x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gayatri, Poliglot, dan Kecerdasan Linguistik

Sebagian orang dianugerahi kecerdasan linguistik dan menjadi poliglot. Seperti pisau, potensi kecerdasan ini mesti diasah agar menjadi tajam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

I believe that the brain has evolved over millions of years to be responsive to different kinds of content in the world. Language content, musical content, spatial content, numerical content, etc.
--Howard Gardner (Psikolog, 1943-...)

 

Apa yang terjadi pada Gayatri Wailissa belum lagi terang benar. Bakat luar biasa yang menguasai 14 bahasa ini harus berpulang di usia 18 tahun. Ia seorang poliglot yang dianugerahi kecerdasan linguistik untuk memahami beragam bahasa manusia. Dalam hemat saya, ia juga menikmati bakat yang tidak setiap orang memilikinya.

Kemampuan berbahasa yang beraneka membuka jalan bagi Gayatri untuk berperan sebagai duta yang menyambungkan silaturahim anak manusia. Seperti juga almarhum Agus Salim, pejuang yang pernah menjadi menteri luar negeri kita, seorang otodidak yang fasih dalam 7 bahasa asing. Seperti pula R.M.P. Sosrokartono, kakak R.A. Kartini, yang dikabarkan mampu berbicara dalam 24 bahasa asing dan 10 bahasa daerah. Ia penerjemah handal dan koresponden perang dunia untuk suratkabar The New York Herald Tribune.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gayatri, Agus Salim, dan Sosrokartono memiliki kemampuan menyerap struktur, kosakata, bahkan ‘logika bahasa’ yang lebih hebat dibanding kebanyakan orang. Sebagian orang memang tampak lebih mudah menguasai bahasa baru dibandingkan orang lain. Meminjam istilah Howard Gartner (Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences), mereka memiliki kecerdasan linguistik yang lebih tinggi dari rata-rata orang.

Kecerdasan jenis ini menjadikan seorang poliglot lebih cepat menguasai bahasa baru. Mereka lebih gampang mengingat kata-kata yang baru didengar atau dibaca, menirukan ucapan yang benar, bahkan lebih dari itu mengenali pola bagaimana sebuah kata dibentuk dari kata lain atau sebuah kalimat disusun dari kata-kata.

Mengenali pola merupakan ciri dari kemampuan di atas rata-rata, dan ini berlaku dalam bidang apapun. Orang-orang yang dianugerahi kecerdasan musikal akan dengan cepat menangkap irama, intonasi, dan pitch yang tepat dari sebuah nyanyian meski baru pertama kali mendengarnya. Seperti juga orang-orang yang depat cepat mengenali pola susunan angka-angka yang bagi orang kebanyakan terlihat sangat acak.

Seorang poliglot dan orang-orang yang memiliki kecerdasan linguistik, pertama-tama, memiliki kecondongan untuk menyukai bahasa. Mereka lebih peka saat menangkap tuturan dalam bahasa lain. Kecerdasan linguistik sebenarnya mencakup empat kemampuan: berbicara, membaca, mendengar, dan menulis—seorang yang cerdas secara linguistik mungkin saja mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda dalam 4 hal tersebut.

Meski begitu, ada pula teori yang menyebutkan bahwa seseorang akan mampu menguasai banyak bahasa bila ia punya kemauan untuk mempelajari bahasa—ini hanya soal motivasi walau tidak memiliki bawaan alamiah, begitu kata teori ini. Bila begitu, mengapa sebagian orang lainnya tetap kesulitan mempelajari bahasa baru? Temuan Katrin Amunts dapat menjelaskan perkara ini.

Katrin Amunts, seorang neuroscientist, yang mempelajari otak Emil Krebs—seorang poliglot berdarah Jerman yang mampu berbicara dan menulis dalam 68 bahasa, mendapati bahwa wilayah pada otak Krebs yang mengatur kemampuan berbahasa memiliki susunan yang berbeda dibandingkan otak orang-orang yang berbahasa tunggal (monolingual). Studi Amunts inilah yang dapat menjelaskan mengapa seseorang lebih cerdas secara linguistik dibandingkan orang lain.

Seseorang yang kecerdasan linguistiknya tinggi punya keunggulan untuk mempersuasi orang lain. Apa yang mereka tulis dan katakan, dan cara mereka mengekspresikan pikiran, akan membekas dan tak terlupakan. Friedrich Engels, industrialis dan ilmuwan sosial, yang mengembangkan teori sosial bersama Karl Marx, menguasai lebih dari 20 bahasa. John Milton, penulis Paradise Lost, berbicara dalam bahasa Inggris, Latin, Jerman, Yunani, Ibrani, Italia, Spanyol, dan Suriah.

Memang, tidak semua poliglot yang niscaya memiliki kecerdasan linguistik tinggi menjadi seperti Engels dan Milton. Pada akhirnya, potensi kecerdasan yang dibawa secara genetis membutuhkan pengasahan—unsur verbal di dalam kecerdasan ini mesti diasah melalui aktivitas yang disukai (aktivitas diplomasi pada Agus Salim dan menulis  pada Engels dan Milton).

Potensi kecerdasan ini tidak ubahnya pisau, yang akan menjadi tajam bila terus diasah, dan akan menjadi majal bila dibiarkan teronggok di rak piring. Berbekal kecerdasan linguistiknya, Gayatri sudah memulai tugas mulianya dengan menjadi duta anak. Tidak lama, memang, tetapi yang singkat itupun, saya berharap, sudah dapat menjadi inspirasi bagi banyak orang. (foto: playbuzz.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler