x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membangun ‘Networked Science' yang Terbuka

Pemanfaatan online tools oleh jejaring ilmuwan dan pegiat sains berpotensi mempercepat perkembangan sains.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Networked science has the potential to speed up dramatically the rate of discovery across all of science.
--Michael Nielsen (Fisikawan, 1974-...)

 

Timothy Gowers agaknya tahu persis bagaimana cara menarik matematikawan agar keluar dari persembunyiannya. Jurusnya: memberikan persoalan matematika yang pelik. Orang-orang pintar biasanya sulit menghindari tantangan. Karena itulah, ketika Gowers menaruh persoalan matematika di blognya, dan mengundang orang lain untuk memberikan komentar, dalam waktu beberapa jam muncul tanggapan pertama, disusul respons berikutnya.

Inilah kisah sukses Gowers, matematikawan Universitas Cambridge, dalam mengajak koleganya dari berbagai negara untuk bekerja sama memecahkan sebuah persoalan matematika. Proyek uji coba yang disebut Polymath Project ini berhasil menarik minat 27 matematikawan untuk menyelesaikan soal pertama ini dalam 37 hari melalui 800 komentar yang dikirim.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Faktor Gowers pribadi barangkali berperan dalam menarik minat matematikawan lain. Ia pernah meraih Fields Medal, penghargaan di bidang matematika yang dianggap setara Nobel. Namun dengan mengambil kasus Polymath Project, Michael Nielsen—fisikawan yang bersama Isaac Chuang menulis buku laris Quantum Computation and Quantum Information—ingin memberikan contoh bagaimana internet bersama online tools menjadi sarana penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan di masa sekarang maupun mendatang.

Sudah tidak masanya lagi, kata Nielsen, ilmuwan menyimpan sendiri temuan-temuan atau kemajuan-kemajuan kecil yang dicapainya dalam riset, observasi, atau otak-atik di kepala, seperti ilmuwan di masa lampau. Galileo Galilei, umpamanya, dalam satu suratnya kepada Johannes Kepler menceritakan observasi yang sedang ia lakukan terhadap planet Saturnus. Tapi Galileo enggan berbagi secara transparan apa saja yang sudah ia peroleh dari observasinya. Alih-alih demikian, ia menyisipkan anagram di dalam surat itu; jadilah anagram itu teka-teki bagi Kepler.

Nielsen membayangkan cara memproduksi pengetahuan seperti itu, yang ia kategorikan ke dalam era pre-networked, tidak lagi berlaku. Polymath Project menjadi contoh bagaimana produksi pengetahuan dapat dijalankan dengan memanfaatkan internet. Pemecahan masalah pengetahuan dapat dilakukan lewat kontribusi banyak orang, dengan keahlian beragam, bahkan bisa melibatkan yang bukan ahli di bidangnya seperti dicontohkan dalam Galaxy Zoo, dengan memanfaatkan jaringan ini.

Dalam proyek Galaxy Zoo, mereka yang berminat pada astronomi ataupun astronom amatir dapat terlibat dalam upaya penemuan. Salah satu proyek yang pernah dikerjakan ialah membuat klasifikasi gambar-gambar galaksi. Sekitar 250 ribu relawan membantu pengklasifikasian ini melalui internet. Puluhan kertas kerja ilmiah lahir dari ikhtiar yang melibatkan citizen scientists ini—sebuah istilah yang mirip dengan civic journalists di dunia media massa.

Banyak kisah sukses lain yang memperlihatkan bahwa online tools dan jejaring dapat mempercepat penemuan ilmiah, karena itulah Nielsen memakai judulReinventing Discovery. Sistem operasi Linux lahir setelah Linus Torvalds, mahasiswa pemrograman komputer di Universitas Helsinki, Finlandia, mengirim ajakan singkat di sebuah online forum untuk para pemrogram. Isi pesannya: “Saya tengah mengerjakan operating system gratis (sekedar hobi, tidak bermaksud jadi besar dan professional seperti GNU) untuk klon AT 386 (486—ini komputer tipe lama). Saya ingin tahu fitur apa yang paling diinginkan orang. Usul apapun saya sambut, tapi saya nggak janji memakainya.”

Torvalds bukanlah orang yang terkenal sebelumnya. Ia bukan bagian dari perusahaan start-up di kawasan Lembah Silikon. Tapi gagasannya menarik perhatian banyak peretas (hackers), sebab sistem operasi adalah pusat saraf suatu komputer. Tiga bulan setelah ia mengirim pesan di online forum para programmer, mailing list Linux yang ia buka untuk pengembangan sistem operasi ini sudah tumbuh dengan 196 anggota. Di awal 2008, kernel Linux yang menjadi bagian inti sistem operasi Linux telah mencakup hampir 9 juta baris kode, yang ditulis secara kolaboratif oleh lebih dari 1.000 orang. Boleh jadi ini salah satu artefak teknik paling kompleks yang pernah dikonstruksi secara terbuka.

Cara mengonstruksi pengetahuan inilah yang menurut Nielsen relevan untuk saat ini. Apalagi, banyak isu-isu besar yang sukar untuk diselesaikan secara individual. Memperbaiki cara sains dikembangkan berarti mempercepat laju penemuan ilmiah. Polymath Project menunjukkan bahwa kelompok-kelompok dapat memanfaatkan online tools untuk menjadikan diri mereka lebih cerdas secara kolektif. Dalam The Wisdom of Crowds, James Surowiecki menjelaskan bagaimana kelompok orang dalam jumlah besar mampu menampilkan kinerja yang mengejutkan dalam memecahkan persoalan.

Human Genome Project merupakan contoh konkret keberhasilan semacam itu. Begitu pula dengan proyek raksasa Large Hadron Collider (LHC) yang baru-baru ini menemukan partikel yang membuat sebagian fisikawan merasa optimistis bakal semakin dekat dengan ‘partikel Tuhan’. Proyek LHC melibatkan sekitar 7.000 fisikawan dari 80 negara. Dibandingkan dengan LHC Project, Human Genomen Project lebih terbuka menyampaikan kemajuan-kemajuan yang dicapai kepada masyarakat.

Sayangnya, menurut Nielsen, kesempatan untuk perubahan ini menghadapi kendala justru dari komunitas ilmiah sendiri. Sikap menyimpan data dan kemajuan untuk diri sendiri atau sekelompok kecil ilmuwan, karena alasan credit point, dana hibah, ataupun prestise serta ego pribadi (“Saya yang menemukan”), menjadi penghalang bagi networked science yang terbuka bagi masyarakat luas untuk ikut berpartisipasi. Buku terbaru karya Walter Isaacson, The Innovators (Oktober 2014), menunjukkan bahwa inovasi digital yang hebat tidak lahir dari satu orang, melainkan hasil kolaborasi antar jenius, peminat, dan peretas yang bukan hanya hidup sezaman tapi bahkan antar generasi.

Sikap terbuka dalam memperlakukan data di web memungkinkan percepatan penemuan. Don Swanson, misalnya, terkenal oleh temuannya mengenai hubungan antara migraine dan magnesium, padahal ia bukan seorang dokter, melainkan fisikawan yang kemudian tekun mempelajari teknologi informasi.

Kemampuan online tools untuk mengekstrak makna dari data, kata Nielsen, merupakan bagian penting dalam upaya membangun kecerdasan bersama. Agar kecerdasan kolektif semakin menguat, dibutuhkan upaya memperbesar kolaborasi, meningkatkan keragaman kognitif, dan memperluas rentang ketersediaan keahlian sebesar mungkin. Optimisme menuju networked science yang sesungguhnya mesti dibarengi dengan upaya mengingatkan kembali para ilmuwan perihal tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, yakni meningkatkan kualitas kemanusiaan.

Gagasan Nielsen ini sangat layak bukan hanya untuk didiskusikan, tapi lebih dari itu mulai dipraktekkan di sini. Nielsen sendiri menunjukkan komitmennya dengan bersedia meninggalkan bidang quantum computing yang menjadi spesialisasinya untuk menjadi penganjur yang giat bagi pengembangan sarana-saranan baru bagi kolaborasi dan publikasi keilmuan.” (sbr foto: opensource.com) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler