x

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, yang juga merupakan pemilik maskapai penerbangan Susi Air, di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, 12 Juni 2006. dok TEMPO/Arif Fadillah

Iklan

rohmen ditahan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tiba-tiba Kita Dikepung Bajak Laut

Kita, selama dicekoki oleh petuah yang tak sepenuhnya benar, soal sekolah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kenapa Tuhan menciptakan waktu? Menurut Albert Einsten, Tuhan menciptakan waktu agar semuanya tak terjadi tiba-tiba. Sehingga manusia tak terkaget-kaget. Ada proses, perlahan dan naik turunnya. Mengetahui hulu hilirnya. Mengerti hasil dan kualitasnya. Hingga akhirnya kita bisa mencerna dengan akal, bahwa kejadian yang tak tiba-tiba itu logis dan masuk akal.  Roma tak dibangun dalam sehari. Begitu juga dengan perusahaan, ide, agama, perkawinan hingga sebuah bangsa tak menjadi besar dengan tiba-tiba. Ada proses yang mereka lalui.  

Maka, saat Jokowi terpilih jadi presiden dinilai tak masuk akal dan tiba-tiba. Terlalu cepat karir politiknya. Banyak yang menilainya pemimpin karbitan, boneka, antek hasil kreasi banyak pihak. Maklum, dia pengusaha, tak menulis buku atau pemikiran soal politik, tak berkarir di jalur partai politik dan penampilannya tak mriyayi. Lebih mengagetkan lagi saat presiden justru memilih Susi Pudjiastuti jadi Menteri Kelautan & Perikanan. Perempuan, suka merokok, tatotan dan hanya lulusan SMP menjadi menteri. Padahal ada banyak ‘pakar’ perikanan dan kelautan yang lebih banyak makan bangku sekolah dan dengan gelar di depan dan belakang nama mereka.

Kita, selama dicekoki oleh petuah yang tak sepenuhnya benar, soal sekolah. Sekolah, selama ini dianggap jalur resmi menjadi pintar. Dulu petuah orang tua selalu menyuruh kita sekolah yang pintar, agar bisa bekerja di perusahaan besar atau menjadi pegawai negeri berkarir hingga menjadi orang penting. Maka, mereka yang melewatkan jalur ini pantas diragukan kemampuannya. Sebab, tak ada legalitas yang sanggup menerangkan kemampuan mereka. Petuah ini akhirnya jadi keyakinan massal. Dan keyakinan cenderung membantah hal-hal di luar pagar keyakinan. Maka, keahlian yang didapat di luar jalur sekolah dianggap lemah karena tak ada legalitas yang bisa menjaminnya.  Mereka yang berada di luar jalur memang punya kemampuan. Tapi tak terpermanai. Dan itu dianggap tak sah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebenarnya, sejak seabad lalu kita sudah ditunjukkan bagaimana sekolah hanyalah satu jalur. Thomas Alfa Edison yang dianggap bodoh saat sekolah dasar, justru menemukan banyak hal yang berguna bagi manusia. Dia memudahkan kehidupan manusia lewat temuan yang dikembangkan perusahannya General Electric (GE). Lalu ada Steve Jobs (Apple), Bill Gates (Microsoft), dan Mark Zuckerberg (Facebook). Bahkan, David Karp, pencipta platform blog Tumblr, juga hanya lulusan SMP.

Orang-orang di atas  memang tak beres sekolahnya. Tapi itu tak lantas membuat mereka berhenti belajar. Malah, dengan berhenti sekolah, mereka mengambil spesialisasi yang tak diwadahi pendidikan formal. Bahkan mereka belajar lebih banyak dari pada orang-orang sekolahan. Menurut Malcolm Gladwell, penulis buku Outlier, orang-orang ini, walau tak sekolah tapi setidaknya sudah menghabiskan waktu 10 ribu jam guna belajar sesuai renjana mereka. Sehingga mereka lebih mahir dari pada orang-orang sekolahan. Sepuluh ribu jam itu lama, tak tiba-tiba. Kita bisa mengatakan tiba-tiba karena kita absen dalam proses belajar 10 ribu jam yang  menyakitkan itu. Kita tak menyimak apa yang telah mereka lakukan di luar sekolahan.

Menurut Frans Johansson, penulis buku The Medici Effect, sekolah bisa jadi membuat kita pintar. Tapi di sisi lain, sekolahan memahat pola pikir kita secara permanen. Lurus seperti pandangan kuda dengan kaca mata. Saat sekolah dan kuliah, kita dipahat untuk memilah-milah bidang dan menegakkan batas antar bidang. Ada sekolah umum, kejuruan, anak IPA, IPS, fakultas sastra, ekonomi dll. Kita harus masuk jurusan yang sudah ada dan tak bisa mengambil jurusan yang sesuai persis dengan minat dan bakat kita. Kita tak dibiasakan melihat adanya hubungan antar jurusan. Seperti, apa kaitan jurusan arsitektur dengan biologi. Parahnya lagi, kita dibiasakan untuk melihat satu bidang lebih tinggi kastanya dibanding bidang lain. Bahwa jurusan IPA lebih bagus dari pada IPS. 

Hal inilah yang dilihat oleh Steve Jobs. Sebagai inovator, dia bisa menembus dan menghubungkan banyak bidang. Dia tak merasa hanya bergerak di satu bidang saja. “Aku merasa di persimpangan antara seni, kemanusiaan dan teknologi,” ujarnya suatu ketika. Jobs paham, bahwa kaitan antar bidang ini susah dipelajari secara keilmuan formal. Tapi bisa ditunjukkan dengan gamblang. Jobs mempercayai visi. Dan visi tak peduli dengan ijasah. Jobs lalu mengajak orang-orang yang sepaham dengannya, dengan bakat terbaik. Dia menyodori pengalaman untuk ikut mengubah dunia dari pada bergabung dengan lembaga-lembaga formal. “Lebih menyenangkan bergabung dengan bajak laut dari pada bergabung dengan angkatan laut”.

Jika kita masih butuh bohlam, menggunakan Microsoft, memakai iPhone atau suka mengunggah status di Facebook, kita bergantung pada hasil pemikiran dan kreasi mereka yang emoh sekolah, para bajak laut itu. Tiba-tiba kita sadar, hidup kita dikepung oleh bajak laut. 

Ikuti tulisan menarik rohmen ditahan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler