x

Iklan

Yudha P Sunandar

Journativist, penggiat Lingkar Literasi Cipadung
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

BBM dan Orisinalitas Pangan Bangsa

Harga BBM kembali naik. Salah satu dampaknya adalah naiknya harga komoditas makanan. Untuk mengatasinya, bangsa Indonesia harus kembali ke nilai-nilai originalitasnya. Salah satu bentuk praktisnya adalah mengolah lahan secara gotong royong.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) kembali naik. Seperti biasa, masyarakat meresponnya dengan berbagai cara. Beberapa respon yang paling umum adalah mengantri di pom bensin, protes, atau menggerutu di media sosial. Menariknya, hal ini selalu terulang ketika kenaikan harga BBM. Selepasnya, masyarakat umumnya lupa, kemudian hidup kembali seperti biasa.

Salah satu dampak yang dikhawatirkan masyarakat dari naiknya harga BBM adalah naiknya harga komoditas bahan makanan. Kekhawatiran ini umumnya dirasakan oleh masyarakat perkotaan. Pasalnya, sebagian besar bahan makanan di perkotaan berasal dari daerah yang jaraknya bisa berpuluh atau beratus-ratus Kilometer dari kota. Tentunya, dalam dunia modern, komoditas makanan tersebut didistribusikan menggunakan transportasi yang tidak bisa lepas dari BBM.
 
Sebagai buktinya, cobalah Anda tanya kepada diri sendiri tentang asal makanan Anda sehari-hari. Di mana kebun atau sawahnya? Seberapa jauh jarak kebun atau sawahnya dari tempat tinggal kita? Berapa harganya di tempat asal makanan tersebut? Berapa biaya untuk mengangkutnya hingga sampai di pintu rumah kita? Berapa persen kenaikan harga makanan setelah ditambah biaya angkutnya?
 
Barangkali, inilah yang akhirnya membuat kita selalu terbelenggu dengan kenaikan harga BBM. Sialnya, kita selalu melakukan respon yang sama ketika peristiwa tersebut terjadi. Kita terjebak pada “Lingkaran Setan” kenaikan harga BBM tanpa punya solusi.
 
Orisinal
 
Berbicara tentang masalah, tentu selalu memiliki solusi. Meskipun begitu, manusia Indonesia harus mampu memilah solusi yang selaras dengan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Mengenai hal ini, saya jadi teringat peristiwa Soekarno saat tengah merumuskan Pancasila pada 1945 silam.
 
Dalam buku Negara Paripurna karya Yudi Latif, pada malam menjelang 1 Juni 1945, Soekarno keluar dari rumahnya di Pegangsaan Timur 56. Dia tengah mencari inspirasi untuk pidatonya tentang dasar negara yang kelak bernama Indonesia. Ketika itu, Soekarno memohon kepada Tuhan agar ditunjukkan yang terbaik untuk dirinya dan bangsanya.
 
“Saya merasa mendapat ilham. Ilham yang berkata: Galilah apa yang hendak engkau jawabkan itu dari bumi Indonesia sendiri. Maka malam itu aku menggali, menggali di dalam ingatanku, menggali di dalam ciptaku, menggali di dalam khayalku, apa yang terpendam di dalam bumi Indonesia ini, agar supaya sebagai hasil dari penggalian itu dapat dipakainya sebagai dasar daripada Negara Indonesia Merdeka yang akan datang,” begitu pengakuan Soekarno 19 tahun usai memproklamirkan Indonesia. Keesokan harinya, pada 1 Juni 1945, dari hasil perenungannya tersebut, Soekarno memaparkan dasar-dasar negara Indonesia di hadapan anggota-anggota BPUPK. Dalam pidatonya tersebut, beliau menamai sila yang lima sebagai Pancasila.
 
Dalam kisah singkat tersebut, Soekarno mengajarkan kepada kita untuk kembali ke nilai-nilai asli Nusantara dalam berkehidupan. Dalam kisah yang lain di buku Yudi Latif tersebut, Soekarno juga menandaskan bahwa dia bukan pencipta Pancasila. “Saya sekedar penggali Pancasila daripada bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia,” tulis Soekarno.
 
Pandangan Soekarno sendiri merupakan padangan yang Original. Original sendiri merupakan serapan dari Bahasa Inggris, yaitu kata “Origin”. Kata ini memiliki arti titik atau tempat asal, terbit, atau jadian (the point of place where something begins, arises, or is derived). Dalam konteks Indonesia, Original adalah kembali ke jati diri Nusantara. Caranya, dengan menggali nilai-nilai kearifan lokal bangsa.
 
Pancasila sendiri merupakan gagasan yang Original. Gagasan ini lahir dari usaha Soekarno menelusuri khazanah-khazanah Nusantara. Beliau sampai menggali hingga zaman Hindu dan pra-Hindu Nusantara untuk mengangkat Pancasila ke permukaan.
 
Sayangnya, modernitas telah membelenggu originalitas kita sebagai bangsa Indonesia. Nilai-nilai kearifan lokal menjadi asing, sedangkan pandangan-pandangan impor begitu mudahnya diterima dan diterapkan. Tak heran bila kita tidak pernah bisa keluar dari krisis multidimensi sejak 16 tahun lalu ini.
 
Kebun Warga Kota
 
Berkaca kepada Soekarno, hendaknya kita selaku bangsa Indonesia harus mampu menemukan solusi dengan kembali menengok kearifan Nusantara. Menghadapi naiknya harga pangan akibat kenaikan harga BBM, salah satu solusi yang Original adalah membangun Kebun Warga di area perkotaan.
 
Terobosan ini bukan hanya sekendar euforia urban farming yang pernah digaungkan oleh Indonesia Berkebun dan komunitas sejenis. Kebun Warga merupakan bentuk pengamalan salah satu identitas masyarakat Indonesia yang berbasis budaya mengolah lahan dan gotong royong.
 
Bangsa Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa. Selain tanahnya yang subur, iklimnya juga begitu nyaman. Tidak berlebihan bila Koes Ploes mengilustrasikan kondisi alam Nusantara ini dengan penggalan lirik, “Tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman.” Pasalnya, sebagian besar tanaman mampu tumbuh subur di tanah Indonesia.
 
Aplikasinya, Kebun Warga bisa dibangun di lingkungan terkecil masyarakat perkotaan Indonesia, seperti tingkat Rukun Tetangga atau Rukun Warga. Dalam hal ini, warga secara gotong royong membangun kebun dari lahan-lahan kosong di sekitar pemukiman warga. Kebun ini kemudian ditanam, dipelihara, dan dijaga secara bersama-sama. Hasilnya, tentu dikonsumsi untuk kebutuhan masyarakat sekitar. 
 
Meskipun tidak mampu menggantikan seluruh kebutuhan pangan masyarakat, tetapi solusi ini mampu membantu menyediakan beberapa komoditas pangan yang langka di pasaran dan penting bagi masyarakat kota. Masyarakat tidak harus lagi tercekik mahalnya harga cabai atau bawang. Mereka cukup mengambilnya dari Kebun Warga. Makanan yang dikonsumsi pun lebih sehat. Pasalnya, masyarakat bisa menekan penggunaan pestisida atau pupuk kimia yang tidak ramah lingkungan. Masyarakat juga tidak perlu khawatir komoditas makanannya naik bila terjadi kenaikan harga BBM. Karena komoditas makanan tersebut tersedia di dekat rumahnya.
 
Selain Kebun Warga, salah satu solusi lainnya adalah Kebun Mikro Rumah Tangga. Dalam hal ini, setiap keluarga perkotaan membangun kebun mini dan menanam berbagai sayuran, bahkan tanaman pokok berkarbohidrat seperti padi dan singkong. Mereka bisa membangun kebunnya di halaman rumahnya, atau pun di pot-pot gantung di ruang terbuka di rumahnya. Pot tanamannya pun bisa menggunakan berbagai barang bekas, seperti kaleng atau pun ember bekas. 
 
Kemudian, setiap bulannya, warga bermusyawarah untuk mengkoordinasikan tanaman di setiap Kebun Mikro Rumah Tangga. Dalam musyawarah ini, warga membahas tanaman yang akan ditanam masing-masing keluarga, sehingga tidak ada kelebihan atau kekurangan komoditas tanaman. Selain itu, musyawarah ini juga sebagai ajang bertukar pengalaman, kendala, dan solusi dalam berkebun.
 
Ketika musim panen tiba, warga kemudian saling bertukar dan berbagi hasil panennya, sesuai kebutuhannya masing-masing. Andai pun hasil kebunnya tidak mampu memenuhi kebutuhan bahan makanan pokok warga, tetapi kebun ini setidaknya mampu membantu menekan biaya untuk membeli bahan makanan sehari-hari.
 
Sekilas, Kebun Warga ini tampak sepele. Namun, Bank Indonesia Wilayah VII Jawa Barat dan Banten pernah mengaplikasikan hal serupa melalui dana Company Social Responsibility (CSR). Mereka membiayai dan membina masyarakat prasejahtera untuk berternak dan berkebun di sisa lahan rumah warga.
 
Bank Indonesia sendiri mempunyai kepentingan untuk mengendalikan inflasi akibat rendahnya suplai dan tingginya permintaan komoditas. Dalam hal ini, Bank Indonesia berusaha untuk menyeimbangkan suplai dan permintaan dengan cara memberdayakan masyarakat prasejahtera.
 
Di sisi lain, berkebun mengajarkan bangsa Indonesia tentang nilai-nilai moral yang kini mulai ditinggalkan masyarakat modern. Nilai-nilai jati diri bangsa ini yang bercirikan ramah tamah, tenggang rasa, dan kerja keras. Dalam jangka panjang, bila aktivitas ini dilakukan secara konsisten dan masif, barangkali mampu membangun masyarakat perkotaan Indonesia menjadi masyarakat yang sesuai dengan identitas Nusantara.***
 
* Penulis adalah penggiat Lingkar Literasi Cipadung dan penghobi urban farming.

Ikuti tulisan menarik Yudha P Sunandar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler