x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Skandal Orang-orang Sekeliling Presiden

Tepat 40 tahun yang lampau, buku All the President's Men terbit. Mengisahkan Skandal Watergate yang menjatuhkan Presiden Richard Nixon, karya Woodward dan Bernstein ini tetap relevan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.
--Lord Acton (Sejarawan, 1834-1902)

 

Tepat 40 tahun yang silam, dua jurnalis suratkabar The Washington Post menerbitkan buku berjudul All the President’s Men. Bob Woodward dan Carl Bernstein membukukan peristiwa politik yang sangat menggemparkan rakyat AS, yang terjadi setahun sebelumnya (1973), dan membuat Presiden Richard Nixon harus turun dari jabatannya. Dua tahun kemudian, kisah investigasi Woodward dan Bernstein terhadap skandal politik tersebut diangkat ke layar lebar.  

Setelah empat dasawarsa sejak diterbitkan pertama kali, karya Woodward dan Bernstein—yang disebut oleh Gene Roberts, mantan redaktur pelaksana The Philadelphia Inquirer, sebagai ‘maybe the single greatest reporting effort of all time’—ini tetap relevan untuk dibaca setidaknya untuk dua alasan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama, karya ini merupakan hasil penulisan yang lebih utuh dari laporan-laporan pemberitaan investigatif yang disampaikan Woodward dan Bernstein untuk koran mereka, The Washington Post. Sebagai hasil kerja yang sangat mendalam dan penuh risiko karena pemberitaannya menyangkut orang-orang penting di sekeliling Presiden Nixon, hasil investigasi mereka selalu menjadi acuan para jurnalis sampai sekarang.

Kedua, reportase mereka memberikan dampak besar terhadap nasib kepresidenan Richard Nixon. Ia mundur dari jabatannya pada 8 September 1974 dan digantikan oleh Wakil Presiden Gerald Ford serta memperoleh pengampunan. Peristiwa yang dikenal sebagai Skandal Watergate ini memberi pelajaran penting bagi siapapun perihal etika demokrasi dan sisi-sisi gelap kekuasaan. Pada masanya, ketika terbongkar dan menjadi pemberitaan terus-menerus pada tahun 1972-1973, Skandal Watergate bukan hanya mengguncang AS, tapi juga dunia.

Apa yang terjadi di Watergate—nama kompleks perkantoran dan permukiman di kawasan Washington, D.C., yang menjadi markas Partai Demokrat AS?

Woodward dan Bernstein membuka halaman buku yang meraih Hadiah Pulitzer ini dengan sebuah adegan seperti ini: Sabtu, 17 Juni 1972, pukul sembilan pagi. Masih kepagian untuk orang menelepon. Woodward meraih gagang telepon dan berusaha terjaga sepenuhnya. Asisten editor The Washington Post menelepon: “Lima orang ditahan dini hari tadi karena kasus pembobolan di markas Partai Demokrat dengan membawa peralatan fotografi dan piranti elektronik. Apakah Woodward bisa masuk kantor?”

Hari Sabtu sebagian besar jurnalis libur. Kantor The Washington Post sepi. Woodward menyangka, pembobolan ini tidak ubahnya kasus-kasus kecil yang penugasan reportasenya diserahkan kepadanya, seperti investigasi rumah makan yang sanitasinya kurang baik dan korupsi-waktu kecil-kecilan yang berlangsung di kepolisian. Ia baru terhenyak beberapa waktu kemudian ketika salah seorang dari pembobol itu mengaku di hadapan hakim bahwa ia pensiunan badan intelijen CIA.

Selanjutnya ialah cerita panjang. Berbagai bukti dan informasi yang dihimpun oleh Woodward dan Bernstein mengenai pembobolan kantor Partai Demokrat itu kemudian mengarah kepada orang-orang di sekeliling Richard Nixon, seperti Kepala Staf Gedung Putih H.R. Haldeman dan mantan Jaksa Agung John N. Mitchell, yang sekaligus direktur kampanye Nixon. Kandidat presiden dari Partai Republik ini tengah berupaya untuk kembali menjadi presiden pada masa jabatan kedua.

Hasil reportase investigasi Bernstein dan Woodward ini ditulis bak novel detektif politik. Salah satu hal menarik dari Bernstein dan Woodward ialah ketahanan (endurance) mereka untuk menjaga kerahasiaan tentang siapa sebenarnya Deep Throat itu. Dalam buku All the President’s Men, kedua jurnalis ini sama sekali tidak mengungkapkan siapa Deep Throat—orang yang memberi informasi penting kepada mereka.

Untuk waktu yang lama, identitas orang yang menjadi sumber informasi kedua jurnalis itu tetap misterius. Selama 33 tahun ketiga orang ini sama-sama mampu menahan mulut mereka untuk tidak mengungkapkan siapa gerangan Deep Throat. Hingga akhirnya, tiga tahun menjelang wafat, pada tahun 2005 Mark Felt menyingkapkan perannya sebagai Deep Throat—tokoh utama di balik membocorkan Skandal Watergate kepada Woodward dan Bernstein.

Woodward kemudian menulis kisah perjuangan orang nomor dua di jajaran Federal Bureau of Investigation (FBI) tersebut dalam bukunya yang terbit pada tahun yang sama, The Secret Man. Ini cerita menarik lain yang mengungkapkan perlawanan Felt terhadap permainan kotor elite di Gedung Putih yang mengelilingi Presiden Nixon.

Salah satu pelajaran pokok Skandal Watergate ialah bagaimana kekuasaan dengan pesonanya yang begitu menggoda mampu membujuk orang untuk sanggup melakukan apa saja demi mempertahankan kekuasaan. Dan itu dapat terjadi di mana saja dan dalam rupa yang bisa jadi berbeda-beda. Woodward dan Bernstein sudah menunjukkan bagaimana seharusnya jurnalis bekerja dan berpihak: kepada kepentingan publik, bukan kepada partai dan elite politik. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler