x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mendengarkan dengan Berempati, Itu Lebih Baik

Mendengarkan dengan berempati adalah jalan terbaik untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Most of the successful people I've known are the ones who do more listening than talking."
--Bernard Baruch (Pelaku bisnis, 1870-1965)

 

Begitu keluar dari ruang rapat, kita mungkin lupa akan satu-dua keputusan yang diambil dalam rapat itu. Sebagai staf, mungkin kita merasa bahwa tugas kita adalah mengikuti rapat  dan mendengarkan apa yang dibicarakan atasan. Sebagai pimpinan (bagian, departemen, divisi, atau perusahaan), kita keluar dari ruang rapat besar mungkin juga sudah tak ingat apa yang dilaporkan dan dikeluhkan staf. Apa yang disampaikan bawahan masuk telinga kiri, keluar telinga kanan.

Salah satu kemungkinan mengapa karyawan lupa ialah karena merasa dirinya tidak terlibat (engaged) di dalam persoalan-persoalan yang dihadapi perusahaan. Saat bekerja, ia merasa cukup puas bila sudah menyelesaikan apa yang menjadi tugasnya sesuai diskripsi pekerjaan. Ia tidak terdorong untuk memberi kontribusi lebih jauh, apa lagi memberikan yang terbaik bagi organisasi atau perusahaan. Di dalam rapat, ia hanya “mendengar” (pasif), dan bukan “mendengarkan” atau “menyimak” (aktif).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan hanya “mendengar”, siapapun yang hadir dalam rapat memang menerima gelombang suara orang yang berbicara. Tapi, materi yang disampaikan tidak dicerna, boleh jadi karena perhatiannya tidak terfokus pada materi. Secara fisik ia hadir, tapi pikirannya entah berada di mana. Dengan “menyimak”, seseorang secara aktif menerima gelombang suara pembicara dan mencerna maknanya—dan tidak akan mudah lupa.

Banyak ahli manajemen dan komunikasi meyakini bahwa mendengarkan secara aktif merupakan kunci untuk memahami orang lain. Dengan mendengarkan secara aktif, kita berusaha berempati dan menaruh respek kepada yang berbicara, memahami apa yang dikatakan tanpa prasangka, dan cenderung memberi respons balik yang positif kepada pembicara. Orang yang berbicara pun merasa lebih dihargai. Ada yang menyebut ini sebagai “mendengarkan dengan empati”--dalam situasi rumit, panas, tegang, bersikap mendengarkan seringkali merupakan cara yang sangat baik untuk mendinginkan suasana.

Sebagai kunci untuk memahami orang lain, mendengarkan pandangan teman satu tim kerja menjadi penting. Kesalahpahaman (disensus) dapat dikurangi. Masing-masing anggota tim akan mengerti kekurangan dan kekuatan masing-masing serta menghormati posisi masing-masing, untuk kemudian saling mengisi. Bila kimiawi sesama anggota tim sudah melebur, kerja sama tim akan berkembang menjadi kekuatan yang hebat.

Kemampuan “mendengarkan” menjadi semakin krusial bila tim terdiri atas orang-orang yang berbeda latar belakang: etnis, pendidikan, usia, jender, maupun pengalaman kerja. Keragaman orang di dalam satu tim berpotensi memperkaya sudut pandang dalam melihat persoalan. Di sisi lain, harus ada upaya yang lebih kuat untuk membangun kimiawi tim dan ini dapat dimulai dengan kesediaan untuk mendengarkan—bukan hanya mau didengarkan. Sebab, latar belakang akan mempengaruhi cara seseorang berkomunikasi.

Anggota tim yang terbiasa berbicara banyak mesti berusaha mengerem lidahnya. Anggota tim yang sering kali diam (tapi mungkin penuh uneg-uneg) lebih baik berusaha mengungkapkan pikirannya—ketimbang tekanan darah naik karena tertekan.

Banyak perusahaan yang kini mengadakan pelatihan bagi karyawannya mengenai ‘budaya di tempat kerja’ (cultures at work) dan ‘budaya dalam berbisnis’. Organisasi atau perusahaan yang karena bisnisnya kerap menjalin kontak dengan pelaku bisnis dari latar belakang budaya yang berlainan penting untuk mempelajari isu ini.

Karyawan dapat mempelajari “high context cultures”, yakni budaya yang sangat verbal dan orang-orangnya berbicara sangat terbuka, seperti di Eropa Barat dan AS. Mereka juga mempelajari “low context cultures”, seperti yang ditemui di Asia. Tentu saja, stereotyping ini tidak sepenuhnya tepat, karena Asia pun beragam, tapi intinya perusahaan ingin mengajak karyawan dan manajer untuk menjadi pendengar yang peka, apa lagi bekerja di dalam perusahaan yang karyawannya multikultural.

Bagi siapapun yang bekerja bersama di dalam sebuah tim kecil maupun tim besar, mendengarkan dengan berempati merupakan ketrampilan yang semakin penting untuk dipelajari. Saran ini niscaya berguna: “Biasakanlah mendengarkan sebelum ingin didengarkan. Berusahalah memahami orang lain sebelum minta dipahami.” Nasihat ini sederhana tapi sangat ampuh di tengah kerumitan hidup ketika semua orang ingin didengarkan suaranya. (Sbr foto: decisivemediation.com) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu