x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Anshar dan Muhajirin, Cikal Islam Bicara Komunal

Anshar dan Muhajirin adalah dua kelompok muslim di awal Hijriyah. Sejarah penyatuan keduanya menunjukkan kesamaan ide dasar komunis dengan Islam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Mereka meninggalkan banyak, sebagian kehilangan sanak, dan tanpa sedikitpun harta. Sekarang, mereka datang hendak menumpang pada kalian.”

“Jangan risau, ya Pemimpin Umat. Kami ikhlaskan harta kami. Kita bagi rata saja harta-harta kami untuk kehidupan bersama di sini.”

“Bahkan mereka tak mengerti bertani, cara hidup di sini. Bagaimana mereka memulai? Jika aku memohon, sudikah kalian lakukan lebih?”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Kami bersedia. Semoga Tuhan ridhlo atas ini.”

“Tanamkan untuk mereka lalu panen dibagi rata. Bagaimana? Bisakah?”

“Tentu, ya Pembawa Risalah. Tentu kami bersedia.”

Syahdan di sebuah negeri baru, semangat bersama, bersatu, bahu-membahu, dan padu itu dimulai. Mereka berikrar satu bangsa, menghadapi segala bersama, dan sungguh-sungguh menjaga bersama. Bangsa baru itu ialah ikatan antara penduduk asli dan sekumpulan pelarian menghindari pembunuh-pembunuh di asal mereka.

Ditulis dalam sejarah, para pelarian adalah kaum pedagang berasal dari tanah kering-kerontan sehingga tiba di tanah baru, yang agraris, awalnya sebuah peralihan yang dahsyat. Setelah lari dari teror, ancaman-ancaman, juga usaha-usaha pembunuhan, para pendatang menghadapi ketidakberdayaan di tempat baru dengan cara hidup baru. Bekal mereka satu, keyakinan saja atas Tuhan Yang Maha Satu. Tak ada yang dibawa, harta benda ditinggalkan, beberapa juga kehilangan keluarga yang belum diijinkan Tuhan sekeyakinan. Kalau saja tak ada bahaya pada nyawa, mungkin mereka akan tetap berdiam.   

Tempat baru adalah tanah makmur dengan sebagian besar penduduk petani, yang dengan itu mereka mencukupi kebutuhan pangan sendiri maupun menjadikan hasilnya sebagai barang dagangan. Setelah ikrar satu bangsa disepakati, petani-petani, penduduk asli, rela ke ladang menanam lebih untuk kehidupan seluruh negeri. Para pelarian, yang pendatang, bukan berpangku tangan. Dengan kebisaan berdagang, mereka banyak mengambil alih urusan berniaga, yang atas ijin Tuhan, menjadikan negeri itu semakin besar.

Madinah, 622 Masehi, atau tahun 1 Hijriyah, kisah tadi adalah sejarah. Petani-petani, penduduk asli, dalam cerita tadi, yang muslim, akhirnya dinamai Kaum Anshar, sementara pendatang, para pelarian, pedagang-pedagang yang pindah dari Mekah, disebut Kaum Muhajirin. Anshar dari asli kata ‘nashara’ berarti pendukung atau sekutu atau penolong, sementara Muhajirin dari ‘hijrah’ berarti pindah atau kaum yang berpindah. Hijrah adalah sejarah kepindahan Muhammad dari Mekah, tempat kelahiran beliau, ke Madinah setelah percobaan pembunuhan di Mekah mengancam.  

Ketika melanjutkan kehidupan di Mekah tidak mungkin lagi, Muhammad pindah ke Madinah, sebuah kota tidak jauh dari Mekah, yang penduduknya mau menerima kedatangan Muhajirin dan sebagian telah Islam. Muhammad  menata kehidupan di Madinah dengan Pakta Madinah, sebuah kesepakatan untuk membentuk ikatan masyarakat majemuk, mengingat tidak saja kaum muslim tinggal di Madinah. Pakta membangun kesadaran hidup bersama dalam ikatan wilayah, sekaligus mempersiapkan bangsa baru itu menghadapi hubungan dengan luar, termasuk menangkal serangan-serangan.  

Disamping urusan bangsa majemuk Negeri Madinah, Muhammad menyatukan dua kelompok muslim, penduduk asli dan imigran, Anshar dan Muhajirin. Dua golongan muslim ini demikian berbeda kondisi.  Jika Anshar ternama sebagai petani-petani hebat di tanah Madinah yang subur, maka Muhajirin adalah pedagang-pedagang termasyur, sekaligus, Anshar adalah mereka dari lingkup damai dengan kehidupan tenang tenteram, sementara Muhajirin berangkat dari wilayah konflik dalam keadaan papa, setelah memutuskan pindah tanpa membawa harta.

Membina perbedaan-perbedaan dilakukan Rasul dengan model saling melengkapi dan semangat semua untuk semua. Anshar dan Muhajirin bahu-membahu melakukan bersama untuk bersama. Intinya menyerahkan pekerjaan pada sang ahli dan hasil dinikmati bersama. Kaum Anshar menangani pertanian menjaga produksi negeri dan Kaum Muhajirin mempersembahkan kemampuannya berdagang membesarkan penyaluran hasil negeri, setelah sebagian dikelola bersama untuk kebutuhan sehari-hari. Semangat komunal dijunjung tinggi.

Gambaran kesehariannya begitu menyatu didasari kuat rasa menjaga bersama. Muhammad dan tokoh-tokoh muslim Muhajirin melibatkan diri aktif dalam pengerjaan pertanian di negeri baru Madinah dipandu Kaum Anshar, demikian sebaliknya. Abu Bakar, Ali Bin Abu Thalib, dan Umar Bin Khatab adalah pemuka-pemuka Islam kemudian hari, dari golongan Muhajirin, yang ikut bekerja di ladang-ladang masa itu, disamping Rasulullah sendiri.

Pada awal tahun pertama Hijriyah, segala kehidupan Kaum Muhajirin didukung penuh oleh Kaum Anshar termasuk rumah-rumah yang ditinggali bersama dan harta-harta yang dibagi rata. Padanannya hari ini sistem negara komunis, Kuba misalnya, yang memberikan penghasilan sama kepada semua pekerja, seluruhnya tanpa kecuali, rata untuk berbagai sektor. Kebutuhan keseharian warga juga dipenuhi oleh negara secara seragam.

Ide utama komunis sejatinya kebersamaan, mengambil arti asli kata komun atau komunal yang adalah bersama. Dalam Bahasa Inggris sama juga, communis, communal, communion, atau common, inti artinya adalah bersama-sama. Sangat masuk akal komunis pernah besar di Indonesia, yang mayoritas muslim, karena inti ide komunis ada dalam Islam yaitu tentang menjunjung kebersamaan.

Kembali membaca sejarah Hijrah, saya sampai pada kesimpulan bahwa Islam mengajarkan semangat menjaga ikatan bangsa dalam negara atau nasionalisme. Dalam Pakta Madinah jelas bahwa mengikat diri dalam satu bangsa bukan soal keseragaman segalanya, malah negara adalah wadah yang menjamin keberagaman dengan sandaran kebaikan, kebenaran, dan keadilan, yang adalah nilai universal dan dipahami tiap umat. Manusia dibekali Tuhan nurani yang fitrahnya suci sehingga memahami hal baik, hal benar, dan hal adil bukan bergantung pada macam keyakinan maupun suku-suku, menurut saya, tapi sejatinya jiwa, panggilan manusia.

Ditambah, Islam mengajarkan dan menuntunkan menjunjung kebersamaan. Islam bukan soal memperkuat diri, memperkaya diri, menghebatkan diri sendiri, tapi tentang menjaga harmoni, menjaga ikatan tetap kukuh, menjaga keberagaman tetap padu. Mengutamakan kebersamaan sesungguhnya sangat Islami, saya yakin. Islam menuntunkan semangat komunal, paling tidak, jelas terlihat, dalam sejarah Hijrah.

Indonesia punya Bung Karno, Bapak Bangsa kita, yang dulu mendengung-dengungkan pemikiran serupa. Bung Karno pernah mengemukakan ide Nasakom atau Nasionalis, Agama, Komunis dengan maksud menyatukan pemikiran-pemikiran sejalan itu. Sayangnya negeri kita juga mencatat tragedi kemanusiaan buah benturan dua kekuatan besar Islam dan Komunis.

Logika saya, yang awam, susah menerima Islam dan Komunis berseberangan soal paham, lebih-lebih setelah membaca sejarah Anshar-Muhajirin. Jika tragedi itu karena pecah belah, bisa jadi, malah sangat mungkin, menurut saya. Apalagi hari ini, setelah komunis tinggal serpih-serpih, Islam seperti tampil buruk, kalau tidak boleh berprasangka sengaja ditampilkan buruk dengan banyak kekerasan dan seolah-olah tentang merubah dunia menjadi seragam.

Tinggal menunggu Islam hancur, atau paling tidak kikis nilai-nilainya, maka kekuasaan absolut pada kekuatan dunia yang paling berseberangan dengan semangat komunis dan Islam. Ya, kekuatan yang paling dirugikan jika komunis atau Islam itu besar. Karena Indonesia juga sasaran, berarti termasuk yang dirugikan jika Indonesia besar. Kekuatan yang paling anti Indonesia mandiri mengurus rumah tangganya sendiri, kekuatan yang anti kebersamaan dalam keberagaman, kekuatan yang anti Tuhan. Lagi-lagi, ini lebih mirip pecah belah, menurut saya.

Benar atau tidak, mudah-mudahan negeri ini senantiasa dilindungi Tuhan. Semoga Tuhan menganugerahkan kekuatan pada bangsa ini untuk menganalisa, untuk tidak berhenti mencari kebenaran, tidak cepat menjatuhkan penilaian. Semoga semakin besar semangat mencari kebenaran. Semoga Tuhan ijinkan semakin dekat kita dengan kebenaran dan suatu hari terbukti kebenaran. Semoga semakin besar kesadaran bersandar hanya pada Tuhan karena Tuhan Maha Benar.

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler