x

Iklan

arjunaputra aldino

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kematian Politik

Politik yang hanya dimaknai sebagai seni merebut dan mempertahankan kekuasaan telah menghilangkan dimensi politikal yang ada dalam kehidupan publik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di permulaan tahun 1469-1498, Kota Florence di Jazirah Italia ialah sebuah negara-kota yang selalu dilanda gejolak politik. Intrik-intrik politik selalu muncul dan melahirkan bentrokan politik di atas panggung kekuasaan. Tahta kekuasaan kota ini pada abad ketiga belas menjadi ajang rebutan golongan aristokrat melawan kelas menengah kota itu. Dan Cosimo de' Medici salah satu anggota kelompok aristokrat, mencoba bermain di air keruh. Dengan bekal pengetahuan sejenis psikologi massa dan setumpuk modal uang, ia berhasil memanaskan kesadaran rakyat kecil. Kelihaian berpolitiknya ditunjukkan dengan cara memanipulasi kesadaran rakyat jelata, serta mempengaruhi lembaga-lembaga politik yang ada. Hingga akhirnya dalam suatu pemilihan umum, rakyat kecil mendukung Cosimo de' Medici sebagai penguasa baru kota Florence.

Namun tak disangka, rezim Medici tak mampu membendung gerakan oposisi, kekuasaan tertinggi negara Florence pindah ke tangan lawan politiknya. Kejadian-kejadian politik pada waktu itu meninggalkan kesan yang mendalam pada diri Machiavelli. Ia menyaksikan runtuhnya kekuasaan keluarga Medici yang sudah memerintah negara Florence selama beberapa generasi. Ia juga melihat runtuhnya suatu kekuasaan karena tidak mendapat dukungan dari rakyat biasa. Pengalaman pribadi inilah yang kemudian diabadikan dalam bukunya Il Principe. Buku ini ditulisnya di sebuah vila tua ketika ia kalah dalam perang politik, saat ia tersingkir dari panggung kekuasaan dan kehilangan jabatan.

Di tengah kekalahannya, bagi Machiavelli politik ialah seni merebut dan mempertahankan kekuasaan. Bahkan tak jadi soal jika memang harus menghalalkan segala cara demi mengukuhkan kekuasaan. Agama, moralitas dan nilai-nilai hanya penting sejauh ia membantu upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan. Politik bagi Machiavelli berdasar pada Virtù, yang maknanya bertaut dengan tindakan kegesitan, kelicikan atau semua sikap yang perlu untuk mengukuhkan kekuasaan. Dalam bahasa Freudian, ia berdasar pada Id yang melulu bekerja dan digerakan oleh prinsip kepuasan dan kenikmatan diri. Subyek politik ala Machiavellian ialah subyek yang bergairah akan hasrat merebut dan mempertahankan kekuasaan, subyek yang digerakan oleh libido politik memperoleh kepuasan diri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mungkin semangat Machiavellian inilah yang banyak di yakini oleh para politikus kita sekarang, yang saban hari sering kita lihat di hampir seluruh tayangan media tentang politik Semua hal tentang politik sekarang seolah-olah hanya sekedar soal perebutan dan upaya mempertahankan kursi kekuasaan. Memang tak bisa dipungkiri, di tengah kondisi politik yang demikian, situasi terlihat ramai, sangat kompetitif dan terlihat begitu dinamis. Bahkan seolah-olah dialektik. Namun di tengah situasi yang seolah-olah kompetitif itu menyisakan potensi yang berbahaya bagi kehidupan publik.

Politik yang hanya dimaknai sebagai seni merebut dan mempertahankan kekuasaan telah menghilangkan dimensi politikal yang ada dalam kehidupan publik. Politik yang dulu merupakan upaya memajukan kehidupan masyarakat melalui perdebatan ide, berganti melalui kalkulasi dan transaksi untung rugi di atas meja para pejabat publik. Politik yang dulu di isi oleh ide-ide besar (seperti keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan) kini hanya di isi oleh statistik kekuasaan. Politik yang demikian, bukan hanya membosankan dan terlihat begitu kering tetapi juga menggerus akal budi. Ia mendangkalkan nalar dan mereduksi cara berfikir. Bahkan politik yang demikian melahirkan subyek politik yang dilanda krisis epistemik. Krisis cara berfikir dan defisit akal budi.

 Rasionalitas yang berlaku ialah rasionalitas instrumental, yakni cara berpikir jangka pendek yang hanya berorientasi pada kekuasaan dan sikap-sikap pragmatis. Ia melahirkan Manusia Satu Dimensi, manusia yang berfikir jangka pendek semata. Politik yang demikian sangat miskin dengan ide-ide perubahan, yang ada hanyalah apa yang disebut Nietzsche dengan “moralitas kawanan”. Dunia tempat pikiran serba sempit dan serba praktis, tetapi pongah, di mana kemandirian berfikir dan kedaulatan diri terdesak dan lenyap di telan kekuasaan. Politik tak lagi mengusung politik sebagai perjuangan, setiap perjumpaan kita dengan kata politik hanyalah sebuah permukaan yang dilekatkan dengan politik. Politik sebagai perjuangan dan praktek perubahan telah lenyap, kini seolah-olah politik hanya sekedar perbincangan tentang gotak-gatuk kekuasaan.

Pada akhirnya politik hanyalah sebatas konsep yang berjalan dalam urusan prosedural dan bagi-bagi kursi. Politik semacam ini hanya menjadikan rakyat sebagai objek kekuasaan dan menjadikan kekuasaan itu sendiri sebagai tujuan utama. Dan mau tak mau, politik macam ini akan membawa kita pada stagnasi dan tergerusnya kualitas kehidupan sosial.

Machiavelli tak salah bahwa politik ialah seni merebut dan memperthankan kekuasaan. Namun jika politik hanya semata-mata demikian maka kekuasaan pun semata-mata hanya mengabdi pada hasrat, ia tak lagi di isi oleh “hikmah-kebijaksanaan” dan tak lagi untuk menegakan kebaikan bersama. Kekuasaan semacam ini membawa orang tertelan oleh dunia ilusi yang menghentikan segala gerak, ia memukau, memesonakan, mensihir, mematikan kesadaran, mematikan akal, bahkan membebalkan. Dan setelah itu tak ada pembebasan. Kekuasaan berubah menjadi seperti mesin yang berjalan sendiri, tak perlu punya sasaran untuk dicapai. Kemerdekaan manusia di telan oleh mesin itu, ia menaklukan dan mengharuskan tubuh mengikuti mesin yang semula diciptakan oleh tubuh itu sendiri. Ia memproduksi tubuh-tubuh yang jinak, yang hanya digerakan oleh insting gembala (moralitas kawanan).

Politik semacam itu tak bisa diharapkan mampu meraih capaian-capaian yang mengagumkan, yang ada hanya menggiring masyarakat ke arah perbudakan akali semata. Ia bukan hanya menghasilkan kondisi yang banal, namun ide-ide besar di tengah kondisi politik yang demikian terlihat seolah-olah telah menjadi utopis. Terlihat utopis bukan karena memang utopis untuk di raih tapi akal sehat yang menangkapnya semakin terkikis. Akal pikiran tak lagi bekerja dengan benar. Bahkan akal pikiran cenderung melahirkan tindakan yang tak masuk akal. Rezim yang berkuasa pun selalu berada dalam pusaran mimang. Ia tak yakin akan legitimasinya sendiri. Semakin ia berkuasa, semakin tak masuk akal ia. Dan kian luas menginjak, kian waswas dia. Ia berada dalam kekeroposan, berada dalam kerowak yang selalu ditutupi oleh sajian simulakra agar tak terlihat.

Jika politik hanya diartikan sebagai seni merebut dan mempertahankan kekuasaan, maka ia menjadi layaknya seperti permainan Rollercoster atau Komedi Putar, yang ditunggangi oleh kelompok yang sama. Ia hanya berputar pada lintasan yang sama, dan hanya bertahan pada lintasan itu. Setelah itu ia menimbulkan perut mual dan muntah. Untuk itu, Machiavelli tak lengkap. Politik tidaklah sekedar seni merebut dan mempertahankan kekuasaan, namun kekuasaan itu haruslah digunakan untuk menegakan keadilan dan kebaikan bersama. Machiavelli lupa bahwa penguasa bisa berubah menjadi tamak, ia bisa berperilaku destruktif. Maka politik haruslah disertai semangat yang menggugah tanggung jawab untuk berbuat adil, terutama kepada mereka yang menderita, kepada mereka yang papa sengsara. Politik haruslah melahirkan dunia baru tempat manusia merdeka. Mewujudkan masyarakat merdeka, tanpa pengisapan dan ketidakadilan.

Ikuti tulisan menarik arjunaputra aldino lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler