai seorang pejuang politik yang cerdik dan ulung, tapi kontroversial dan tragis, menurut almarhum Alfian—ilmuwan terkemuka, Tan Malaka adalah seorang intelektual-pemikir yang berkaliber. Dalam penilaian Alfian, karya Tan Malaka orisinal, berbobot, dan brilian.

Sebagai orang yang tergolong produktif menuangkan pikirannya dalam tulisan, buah pikir Tan Malaka dapat dibaca di berbagai bukunya. Madilog, yang ditulis oleh Tan Malaka dalam keadaan miskin di pinggiran kota Jakarta, mengajak kita untuk menata cara berpikir melalui pembahasan yang filosofis. Madilog dianggap karya terbaik Tan Malaka.

Karya-karyanya yang lebih strategis dan praktis tertuang dalam Gerilya Politik dan EkonomiMassa Actie, maupun catatannya Dari Penjara ke Penjara. Revolusi Indonesia, tulis Tan Malaka dalam Massa-Actie, memiliki dua tombak, yaitu mengusir imperialisme Barat dan mengikis sisa-sisa feodalisme. Revolusi semacam itulah, bilamana berhasil dilaksanakan, yang akan mendatangkan perubahan yang berarti dan menyeluruh dalam politik, ekonomi, sosial dan bahkan mental.

Pada 1924, dalam usia 27 tahun, Tan Malaka menerbitkan risalah Menuju Republik Indonesia yang memuat konsep tentang negara Indonesia yang sedang diperjuangkan. Karya ini mendahului pledoi Hatta di depan pengadilan Belanda di Den Haag, yakni Indonesia Merdeka (1928) maupun tulisan Soekarno, Menuju Indonesia Merdeka (1933). ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Establishment

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 10 April 2024 09:18 WIB

Terkini

Terpopuler

Establishment

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 10 April 2024 09:18 WIB