x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hawking dan Turing, Dua Jenius dalam Film

Dua film tentang jenius Stephen Hawking dan Alan Turing layak dinanti.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

However difficult life may seem, there is always something you can do and succeed at.
--Stephen Hawking (Astrofisikawan, 1942-...)

 

Bila melihat sosok yang menjadi inspirasi, dalam waktu dekat ini ada dua film yang layak dinanti, yakni The Theory of Everything dan The Imitation Games. Film pertama mengisahkan kehidupan Jane dengan astrofisikawan Stephen Hawking semasa mereka masih berpasangan. Film kedua terilhami oleh kehidupan Alan Turing, ilmuwan berpengaruh di sekitar masa Perang Dunia berkat kecerdasannya dalam sains komputasi.

Film The Theory tidak berpijak pada buku Hawking yang memiliki judul sama, juga tidak berbicara perihal theory of everything—sebuah teori pamungkas yang diburu oleh ilmuwan yang dianggap mampu menjelaskan segala hal tentang penciptaan semesta ini. Memoar karya Jane Hawkinglah, yakni Travelling to Infinity: My Life with Stephen, yang memgilhami film yang disutradarai oleh James Marsh ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hawking menarik bukan hanya karena wawasannya mengenai bidang yang menjadi keahliannya, tetapi juga mengundang kontroversi lantaran pandangannya tentang peran Tuhan dalam penciptaan. Dalam perdebatan ihwal sains dan ketuhanan, Hawking memilih berada di posisi ‘alam terjadi dengan sendirinya’.

Ilmuwan Inggris ini membuat orang berpaling kepadanya karena selama puluhan tahun Hawking hidup bersama amyotrophic lateral sclerosis (ALS) sehingga untuk berbicara pun ia mesti dibantu mesin. Ia, bersama Jane, sempat membangun rumah tangga yang mempesona. Jane menyediakan 24 jam waktunya untuk mengurus Hawking ketika mulai sakit dan sekaligus membesarkan anak-anaknya. Meski akhirnya mereka berpisah, Jane menulis Travelling dengan kelembutan, rasa hormat, dan melindungi Hawking.

Film The Imitation Games, yang diadaptasi dari buku Alan Turing: The Enigma karya Andrew Hodges, berkisah tentang seorang matematikawan yang merintis jalan bagi komputer berprogram. Hidup Alan Mathison Turing adalah kisah tentang kecerdasan luar biasa, kesuksesan, yang berakhir di ujung tragedi. Sebagai matematikawan yang menaruh minat pada komputasi, Turing tergolong generasi awal yang melihat jauh tentang peran komputer ketika melontarkan gagasan mengenai mesin Turing yang mampu menjalankan sekumpulan perintah.

Turing membuka jalan bagi pengembangan sains komputer dengan menyediakan formalisasi konsep algoritma dan komputasi. Saat berusia 24 tahun, Turing mempublikasikan makalahnya, ‘On Computable Numbers, with an Application to Entscheidungsproblem’. Karya monumental ini diakui oleh John von Neumann, seorang jenius matematika dan polymath, sebagai titik tolak konsep sentral komputer modern.

Setelah kembali dari Universitas Princenton, AS, di usia 26 tahun Turing bekerja di badan pemerintah Inggris yang bertugas memecahkan kode-kode rahasia. Ia memainkan peran penting dalam mengurai pesan terinskripsi yang dibuat oleh mesin Enigma Jerman. Dengan demikian, Turing menyediakan informasi penting bagi Sekutu yang tengah berusaha menghancurkan kekuatan Jerman Nazi.

Reputasinya yang menjulang membuat Turing dipilih sebagai anggota The Royal Society—sejenis akademi ilmu pengetahuan di Inggris. Namun hidupnya berujung tragis. Ditangkap dan diadili karena tindak homoseksualitasnya, membuat keseimbangan hidup Turing goyah. Enambelas hari menjelang ulangtahunnya yang ke-42, tahun 1954, Turing mengakhiri hidupnya dengan sianida.

Hidup Hawking dan Turing menjadi bagian dari kisah mengharukan dan tragis dari kejeniusan ilmuwan. Lantaran itu, dua film ini boleh jadi memang pantas dinanti. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler