x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Andai Sjahrir ke Layar Film

Siapa yang akan mengangkat kisah hidup Sutan Sjahrir yang getir ke layar film? Kapan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan” 
--Sutan Sjahrir (1909-1966)

 

Dan kini waktunya kisah Bung Hatta dan Hadji Oemar Said Tjokroaminoto diangkat ke layar film—tengah dikerjakan dan tak lama lagi kita bisa menonton dua sosok dari generasi yang berbeda. Sebelumnya, cukup banyak sudah sosok lain yang memberi ruh pada bangsa ini memperoleh kesempatan serupa untuk ditampilkan di layar film: Cut Nyak Dien, Bung Karno, KH Hasyim Asyari, KH Ahmad Dahlan, Soegijapranata, dan banyak lagi.

Di luar nama-nama itu, ada sejumlah nama lain yang kisah hidupnya layak dilayarlebarkan. Mereka berjuang untuk bangsanya, meski berakhir tragis di ujung hidupnya. Sebutlah di antaranya: Sutan Sjahrir dan Tan Malaka. Pertama-tama Sjahrir, perjuangannya layak diketahui generasi sekarang: sosok yang melampaui zamannya, yang pikiran-pikirannya masih relevan dengan Indonesia sekarang, yang keberpihakannya kepada yang lemah tak pernah luntur, yang integritasnya bisa menjadi inspirasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sesungguhnyalah, kegetiran hidup jadi bagian dari perjuangan Sjahrir. Lebih muda dibanding Bung Karno dan Bung Hatta, Sjahrir adalah anak muda yang perannya tak bisa diabaikan di seputar Revolusi Kemerdekaan. Dipilihnya Sjahrir sebagai perdana menteri pertama Republik ini adalah sejenis pengakuan figur-figur di seputar kemerdekaan, Bung Karno dan Bung Hatta khususnya, terhadap sosok Bung Kecil ini. Sosok Sjahrir diperlukan sebagai pelengkap triumvirat ‘Soekarno-Hatta-Sjahrir’.

Disebut Bung Kecil sebab tinggi Sjahrir sekitar 150 cm, tapi di dalamnya tersimpan energi yang luar biasa dan kecerdasan yang mengundang decak kagum. Sebagai sosok sosial demokrat, Sjahrir menaruh perhatian besar terhadap pendidikan rakyat. Juga, dalam mempersiapkan kaum muda agar bisa menjadi pemimpin masa depan—ia bukanlah sosok pemimpin yang cemas kehilangan kursi. Ia menjadi ‘sosok yang hadir’, yang menebarkan ketenangan, ketika orang-orang di sekelilingnya dicekam ketakutan.

Dalam usia 38 tahun, pada 14 Agustus 1947, Sjahrir berdiri di depan Sidang Dewan Keamanan, Lake Success, Amerika Serikat. Ia berbicara tentang sebuah bangsa bernama Indonesia. Sebuah bangsa muda yang memiliki sejarah peradaban yang panjang. Cara bicara Bung Sjahrir tak menggelegak seperti Bung Karno, tapi runtut dan jernih (Tempo). Surat kabar berpengaruh di AS, The New York Herald Tribune menyebut pidato Sjahrir itu sebagai “salah satu yang paling menggetarkan Dewan Keamanan.”

Kerap berdebat, bahkan hingga urusan kecil seperti antri untuk mandi saat di pengasingan, menjadikan Sjahrir dan Bung Karno dekat. Namun di antara keduanya juga membentang perbedaan-perbedaan. Sungguh menarik pandangan mendiang Y.B. Mangunwijaya bahwa Soekarno pertama-tama seorang nasionalis, sedangkan Sjahrir mula-mula seorang humanis.

Soekarno adalah personifikasi seluruh cita-cita patriotik yang menghubungkan masa lampau dengan saat ini, sedangkan Sjahrir sebenarnya adalah manusia masa datang yang sudah mengatasi batas-batas nasionalisme. Soekarno erat terjalin akar-akarnya dengan bumi magis dan feodal-priyayi dunia Timur, namun mencoba untuk kawin dengan dunia Barat, sedangkan bagi Sjahrir, Timur dan Barat sudah tidak ada.

Menjelang akhir kekuasaan Bung Karno, yang diliputi krisis politik, kritik Sjahrir berujung pada ‘perpisahan’ di antara mereka--Sjahrir dipenjara pada 1962 di Madiun. Dalam status tahanan di sebuah negeri yang ia turut dengan keras memperjuangkan kemerdekaannya, Sjahrir jatuh sakit hingga tidak mampu berbicara. Ia tidak mampu mengucapkan kata-kata. Didampingi isterinya, Poppy, dan kedua anak mereka, Buyung dan Upik, Sjahrir diizinkan berobat ke Zurich, Swiss, dan mengembuskan napas di pengasingan—kali ini bukan pengasingan oleh pemerintah kolonial, tapi pemerintahnya sendiri.

Dalam tulisannya, ‘Dilema Sutan Sjahrir: Antara Pemikir dan Politikus’, mendiang Y.B. Mangunwijaya membuat pembukaan seperti ini: “Jika Sjahrir bisa ‘bicara’ apakah yang akan dikatakannya tentang dirinya? Ditahan sebagai pengkhianat negara selama kurang lebih tiga tahun, dibebaskan, diberi kesempatan berobat ke Swiss, dan di hari meninggalnya (9 April 1966) langsung diakui sebagai ‘Pahlawan Nasional’... Apakah yang akan dikatakannya?”

Bung Kecil yang terlupakan ini sangat layak untuk dikenang kembali. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB