x

Iklan

Andi Yayath Pangerang

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Drama Korupsi di Panggung Politik

Adalah benar, jika fenomena ganyang korupsi telah mengisi hampir seluruh panggung yang tersedia dalam kehidupan ini, hari demi hari. Namun, saya belum merasa perlu untuk bertepuk tangan, bersorak-sorai atau melakukan standing ovation.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada forum media sosial, seorang follower bertanya ketus, mengapa Anda tampaknya tak bereaksi apapun terhadap gonjang-ganjing isyu korupsi yang marak? Saya pun terpaksa mengemukakan sikap sebagai penonton yang sedang mengapresiasi dramaturgi yang bergerak di antara interaksi sosial kesekitaran kita dengan fenomena politik negeri ini.

Karena sedang serius menonton, rasanya sangatlah  tidak layak menginterupsi. Tontonan yang menyajikan ide tentang pemberantasan korupsi ini sedang berjalan, dimana itu sudah barang tentu itu bertujuan memicu perubahan sosial dalam masyarakat.  Posisi perlibatan diri saya, tidak dalam kapasitas seperti groupies yang sedang menyaksikan selebritis pujaannya sedang bermanuver dengan ketrampilannya. Ini pertunjukan serius, bukan dagelan, karena ini soal nasib bangsa.

Adalah benar, jika fenomena ganyang korupsi telah mengisi hampir seluruh panggung yang tersedia dalam kehidupan ini, hari demi hari. Namun, saya belum merasa perlu untuk bertepuk tangan, bersorak-sorai atau melakukan standing ovation. Kita sedang sibuk memilah-milah apakah drama ini terkategori murni untuk tujuan kemanusiaan, ataukah hanya sekadar tabloue dengan sekumpulan narasi yang dibuat untuk kepentingan politik tertentu.  Pengkategorian seperti ini amatlah penting untuk membangun enthusiastic recognition sewajar-wajarnya.

Sebagai bekal, selama ini kita sudah diperkenalkan pada anatomi korupsi yang sempat diamati para akhli, tentang  adanya lima karakter pendorong bagi seseorang melakukan kejahatan korupsi, yaitu: (1) corruption by need, korupsi berdasarkan kebutuhan; (2) corruption by gate, korupsi karena ada pintu peluang yang terbuka; (3) corruption by read, korupsi diniatkan setelah membaca situasi; (4) corruption by lead, korupsi karena ada kuasa dan wewenang, dan (5) corruption by meat, yaitu korupsi karena rasa tega memakan daging saudaranya sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kelemahan Etis

Selain tentang adanya kesempatan, juga kita perlu menyimak moralitas dari perilaku keliru seseorang yang menjadi muasal kejahatan koruptif seperti itu. Tersebutlah, mantan Rektor Unhas dan Gubernur Sulawesi Selatan, Prof. Dr. H. Achmad Amiruddin, kerapkali mengungkapkan bahwa seseorang dimungkinkan terjerumus, antara lain disebabkan karena seseorang tidak mengetahui bahwa itu keliru atau melanggar aturan; ada pula karena seseorang itu mengetahui bahwa itu keliru namun mengalami situasi alpa ataupun khilaf; tetapi ada juga yang sudah mengerti benar bahwa itu keliru atau melanggar, tetapi secara sadar kemudian sengaja melakukannya.

Untuk kategori yang terakhir itulah, Amiruddin menyebutnya sebagai “kelemahan etis” yang sulit untuk dipahami dan sangat tidak layak untuk  dimaafkan. Dalam sikap kecendikiaannya di atas panggung drama perubahan sosial  yang digagasnya dalam bingkai “perubahan pola pikir” bagi masyarakat yang dipimpinnya, beliau bermain cantik dan kadang mengejutkan.

Suatu ketika, secara tidak terduga-duga, pemimpin yang dikenal berkarakter unik ini, mengkritisi para penilai yang memberi penghargaan kepada almarhum  ayah  kandungnya ketika dinobatkan dalam acara bertajuk “Anugerah Kepada Orang Tua Teladan”, dimana salah satu kategori penilaiannya adalah kejujuran yang ditunjukkan selama hidupnya, serta sejumlah kategori lainnya.

Dalam sambutannya yang lugas, dengan tetap mengucapkan terimakasih atas penghargaan yang diakuinya membuat dirinya sangat terharu dan bangga, Amiruddin mengaku merasa agak terganggu dengan salah satu dasar penilaian yang dianggapnya kurang memiliki landasan rasional.

“Bagaimana Anda sekalian menilai beliau itu jujur, sementara beliau tidak pernah mendapat kuasa dan wewenang besar yang mungkin  diselewengkan. Ayah saya, cuma seorang guru, apa yang bisa dikorupsi disitu?,” ujarnya membuat sekalian orang yang hadir terhenyak.

Dramaturgi politik seorang Amiruddin sebagai pemimpin, memberikan gambaran tentang sikap yang apresiatif terhadap logika penegakan aturan hukum, dengan landasan etis yang jelas dan komprehensif. Lakon yang dimainkannya, adalah menjadi guru bagi warga yang dipimpinnya membuat banyak orang terperangah, serta mendapatkan peluang yang sangat luas untuk memetik hikmah atas sikap dan perilaku kepemimpinannya.

Cerita Horor

Sejumlah pertunjukan drama yang disajikan Presiden Jokowi dalam memilih menteri-menterinya, berakhir sudah. Perlibatan KPK dan PPATK dalam seleksi yang sesungguhnya menjadi hak prerogatifnya, membuat mantan Walikota Surakarta dan Gubernur DKI Jakarta ini, terposisikan sedang memainkan cerita yang dilakonkan dirinya sebagai sosok yang ingin membangun pemerintahan yang bersih atau paling tidak ingin mengesankan bahwa dirinya betul-betul pemimpin yang membenci perilaku koruptif.

Korupsi adalah musuh bersama, memang harus jadi pesan dominan dalam pertunjukan drama yang sedang dimainkan presiden yang telah dicitrakan menjadi harapan baru Indonesia ini. Antitesis terhadap lakon koruptif yang disajikan dari panggung pemerintahan sebelumnya, kemudian membuat para aktor yang terlibat dalam pertunjukan ini, menjadi tidak menyadari ruang produktif atas lakon yang dimainkan.

Kewenangan apakah yang dimiliki oleh aktor KPK untuk mengumbar kalimat spontan yang  terasa berlebihan seperti “yang warna kuning atau merah, tak boleh jadi menteri”. Ditimpali pula dengan sikap presiden sendiri yang terkesan memasrahkan hak prerogatifnya dengan ungkapan: “kalau KPK sudah melarang, nanti salah lagi”. Ungkapan semacam itu, sesungguhnya tidak dimungkinkan dalam sebuah skenario yang ditulis berdasarkan kelaziman dan ketentuan ketatanegaraan.

Dengan ketiadaan aturan terkait boleh atau tidaknya presiden meminta opini KPK soal rekam jejak calon menteri, maka semua itu terpulang pada moral reasoning  yang menjadi faktor utama yang mempengaruhi perilaku moral dalam pengambilan keputusan etis. Untuk mendapatkan keputusan etis dapat dilakukan dengan cara menalarkan sebuah masalah berdasarkan sebuah pengalaman.

Untuk mengukur moral reasoning, merujuk kepada Cohen, Pandt dan Sharp (1996), bahwa hal yang paling relevan dalam konteks drama ini adalah tentang pemenuhan indikator yang disebut dengan deontologis, yang merupakan pandangan tidak membolehkan sesuatu dilihat semata-mata berdasarkan nilai baik dan buruk,  namun dilihat dari konteks terjadinya perbuatan.  Suatu perbuatan yang bisa saja dipandang benar di mata masyarakat umum atau benar berdasarkan konsep-konsep umum yang ada, namun pada kenyataannya saat dilakukan terlihat buruk atau bahkan berdampak negatif. Tujuan yang baik tidaklah otomatis menjadikan perbuatan itu juga baik.

Skenario drama yang telah dimainkan itu, sesungguhnya baik dan memang dibutuhkan oleh sebagian penonton yang selalu siap bertepuk tangan. Namun, drama awal dari panggung pemerintahan yang baru terbentuk ini, bisa saja terpeleset menjadi “cerita horor” atau sesuatu yang menimbulkan perasaan ngeri  atau takut yang amat sangat, terlahir dalam berbagai situasi saling curiga-mencurigai.

Lemahnya ketrampilan para aktor yang tampaknya belum cukup berpengalaman dalam memainkan lakon atau memanfaatkan setting panggung ketatanegaraan yang tersedia.  Penghayatan tentang peran lembaga KPK dan keaktoran seorang presiden dalam drama pemberantasan korupsi di panggung politik kenegaraan, jika menuruti metode Stanislavskian tampaknya masih membutuhkan latihan penyatuan diri ke dalam peran si tokoh yang akan ia mainkan.

Hal ini sungguh penting, karena “kondisi batin” yang akan diciptakan itulah yang kelak akan menghasilkan permainan yang kaya, kreatif dan enak ditonton. Kita pun sekarang mereka-reka plot drama yang disajikan, yang mana fore-shadowing (bayang-bayang yang mendahului cerita), yang mana suspense (dugaan yang melahirkan prasangka) dan mana surprise (peristiwa yang terjadi di luar dugaan). Masih susah ditebak.

Malili, 26 Oktober 2014

-------------------------------------------------------------------

Moch. Yayath Pangerang, pemerhati sosial budaya, mantan Sekretaris Jenderal Dewan Kesenian Sulawesi Selatan (DKSS). Tinggal di Malili, Luwu Timur.

 

Ikuti tulisan menarik Andi Yayath Pangerang lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler