x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketika Cuitan Membunuh Seorang Remaja

Diduga karena terprovokasi cuitan di media sosial, dua kelompok pelajar janjian untuk berkelahi rame-rame. Seorang remaja kehilangan nyawa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“If you're on Twitter, what you're saying is, 'I'm important enough for you to care what I think.”
--Donald Glover (Musisi, 1983-...)
 

Twitter, Path, dan Facebook adalah produk teknologi yang, dalam pandangan sebagian orang, bebas nilai: mau dipakai yang baik-baik oke, mau digunakan untuk yang buruk-buruk berpulang kepada pemakainya. Di luar isu yang masih dapat didiskusikan ini, yang jelas sudah banyak korban jatuh sebagai ‘efek menggoda’ yang melekat pada ketiga produk teknologi ini.

Efek menggoda yang negatif itu bisa beragam rupa, mulai dari ungkapan kekesalan, kemarahan, menertawakan orang lain, sampai mencaci maki, memprovokasi, dan mengancam. Sebagian orang terpaksa berurusan dengan polisi dan pengadilan. Bahkan, godaan untuk memprovokasi lewat cuitan sudah memakan korban nyawa: seorang pelajar 16 tahun bernama Andi Audi Pratama.

Boleh jadi, pemilik akun @Jalur SMA memahami apa reaksi remaja ketika gengsinya disinggung: reaktif dan cepat panas. Dan sangat mungkin pemilik akun ini bukan tidak menyadari bahwa cuitannya dapat memprovokasi kelompok pelajar dari dua SMA di Jakarta untuk tawuran. Kuncinya terletak pada menyinggung harga diri kelompok yang dijunjung tidak pada tempatnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seperti ditulis oleh tempo.co, beberapa saat sebelum tawuran, pemiliki akun @JalurSMA memberi ucapan selamat kepada Psycho—sebutan bagi pelajar SMA 60 Jakarta—karena berhasil mengalahkan Sersan 109—sebutan bagi pelajar SMA 109 Jakarta—dalam sebuah tawuran.

Cuitan ini memancing perang cuitan di antara pelajar kedua SMA. Mereka lalu sepakat untuk bertarung ulang di wilayah Pejaten pada larut malam. Dalam perkelahian keroyokan inilah nyawa Andi Audi Pratama—siswa SMA 109—tidak tertolong dengan kondisi sangat mengenaskan (7 November 2014). Ibunya menuturkan, seperti dikutip media, Andi sebenarnya tidak tahu-menahu soal tawuran itu; ia diajak teman untuk nongkrong.

Menyedihkan, nyawa dijadikan taruhan untuk mempertahankan identitas kelompok. Padahal, kita sama-sama orang Indonesia, sama-sama pelajar, sama-sama remaja, bahkan mungkin saja di antara mereka yang berantem masih punya pertalian darah yang dekat. Kebanggaan pada identitas yang berlebihan menjadikan nalar sehat tidak berfungsi. Kekerasan menjadi pilihan untuk menyelesaikan masalah (di Batam peristiwa serupa terjadi dan lebih mengerikan karena melibatkan mereka yang kita harapkan mampu mengawal negeri ini dan melindungi masyarakat). 

Korban nyawa sudah jatuh. Satu nyawa sudah cukup. Apa yang dapat kita lakukan kemudian agar kasus serupa tidak terjadi lagi?

Kampanye pemakaian media sosial untuk tujuan positif mesti digalakkan. Sungguh mengerikan bahwa media sosial semakin menjadi ajang provokasi dan caki maki. Orang begitu mudah melontarkan kritik secara emosional dan dalam kata-kata yang kasar. Secara perlahan, caci maki lantas kita anggap lumrah, jamak, dan banal—sesuatu yang biasa. Katanya, kita bangsa yang ramah—benarkah?

Kita juga mesti terus belajar, mendidik diri sendiri, untuk tidak menerima setiap cuitan, kabar, berita sebagai kebenaran mutlak. Yang mencuit, yang memberi kabar, yang memberitakan juga manusia—bisa saja mereka keliru. Kita juga mesti terus belajar untuk tidak menelan mentah-mentah apa yang kita baca di smartphone kita.

Obsesi pada kecepatan menjadi bahaya bagi kita karena membikin kita malas untuk bersikap mempertanyakan dan mencari tahu kebenaran: “benarkah cuitan ini, benarkah kabar ini?” Kita jadi serba reaktif dan mudah bersikap emosional serta buru-buru bereaksi dan berkomentar hanya karena tidak ingin dianggap tertinggal isyu (“Wah payah kamu, nggak denger ya??” “Wah kita dilecehi nih, dianggap pecundang...”)

Pendidikan karakter jelas perlu didudukkan kembali sebagai inti tujuan kita bersekolah. Tugas Bung Anies Baswedan untuk memimpin upaya mendudukkan kembali perkara ini agar teman kita, keponakan kita, anak kita, cucu kita tidak mudah terprovokasi oleh celotehan orang yang tidak mengerti alias naif maupun orang yang memang sengaja memancing kekisruhan, dan tidak menjadikan kekerasan sebagai cara menyelesaikan persoalan.

Jadi, akan lebih bagus bila media sosial digunakan untuk mendukung aksi sosial dan kegiatan kreatif. Musim penghujan sudah tiba Bro, Jakarta mulai dirayapi air besar, daerah lain juga diguncang gempa, ngapain tawuran?. (sbr foto: huffingtonpost.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB