x

Iklan

indri permatasari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Antraks dan Bioterorisme

Penyalahgunaan Bakteri Antraks Sebagai Senjata Biologi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Bagi penyuka novel atau pun film tentang konspirasi yang melibatkan negara-negara dengan teknologi penghancur masa kini tentu tak asing lagi dengan yang namanya senjata biologi ataupun bioterorisme. Mungkin saja bagi sebagian kalangan hal tersebut terlalu mengada-ada, namun mengingat situasi yang berkembang saat ini dengan konflik-konflik antarnegara yang semakin kompleks sepertinya penggunaan senjata biologi untuk melakukan aksi terorisme perlu mendapat  perhatian lebih.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagaimana kita ketahui bersama Indonesia memiliki luas wilayah terbentang luas dengan puluhan ribu pulau yang dipisahkan oleh lautan. Dengan kondisi geografis yang demikian maka tak dapat dipungkiri lagi bahwa negara kita memiliki banyak daerah yang berbatasan langsung dengan Negara lain dengan sisitem pengamanan yang masih belum memadai. Kondisi seperti ini mau tak mau Indonesia harus meningkatkan kewaspadaan terhadap segala ancaman terhadap segala penyalahgunaan yang berakibat kepada terror, karena bagaimanapun ketika bencana terjadi maka masyarakat sipil lah yang lebih banyak menjadi korban.

 

Kembali ke masalah senjata biologi, secara garis besar ada beberapa agen yang bisa digunakan yaitu virus, protozoa, fungi, ricketsia dan bakteri. Sekilas virus seperti menduduki tahta tertinggi sebagai hazard namun ternyata semua agen tersebut sama-sama berpotensi bahaya. Kali ini saya akan membatasi pada Antraks terlebih dahulu, karena dari beberapa artikel yang pernah saya baca ternyata penggunaan antraks sangat populer untuk menyebarkan terror pernah terjadi di Russia  tahun 1979, di Tokyo tahun 1995 dan USA di penghujung tahun 2001.

Antraks seringkali dikelirukan sebagai penyakit yang disebabkan oleh virus, padahal sebenarnya Antraks disebabkan oleh bakteri bacillus anthracis. Bakteri yang bentuknya mirip rantai dengan ujung persegi ini adalah bakteri gram positif dengan ukuran 1-1,5 x 3-5 mikrometer, bersifat anaerob (tahan terhadap keadaan tanpa oksigen) dan memiliki spora. Spora inilah yang membuat bakteri  ini bisa bertahan dalam lingkungan yang ekstrim sekalipun, spora ini tetap bertahan walau dalam kondisi yang kering, lembab, panas tinggi maupun dingin yang rendah, bahkan di dalam tanah, spora antraks akan bertahan hidup sampai 40 tahun lamanya.

Merunut sejarahnya, antraks pertama kali diidentifikasi oleh Robert Koch pada tahun 1877 yang berhasil membiakkan kultur bakteri ini dan membuktikannya pada hewan coba. Pada umumnya antraks menyerang hewan herbivora seperti sapi, kambing dan domba, sedangkan di Indonesia sendiri lebih sering berjangkit pada sapi. Mekanisme penularan terjadi saat hewan memakan spora antraks yang tertelan ketika sedang digembalakan. Spora yang masuk ke dalam tubuh hewan akan berubah menjadi bentuk vegetative kemudian memperbanyak diri dan menyerang hewan dari dalam sampai hewan tersebut mati. Saat atau menjelang kematian terjadi maka bentuk vegetative keluar dan menyebar ke lingkungan dan mengulang siklus yang sama.

 

Antraks pada hewan memiliki beberapa tipe yaitu

  • Sub akut, ditandai dengan kematian mendadak yang didahului kejang, sesak nafas, gemetar atau bahkan tanpa gejala sama sekali.
  • Akut, ditandai demam tinggi, pada sapi perah produksi susu akan menurun drastic, pada hewan bunting akan terjadi abortus, depresi, susah bernapas, kejang diikuti dengan kematian yang ditandai keluarnya darah kental berwarna merah kehitaman dari lubang kumlah.
  • Kronis, lebih sering terjadi pada babi yang menyebabkan lepuh di sekitar lidah dan kerongkongan.

 

Perlu diketahui Antraks adalah penyakit zoonosis (dapat menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya), penularan pada manusia  dapat terjadi melalui kulit, pernafasan dan pencernaan dengan mekanisme sebagai berikut :

  • Antraks kutaneus (antraks kulit) terjadi jika bakteri atau spora terkena pada kulit yang memiliki lecet/luka terbuka. Dengan cepat luka  akan berubah menjadi lepuh, dan menjadi bisul bernanah hingga akhirnya menjadi koreng berwarna hitam. Antraks jenis ini biasa terjadi di tempat penjagalan hewan yang tidak menerapkan standar penyembelihan yang benar.
  • Antraks gastro-intestinal (antraks pencernaan) terjadi jika bakteri atau spora tertelan lewat mulut melalui makanan atau minuman. Daging terinfeksi yang dimasak setengah matang menjadi faktor utama penyebabnya. Ciri daging yang terkena antraks adalah berwarna kehitaman, berlendir dan berbau busuk.
  • Antraks pulmonal (antraks pernafasan) terjadi karena menghirup spora. Inilah yang paling mungkin dilakukan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang berniat menjadikan bakteri ini sebagai senjata biologi. Tipe ini memang paling berdampak karena case fatality rate nya mencapai 99,99%

 

Sampai saat ini banyak propinsi di Indonesia yang menjadi daerah tertular Antraks diantaranya, Jabar,Jateng, NTB, NTT, Jambi, Sultra, Sulsel, Sulut dan Papua (catatan : tidak seluruh daerah di propinsi tersebut adalah daerah endemis, hanya beberapa kabupaten saja). Kejadian kasus antraks di negara kita selalu saja menyedihkan karena hampir selalu diikuti dengan korban manusia (terutama masyarakat kelas bawah). Walaupun tidak bisa dibenarkan namun hal ini dapat menjadi pemakluman karena kondisi masyarakat yang miskin sehingga kesempatan makan daging bisa selama hidupnya bisa dihitung dengan jari. Apalagi saat ternak yang mati adalah harta satu-satu nya yang digadang-gadang sebagai tabungan. Walaupun mereka tahu bahwa ternak mati karena penyakit yang berbahaya dan bisa menular, mereka tak akan mempedulikannya. Alih-alih dibakar dan dikubur dengan taburan kapur diatas bangkai dengan kedalaman yang tidak memungkinkan untuk digali hewan liar, terkadang mereka malah menyembelih dan menjual dagingnya untuk dikonsumsi. Akhirnya sikluspun tidak bisa terputus.

 

Selain itu, kebiasaan peternak yang mengumbar ternaknya untuk mencari makan sendiri menambah faktor risiko kejadian antraks berulang, apalagi di musim kemarau dimana rumput terbatas sehingga ternak makan dekat sekali dengan tanah yang tercemar. Hal ini juga terjadi di daerah-daerah pertanian, mungkin saja karena ketidaktahuan para petani atau mereka seperti biasa menganggap dirinya sakti sehingga tetap saja menerabas rambu yang ada. Daerah yang terlarang untuk digarap tetap saja diolah dan ditanami. Otomatis spora yang tertimbun dalam tanah akan muncul ke permukaan, apalagi jika hujan terjadi maka lengkaplah sudah, spora di permukaan tanah akan berpindah tempat dan selanjutnya mengulang siklus yang sama di tempat yang baru.

 

Dengan kondisi seperti diatas rasanya sulit untuk mengenyahkan antraks dari muka bumi, bukan pesimis tapi memang dibutuhkan tekad, semangat dan kerja yang kuat agar semua bisa terwujud. Ah jadi ingat serangan USA ke Irak yang dituduh memiliki senjata biologis pemusnah massal tapi akhirnya tak terbukti terbukti juga, dan akhirnya semoga penyalahgunaan bakteri antraks sebagai bioterorisme demi mangacaukan perdamaian dunia hanya khayalan saya saja dan tidak akan terjadi sampai kapanpun

 

sumber : www.oie.int www.who.int www.wikipedia.org www.kemhan.go.id

 

Ikuti tulisan menarik indri permatasari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler