x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tragedi Ramanujan, Jenius Otodidak

Film tentang jenius matematika Ramanujan tengah dibuat berdasarkan buku karya Robert Kanigel, The Man Who Knew Infinity. Otodidak matematika ini meninggal di usia sangat muda.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Sebuah persamaan tidak mempunya makna bagiku, kecuali persamaan itu mengekspresikan pikiran Tuhan.”
--Srinivasa Ramanujan (Matematikawan, 1887-1920)

 

Di sini, orang yang mengetahui nama Srinivasa Ramanujan mungkin tidak sebanyak yang mengenal nama-nama tenar seperti Albert Einstein dan Isaac Newton. Bagi Barat, namanya semula terdengar asing—ya, Ramanujan muda berdarah India dan berada di luar lingkaran para pesohor matematika dunia pada masanya. Namun ia memiliki apa yang di Barat selalu dipuja-puja: kejeniusan intelektual, yang kemudian membawanya ke pentas dunia.

Kejeniusan Ramanujan ‘ditemukan’ oleh G.H. Hardy, matematikawan Inggris. Suatu ketika, pada tahun 1913, seorang klerk (pegawai rendahan) muda yang bekerja di sebuah kantor di India menulis sepucuk surat kepada Hardy. Surat setebal 10 halaman berisi beberapa gagasan matematika ini, antara lain teorema barisan tak hingga, teori angka, dan pecahan berkelanjutan (continued fraction), mengagetkan Hardy. Matematikawan Inggris ini menyadari bahwa surat ini hanya mungkin ditulis oleh seorang jenius.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Atas undangan Hardy, Ramanujan berangkat ke Inggris. Lewat penulisan yang kaya detail, Robert Kanigel membawa kita dari kuil dan daerah kumuh di Madras ke kampus Cambridge University yang megah. Di universitas tua ini, Ramanujan—yang kemudian memperoleh julukan ‘Pangeran Intuisi’—menguji teori-teori briliannya mengenai angka bersama Hardy, matematikawan esentrik.

Lewat risetnya yang ekstensif atas kehidupan Ramanujan, dalam bukunya yang menawan (The Man Who Knew Infinity: a Life of the Genius Ramanujan), Kanigel menyingkapkan perjalanan batin jenius ini dari isolasi intelektual—yang barangkali terasing di negerinya sendiri—menuju pengakuan dunia atas bakatnya yang luar biasa. Sebagai jenius sekalipun, ia tidak lepas dari benturan budaya ketika akhirnya harus menetap di Cambridge—yang menawarkan dunia yang berbeda sama sekali dengan Madras. Kanigel menyusuri tempat-tempat di India Selatan yang pernah dijejaki oleh Ramanujan untuk menyelami kehidupan jenius ini.

Kanigel telah ‘menerjemahkan’ konsep-konsep matematika yang dalam dalam bahasa yang dapat dipahami dan memikat pembaca awam. Melalui ‘penerjemahan’ Kanigel inilah pembaca awam dapat memahami mengapa kontribusi Ramanujan patut dicatat dalam sejarah matematika. Ingatannya yang tajam, pikirannya yang kalkulatif, kesabaran serta wawasannya yang jauh menjadikan Ramanujan sanggup menawarkan pendekatan yang berbeda dalam memecahkan persoalan matematis. Ramanujan conjecture dan Ramanujan prime adalah sebagian kontribusi penting matematikawan otodidak ini.

Hidup di negeri orang, kekurangan vitamin karena langkanya sayuran di masa Perang Dunia I, dan ketegangan oleh obsesinya pada matematika, membuat Ramanujan jatuh sakit. Dalam kesehatan yang semakin memburuk, Ramanujan kembali ke Madras pada tahun 1919. Tak lama kemudian ia meninggal di usia hampir 33 tahun di negerinya sendiri.

Ramanujan meninggalkan warisan yang menginspirasi dalam analisis matematika, teori bilangan, barisan tak hingga, maupun pecahan berkelanjutan. Karyanya dapat ditelusuri antara lain dalam Collected Papers of Srinivasa Ramanujan yang disunting bersama oleh Hardy, Seshu Aiyar, Wilson, dan Bruce Berndt (terbit tahun 2000). Karya ini semula terbit pada tahun 1927 atau tujuh tahun setelah kematiannya. Bertumpu pada buku Kanigel, sutradara Matt Brown mengangkat kisah hidup Ramanujan ke layar film dan tak lama lagi dapat kita tonton.

Dalam Kanigel berusaha menunjukkan resonansi nilai-nilai spiritualitas yang dianut sang otodidak Ramanujan terhadap pendekatannya dalam matematika—sesuatu yang berbeda dengan di Barat, tempat Ramanujan membangun kariernya hingga ia diangkat menjadi anggota Royal Society di Inggris. “Sebuah persamaan tidak mempunya makna bagiku,” kata Ramanujan, “kecuali persamaan itu mengekspresikan pikiran Tuhan.” ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler