x

Iklan

Erri Subakti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Indonesia Outlook 2015: Prioritas Utama Adalah Listrik

Menarik untuk disimak bagaimana petikan wawancara dari Majalah Forbes Indonesia dengan Jend. (Purn) Luhut B. Pandjaitan mengenai pengurangan subsidi BBM, pembangunan infrastruktur di Indonesia ke depan, dan permasalahan energi, termasuk listrik dan dampak

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Salah satu issue besar yang dihadapi oleh pemerintahan Jokowi-JK di awal masa pemerintahannya adalah mengenai penarikan subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak).

Majalah Forbes Indonesia edisi Bulan Nopember 2014 memuat wawancara mereka dengan Jend. (Purn.) Luhut B. Pandjaitan untuk menengok apa sih pendapat dari mantan Menperindag di era Gus Dur tersebut yang dikenal dekat dengan Jokowi dan sempat menjadi penasehat dari Tim Transisi.

Berikut petikan wawancaranya:

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

 

 

 

 

 

 

Apa pendapat Anda tentang issue pengurangan subsidi BBM ini?

Dengan mengurangi subsidi BBM, kita akan memiliki lebih banyak uang untuk membangun infrastruktur, seperti jalan dan pelabuhan, dan kesehatan. Kita akan memiliki tambahan $ 4miliar untuk membantu orang miskin. Jadi, di masa depan, kalangan menengah ke atas tidak bisa lagi menikmati subsidi ini.

Pada 2016, kita bisa menghemat $ 20 miliar dan memiliki akumulasi $ 60 miliar pada 2018, yang semuanya dapat meningkatkan pembangunan infrastruktur. Jika ini terjadi, kita bisa membantu perekonomian dengan penciptaan lapangan kerja baru. Kita bisa mengembangkan hilirisasi industri. Misalnya kelapa sawit, hilirisasi industri kita dari komoditi tersebut hanya menyumbang 47% dari total produksi, sedangkan Malaysia telah mencapai 120%. Kita bisa menciptakan lapangan kerja dan memperoleh pendapatan pajak yang lebih dengan mengembangkan hilirisasi industri, yaitu dengan mengolah bahan baku kelapa sawit hingga menjadi produk jadi seperti minyak goreng dan sebagainya.

Dengan kenaikan harga BBM juga tidak akan ada lagi penyelundupan BBM. Kesenjangan besar antara harga bahan bakar di sini dan di negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, telah memicu penyelundupan BBM ke luar negeri. Dengan kata lain kita selama ini menciptakan penyelundup dengan mempertahankan harga BBM murah yang disubsidi.

Pembangunan infrastruktur apa yang harus diprioritaskan jika ada dana yang tersedia?

Listrik adalah nomor satu. Bagaimana kita bisa mencapai pertumbuhan ekonomi 7% hingga 8% dalam lima tahun ke depan jika kita kekurangan listrik? Bagaimana juga kita akan membangun smelter?

Seberapa jauh pemerintahan yang baru akan mengurangi subsidi energi?

Dari perspektif saya, pada akhirnya, ada seharusnya hanya $ 4 miliar dialokasikan untuk subsidi BBM bagi masyarakat miskin, dan sisanya harus dikaitkan dengan harga pasar. Kita juga harus mengurangi subsidi listrik. Kita menghabiskan Rp 107 triliun untuk listrik, karena sebagian besar listrik dihasilkan dari diesel. Harga untuk listrik disesel adalah 31 sen per kilowatt/hour. Bandingkan dengan biaya listrik yang dihasilkan dari batubara, adalah 4 sen per kilowatt/hour. Pemerintah sebelumnya mempertahankan biaya yang tinggi untuk listrik sehingga sulit bagi pendatang baru untuk berinvestasi di bidang pembangkit listrik dengan biaya yang rendah.

Kami membangun pembangkit listrik di Palu, ketika kita ingin memperluas kapasitas kita untuk 2x50 MW, perizinannya hanya memungkinkan kita 2x17 MW saja. Hal ini karena ada 420 MW diesel yang dihasilkan pembangkit listrik di sana. PLN harus jelas tentang hal ini. Bagaimana kita dapat menumbuhkan perekonomian jika kita kekurangan listrik? Padahal jika PDB suatu negara tumbuh 5% maka output pertumbuhan listrik harus 10%, tapi kami tidak pernah mencapai tingkat seperti itu.

Solusinya adalah dengan memberikan insentif yang lebih baik bagi mereka yang ingin berinvestasi, sehingga investor bisa lebih mudah membuat investasi mereka kembali. Lagipula kita sudah mensubsidi Rp 107 triliun untuk listrik ini.

Apakah ada roadmap baru untuk sektor energi?

Persediaan bahan bakar kita hanya untuk 12 hari. Untuk memperpanjang itu, kita bisa membangun tangki penyimpanan yang cukup untuk bisa menyimpan hingga 30 hari. Masing-masing di sebelah barat dan timur Indonesia. Kita bisa membangun kilang minyak dengan kapasitas jutaan barel pada dua tempat. Selama ini tidak ada yang berani untuk membuat kebijakan seperti itu, karena mereka mengatakan investasi ini sangat besar tapi margin keuntungannya sangat tipis. Memang benar, tapi hal ini bisa diterapkan. Jika tidak layak untuk sektor swasta maka pemerintah harus melakukan hal ini. Kita bisa melakukannya jika kita dapat menghemat uang dari pemotongan subsidi BBM.

Kedua, gas dengan produksi minyak adalah 79:21, namun konsumsi energi kita menunjukkan sebaliknya. Kita harus mendorong penggunaan gas, jadi apa yang kita hasilkan sekarang sudah lebih dari cukup. Kita perlu memperluas jaringan pipa gas, yang akan membutuhkan investasi besar namun tingkat pengembaliannya rendah. Untuk itu pemerintah harus memberikan insentif yang tepat bagi sektor swasta, atau melakukannya sendiri. Saya pikir pemerintah baru harus fokus pada pembangunan infrastruktur meski tingkat pengembaliannya rendah, tapi memberikan pembangunan infrastruktur dengan tingkat pengembalian tinggi bagi sektor swasta. Setelah infrastruktur dikembangkan, biaya akan turun dan meningkatkan tingkat pengembalian.

Bagaimana dengan energi terbarukan?

Kita memiliki potensi panas bumi yang bagus, diperkirakan mencapai 28 gigawatt. Sayangnya hanya 4% yang selama ini digunakan. Kita juga perlu mulai mempertimbangkan energi yang lebih murah seperti tenaga air. Misalnya di Sungai Mamberamo di Papua misalnya memiliki potensi hingga 20.000 mw. Ini adalah investasi miliaran dollar dan listrik yang dihasilkan hanya akan berbiaya $ 2 sen per kilowatt/hour. Semua smelter bisa dibangun di sana, apalagi lokasinya dekat dengan pasar ekspor. Hal ini juga akan mengembangkan daerah-daerah terpencil.

Pak Jokowi juga ingin adanya investasi dari berbagai perusahaan yang mau berpartisipasi dalam meningkatkan pendidikan. Contohnya saja Freeport mendapatkan miliaran dolar dari Papua, tetapi tidak ada perguruan tinggi dengan kualitas yang baik di sana. Mereka bisa membantu membuat sebuah universitas yang baik seperti ITB (Institut Teknologi Bandung) di Papua. Freeport telah ada selama 48 tahun, jika saja 30 tahun yang lalu mereka mendirikan sebuah universitas, lulusannya mungkin kini sudah bisa menjabat CEO di sana. Saat ini kita memiliki bonus demografi, tetapi tanpa pendidikan yang layak kita tidak bisa mengambil manfaat dari itu.

Ikuti tulisan menarik Erri Subakti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB