x

Iklan

arjunaputra aldino

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Demokrasi Pasar Loak: Antara Protes dan Kegilaan

Demokrasi yang hanya saling tukar menukar kekuasaan, telah membunuh politik itu sendiri. Tak ada gunanya pemenuhan kriteria prosedural demokrasi jika dalam keseharian kita menyaksikan DPR yang korup, dan politik dijalankan oleh partai-partai yang tak jela

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejumlah awak media memberitakan, di penghujung 2012 terjadi sebuah gelombang aksi massa dahsyat yang pernah ada di seantero Negeri Paman Sam. Sekerumunan massa berhamburan dijalanan, mereka menutup jalan, memadati sela-sela kota bahkan hampir menuai bentrok dengan aparat keamanan yang berjaga. Mereka adalah sekelompok pengangguran berjumlah 14 juta orang. Mereka berdemonstrasi di depan gedung Times Square New York (Wall Street).

 

Walau harus berhadapan dengan sejumlah aparat keamanan yang ada, mereka terus berteriak dengan lantang sambil mengusung poster bertuliskan “Them belly full, we are hungry”, jika diterjemahkan kiranya berbunyi “perut mereka penuh, perut kami keroncongan”. Mungkin inilah bentuk kekesalan mereka terhadap Wall Street yang merupakan simbol episentrum perekonomian Amerika, yang konon karenanya Amerika menjadi negara super power. Dan ternyata Amerika tak juga mampu menggunakan rumus trickle down effect untuk menghentikan gelombang protes yang dilakukan oleh sebagian besar rakyatnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Padahal dulu para ekonom Amerikalah yang penuh semangat menghembuskan mitos trickle down effect di hampir seluruh belahan dunia ketiga. Namun apa daya, dimana terjadi penumpukan disitulah tumbuh benih keambrukan. Karena tak patuh pada hukum keseimbangan, penumpukan seraya menghasilkan kerobohan yang porak poranda. Bagaikan balon yang terus menggelembung, yang tinggal menunggu waktu kapan saatnya ia akan pecah. Ia layaknya sebuah “paranoia”, yakni sebuah kerowak dalam kesadaran yang mengklaim dirinya organisme yang tak retak.

 

Mungkin para demonstrans itu hanyalah orang-orang yang lapar yang hanya bisa menuliskan protes, hanya seorang pengangguran yang tak berketrampilan. Namun suaranya lantang dan gemanya panjang menunjukan terjadinya berbagai ketidakadilan. Mereka ibarat jarum kecil yang berkecamuk didalam tubuh narasi kedigdayaan Amerika. Amerika yang selama ini selalu nampak dalam kisah keberesan ekonomi dan kemajuan demokrasinya. Atau mungkin mereka bukanlah bagian dari himpunan, yang disisihkan untuk tak bisa ambil bagian. Tapi justru sebab itu ia berarti. Mereka dalam bahasa Rancière adalah orang-orang “di luar hitungan”. Yang suatu ketika akan menyeruak tak terduga, memecah kebekuan keadaan.

 

Mereka menggugat kemajuan Amerika yang selama ini didengungkan di berbagai belahan dunia. Mereka mulai tak yakin dengan demokrasi yang dulu mereka promosikan di seantero jagad. Yang ternyata tak mampu berkutik ketika mereka lapar dan tak bepenghasilan. Bahkan studi menarik dari Lary M Bartels (2004) menyatakan bahwa tidak kurang dari 58,1 persen senator yang terpilih memiliki basis pendanaan dari perusahaan. Wajar jika demokrasi yang dulu gencar mereka promosikan tak menguntungkan mereka yang lapar dan tak berpenghasilan. Akhirnya ia menuai protes dan kecaman.

 

Berbeda dengan Amerika, walau negeri kita menurut Jeffrey Winters setelah Orde Baru runtuh, dipimpin oleh segerombolan “oligarki liar”. Namun ia tak memunculkan gelombang protes yang besar seperti yang terjadi di Amerika. Hampir di setiap berakhirnya pemilihan umum, media massa kita selalu mengabarkan banyak para konstestan calon anggota legislatif kita yang kalah dalam pertarungan politik mendadak stress, karena terlilit hutang dan kehilangan uangnya dengan jumlah yang tak sedikit di waktu yang singkat dan begitu saja.

 

Demokrasi yang mengandalkan kekuatan uang dalam menjalankan mesin politiknya bahkan uang menjadi panglima, sebagai sumber utama kekuatan politik ternyata mengundang resiko psikologis yang buruk. Memang tak bisa di pungkiri, di tengah alam pasar bebas uang menjadi kuasa tertinggi di atas segalanya, bahkan sesuatu yang seharusnya tak dapat disejajarkan nilainya dengan uang, kini ditukar dengan uang seperti dewan perwakilan, jabatan, gelar, dan posisi fungsional. Uang menjadi nilai tukar bagi semua objek, dan akhirnya semuanya menjadi komoditas, tak lebih dinilai sebagai barang dagangan yang diperjual-belikan di pasar.

 

Dan yang paling memilukan dari itu, semua relasi sosial antar manusia terlihat seolah-olah menjadi relasi antar benda. Manusia didalam alam kapitalisme lambat laun kehilangan individualitasnya. Ketika pasar sedemikian berkuasa, manusia seperti kerbau dicocok hidungnya. Pasar telah membelenggu manusia dalam keterasingan. Tak hanya itu, akhir-akhir ini masyarakat Indonesia saban hari disajikan dengan pentas kegaduhan politik, mulai dari gonjang-ganjing koalisi sampai pada kisruh pertengkaran antar elite politik di parlemen yang hanya membuat bising lubang telinga. Politik seolah-olah hanya sekedar ribut melulu soal hitung-menghitung kursi. Politik seakan-akan telah menjadi ritus yang menentukan menang kalah secara numerikal.

 

Demokrasi yang hanya saling tukar menukar kekuasaan, telah membunuh politik itu sendiri. Tak ada gunanya pemenuhan kriteria prosedural demokrasi jika dalam keseharian kita menyaksikan DPR yang korup, dan politik dijalankan oleh partai-partai yang tak jelas alasan hidupnya kecuali merebut kursi? Berita tentang wakil rakyat yang korup selalu memadati layar televisi kita. Kasus demi kasus menjerat politikus kita, yang seakan-akan tak bersalah tetap lantang berbicara. Seakan-akan kita dipaksa untuk merayakan hidup di tengah ketamakan dan kerakusan. Demokrasi kita seakan-akan hanya menampilkan sederet kegilaan yang tak kunjung usai. Demokrasi yang berkawin dengan pasar memunculkan kegaduhan dan dipenuhi oleh gemuruh orang yang pandai berseni peran. Seperti layaknya di pasar, kerakusan bukan saja dianggap hal yang lumrah, tapi juga dirayakan. Suara tentang orang-orang kecil dan kebaikan bersama kurang mendapatkan tempat.

 

Ketika demokrasi tak banyak mengubah keadaan, yang timbul adalah rasa kecewa dan amarah, menyaksikan kebohongan dan ketamakan beranak-pinak. Walau kekuasaan digital berhasil menggeser fokus, bahwa wajah dan citra lebih penting ketimbang program dan pikiran. Namun masyarakat kita tidaklah bodoh, dan tak bisa dibodohi terus menerus. Mungkin kini masyarakat kita hanya sekedar diam, yang mungkin diam dengan hati yang marah. Seperti layaknya sosok Semar dalam cerita pewayangan Jawa, yang selalu melakukan perlawanan yang tak diucapkan karena tak dapat menghadirkan diri secara politik. Diam yang mencerminkan satu sikap yang menampik hegemoni dari sang pangeran.

 

Namun tak bisa selamanya, apalagi jika situasi buruk selalu ditimpakan padanya maka lambat laun ia akan mampu mengenali dirinya sendiri. Karena mau tak mau, kondisi sosial-lah yang memunculkan kesadaran diri. Seperti apa yang diungkapkan Wiji Thukul dalam puisinya, bahwa penindasan adalah guru yang paling jujur bagi mereka yang mengalaminya. Dan derita rakyat selalu lebih tua dari usia penguasa. Kelaliman penguasa di setiap zaman pasti akan terbaca dari setiap sudut dan sisinya, walau disembunyikan di balik gedung yang menjulang tinggi sekalipun.

Arjuna Putra Aldino, Mahasiswa Teknologi Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta

Ikuti tulisan menarik arjunaputra aldino lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler