x

Iklan

Anton Muhajir

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Belajar Ekowisata dari Nelayan Tuban, Kuta

Melihat ekowisata nelayan Tuban, saya membayangkan begitulah seharusnya pariwisata di Bali dilaksanakan. Pariwisata Bali harus melibatkan warga lokal. Tidak dengan menggusur warga, membangun fasilitas mewah dan mahal, lalu warga lokal hanya melongo menjad

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tiap kali jalan-jalan ke Kelompok Nelayan Wanasari Tuban, Kuta, Badung saya membayangkan begitulah sebaiknya warga Bali mengelola pariwisata.

Begitu pula ketika saya ke sana pertengahan September lalu. Kunjungan itu yang ke sekian kali. Entah yang ke berapa karena saking seringnya. Tiap kali ngobrol dengan pengurus kelompok nelayan ini, makin yakin pula saya bahwa pelaku pariwisata Bali sebaiknya berkaca kepada mereka.

Kelmpok nelayan Wanasari di Tuban, Kuta ini menjadi contoh bahwa warga lokal bisa menjadi tuan dalam pengelolaan pariwisata di tanahnya sendiri. Mereka mengelola pariwisata berkelanjutan secara bersama-sama. Mereka pula yang langsung mendapatkan hasilnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Semula, nelayan di Tuban, Kuta ini menjadi korban pembangunan.

Dua tahun lalu mereka menunjukkan bagaimana pembangunan yang tak berpihak pada mereka. Megaproyek bernama pembangunan jalan tol di atas permukaan (JDP) dibangun melewati kawasan mereka.

Jalan tol pertama di Bali tersebut konon dibangun salah satunya agar jalan para pejabat yang akan hadir di APEC lebih mulus. Karena itu, pembangunan tol pun dikebut agar selesai sebelum APEC, forum para pemimpin negara maju di dunia.

Alasan lain demi menjawab kemacetan Bali selatan yang kian parah.

Demi pembangunan itu semua, nelayan jadi korban. Made Sumasa, salah satu nelayan Tuban, bercerita ketika itu. Nelayan tak bisa melaut. Jukung mereka tak bisa lewat ke laut lepas karena terhalang rapatnya tiang pancang jalan tol. Kepiting-kepiting tak bisa tenang karena ributnya pembangunan.

Sambil ngobrol lesehan di rumahnya, Sumasa ketika itu menunjukkan foto-foto dia menabrakkan jukungnya ke tiang tol. Begitulah pembangunan yang tak melibatkan warga dalam perencanaannya.

Tapi, nelayan di Tuban, Kuta tersebut jeli juga. Selain menuntut ganti rugi dari pelaksana proyek yaitu PT Jasa Marga, mereka juga kemudian membuat ekowisata di daerah tersebut.

Di desa mereka memang ada hutan mangrove. Luasnya sekitar 35 hektar. Nelayan pun mengelola hutan tersebut sebagai tempat wisata. Tempatnya asyik. Ada jembatan bambu. Balai untuk bersantai. Restoran. Naik jukung. Dan banyak lagi.

Semuanya di dalam kawasan hutan.

Menariknya karena mereka sendiri yang mengelola. Tapi ya karena mereka memang bukan nelayan murni. Sebagian besar dari mereka bekerja di sektor pariwisata juga. Nelayan hanya semacam sampingan dan hobi.

Dengan bantuan modal dari Pertamina, mereka bisa mengelola ekowisata. Tak perlu modal dari investor yang menjadikan mereka sebagai babu atau malah mengusir mereka dari tanahnya sendiri.

Karena ekowisata, maka warga pun mau tak mau harus memperhatikan aspek lingkungan. Mereka punya aturan tegas. Warga tak boleh menebang pohon mangrove sama sekali. Pengunjung yang jalan-jalan di hutan mangrove wajib membawa sampah plastik yang mereka temui.

Melihat ekowisata nelayan Tuban, saya membayangkan begitulah seharusnya pariwisata di Bali dilaksanakan. Pariwisata Bali harus melibatkan warga lokal. Tidak dengan menggusur warga, membangun fasilitas mewah dan mahal, lalu warga lokal hanya melongo menjadi penonton, atau malah jadi korban.

Ikuti tulisan menarik Anton Muhajir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB