x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Selamatkan Naskah Kuno Kita

Ribuan naskah kuno Nusantara masih tersimpan di negeri orang. Perlu kesungguhan untuk menanganinya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“There is no loss bigger than losing your manuscript, not even love.” 

--Himanshu Chhabra (Pemuda India)

 

Dalam sebuah acara di Jogjakarta baru-baru ini, sejarawan Peter Carey—yang tekun mengkaji Pangeran Diponegoro—mengingatkan kembali perihal banyaknya manuskrip (naskah) lama Nusantara di luar negeri. Di British Library, London, saja dikatakan ada sekitar 500-600 naskah kuno Nusantara dan separo di antaranya berasal dari Jawa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Naskah Hikayat Raja Pasai, umpamanya, hanya ada dua salinan di dunia, salah satunya tersimpan di British Library. Naskah asli I la Galigo, sebuah epik mitologi dari Sulawesi Selatan, tersimpan di Universitas Leiden, Belanda. Salinan naskah Babad Diponegoro dalam Bahasa Jawa tersimpan di Belanda. Manuskrip Babad Diponegoro dalam huruf Arab dengan tulisan tangan Pangeran Diponegoro juga disimpan di Belanda.

Naskah-naskah berharga, berupa karya sastra, filsafat, dokumen peraturan hukum, dan sebagainya banyak diangkut ketika Belanda menjajah. Thomas Stamford Raffles, yang juga pernah menjadi gubernur di sini, juga mengusung naskah-naskah berisi kearifan lokal itu ke negerinya, Inggris. Belum lagi manuskrip yang tersimpan di negara-negara lain.

Merawat naskah kuno memang tidak mudah, baik preservasi maupun konservasi punya kerumitan yang berbeda. Melalui preservasi, naskah-naskah tua ini dirawat dan diupayakan agar terus dalam keadaan sebaik mungkin. Kegiatan reservasi dilakukan apabila koleksi naskah ini perlu diperbaiki.

Merawat, memelihara, dan memperbaiki naskah-naskah tua memang memerlukan biaya besar. Boleh jadi, karena alasan inilah pemerintah Indonesia semasa Prof. Fuad Hassan menjabat Menteri Pendidikan menolak tawaran Inggris yang bermaksud mengembalikan nakah kuno ke Indonesia. Mungkin, pertimbangannya, Indonesia belum siap untuk merawat naskah kuno dalam jumlah besar.

Bagaimana dengan sekarang? Ratusan manuskrip lama kabarnya sudah dibawa pulang dari sejumlah negara, namun yang tertinggal di negeri orang masih sangat banyak. Ini harta karun, bukan dalam pengertian material, tapi di dalamnya tersimpan kekayaan intelektual, kesastraan, kearifan, filosofi, yang niscaya dapat ditarik relevansinya dengan Indonesia masa kini. Sebab itulah, naskah-naskah tersebut sangat berharga.

Kita, pemerintah khususnya, harus punya kemauan besar untuk membawa pulang naskah-naskah yang masih tersimpan di negeri orang. Upaya membawa pulang naskah kuno ini juga tidak mudah. Jika naskah kuno ini disimpan lembaga pemerintah di negara lain, masalahnya dapat dipecahkan melalui diplomasi. Lain hal dengan naskah yang disimpan pribadi. Meski dilarang, kabarnya banyak kolektor asing yang membeli warisan berharga itu dari para ahli waris naskah kuno di Indonesia.

Memang dibutuhkan dana besar untuk menyelamatkan naskah-naskah ini. Bukan saja untuk mengusung naskah-naskah itu kemari, tetapi juga untuk menyiapkan sarana yang layak untuk menyimpan dan merawat naskah setiba di sini. Pemerintah harus bersedia menyediakan anggaran untuk ini. Bila perlu, dapat mengajak swasta untuk ikut memberi kontribusi. Dalam hemat saya, penyelamatan manuskrip tua ini seharusnya dijadikan proyek budaya yang sangat penting. Sebutlah misalnya Proyek Penyelamatan Manuskrip Indonesia.

Mengapa proyek? Karena ada beberapa hal yang harus dilakukan terkait dengan naskah kuno ini. Di samping membawa pulang ke Indonesia, naskah kuno harus bisa kita rawat dengan sebaik-baiknya, baik secara preservasi maupun reservasi. Harus tersedia tempat yang layak untuk menyimpannya. Teknologi digital juga harus dimanfaatkan agar naskah-naskah ini dapat dipindahkan ke format digital. Dengan demikian, ada back-up apabila naskah asli semakin memburuk kondisinya. Digitalisasi merupakan langkah strategis. Upaya digitalisasi sebenarnya sudah dimulai, tapi baru sedikit naskah.

Agar nilai yang tersimpan dalam naskah-nakah kuno ini dapat dipahami oleh sebanyak mungkin orang, manuskrip ini seyogyanya diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Jelas, ini pekerjaan besar. Penerjemahan dilakukan secara besar-besaran. Karena itu, penanganannya tidak boleh serba tanggung, mesti melibatkan ahli-ahli bahasa yang boleh jadi semakin langka karena faktor usia. Tanpa diterjemahkan, naskah ini hanya akan dapat dipahami oleh sedikit sarjana. Bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, akan sangat banyak orang berpeluang membaca karya-karya berharga ini.

Agar manuskrip berharga ini juga dapat diakses oleh sebanyak mungkin warga Indonesia, teknologi Internet mesti dimanfaatkan. Proyek ini, untuk sebagian, dapat meniru Proyek Gutenberg—siapapun dapat mengakses karya-karya yang tersimpan di server Proyek ini. Sudah waktunya kita menjadikan kearifan lokal yang berusia tua ini sebagai ‘pengetahuan terbuka’ (open knowledge) yang dapat diakses oleh siapapun warga Indonesia.

Dengan cara inilah, saya percaya, generasi Indonesia sekarang dan mendatang akan menghargai pemikiran, nilai-nilai, ilmu pengetahuan, karya sastra, maupun kearifan yang diwariskan moyangnya. (foto: naskah undang-undang minangkabau; sbr foto: britishlibrary.co.uk) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu