x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bila Penjual Tahu Lebih Banyak

Praktek menyembunyikan informasi masih berjalan hingga kini: penjual mengetahui jauh lebih banyak dibanding pembeli.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ambruknya perusahaan Enron dan WorldCom beberapa tahun lalu bukan saja merugikan para investor dari sisi finansial, namun sekaligus mengagetkan mereka. Nilai saham mereka meluncur drastis dalam waktu dua pekan, dari US$ 30 menjadi hanya US$10 per lembar saham. Bagaimana ini bisa terjadi, tanya mereka kebingungan, perusahaan yang belum lama berselang memperoleh predikat audit keuangan ‘wajar tanpa syarat’ tiba-tiba menyatakan diri bangkrut?

Usut punya usut, ternyata hasil audit yang cemerlang itu sesungguhnya ‘bodong’. Pengelola perusahaan rupanya memoles kinerja keuangan itu melalui permainan akuntansi sehingga kinerja perusahaan terlihat berkilauan. Para stakeholder, khususnya pemegang saham, tak mempunyai informasi yang menyeluruh mengenai kondisi perusahaan seperti yang dimiliki oleh manajemen. Pemegang saham tidak mengira harga saham mereka bakal kempes dalam waktu singkat.

Sangat mungkin ada informasi yang disembunyikan oleh manajemen dari para pemegang saham, dengan alasan kepentingan apapun. Walaupun manajemen bertanggungjawab untuk mengoptimalkan keuntungan pemegang saham, di sisi lain manajemen berkepentingan pula memaksimumkan kesejahteraan mereka. Jika kinerja perusahaan terlihat buruk, bagaimana mungkin mereka memperoleh bonus?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Manajemen mengetahui lebih banyak informasi mengenai kondisi internal perusahaan dan prospeknya di masa depan dibandingkan dengan pemegang saham. Lantaran itu, manajemen wajib memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemegang saham, antara lain melalui laporan keuangan. Namun, sebagaimana kasus Enron dan WorldCom—maupun perusahaan lain yang akhirnya ambruk, informasi yang disampaikan bisa saja dimanipulasi sehingga pemegang saham tidak memiliki informasi yang benar untuk mengambil keputusan.

Situasi yang disebut ‘informasi asimetri’ ini menguntungkan satu pihak tapi merugikan banyak pihak lain—dan praktek seperti ini berjalan terus hingga kini. Bangkrutnya Enron bukan hanya merugikan investor, tapi juga mengakibatkan banyak orang kehilangan pekerjaan. Dampak negatifnya juga terasa pada kegiatan ekonomi: kepercayaan publik berkurang, daya beli sebagian keluarga menurun karena penopangnya kehilangan pekerjaan, dan bursa saham pun melamban.

Dalam praktek yang lebih dekat dengan kehidupan individu, bisa dicontohkan pada jual-beli mobil bekas: bagaimana penjual mengetahui kondisi mobil lebih baik daripada calon pembeli. Dari luar, mobil kelihatan mentereng, catnya mulus, dan mesinnya langsung menyala dengan sekali starter. Namun si penjual tidak memberi informasi kepada calon pembeli tentang satu hal bahwa mobil itu cepat panas setelah menempuh jarak 10 kilometer.

Akan lebih etis bila si penjual memberi tahu calon pembeli mengenai ‘cepat panasnya’ mobil. Begitu pula, akan lebih etis bila manajemen memberi tahu kondisi perusahaan yang sebenarnya kepada para pemegang saham. Mengapa? Karena akan lebih banyak pihak yang terselamatkan dari kemungkinan terburuk ambruknya perusahaan bila mereka mengetahui lebih dini apa yang semula hanya diketahui oleh manajemen.

Namun, dalam praktek seringkali etika dianggap sebagai penghalang kepentingan mereka—mungkin bukan semata perkara bonus yang bisa luput dari genggaman, tapi juga gengsi yang tercoreng bila perusahaan dilaporkan merugi.

Esai yang ditulis George Akerlof pada 1970 dan sudah menjadi klasik itu, “The Market for Lemons,” merupakan kajian yang amat penting mengenai ekonomi informasi. Akerlof memperkenalkan analisis formal pertama mengenai pasar berkaitan dengan informasi.

Penjual, kata Akerlof, mempunyai lebih banyak informasi dibandingkan pembeli berkenaan dengan mutu sebuah produk. Penjual ‘lemon’ (istilah gaul untuk mobil tua yang cacat) tidak menyampaikan informasi yang mungkin dapat memengaruhi keputusan yang diambil pembeli. Akerlof, yang berbagi Hadiah Nobel bersama Michael Spence dan Joseph Stiglitz mengenai isyu informasi asimetris, menunjukkan bahwa secara hipotesis, persoalan informasi dapat menyebabkan keseluruhan pasar ambruk atau mengerut hingga hanya produk berkualitas-rendah.

Maksudnya begini, apabila si pembeli kemudian mengetahui bahwa ia dikibuli oleh penjual mobil tua itu, ia di kemudian hari akan lebih berhati-hati untuk membeli mobil bekas, atau malah tidak mau membelinya sama sekali. Ia juga akan bercerita kepada saudara, rekan sekantor, teman-teman, dan bila jejaring ini terpengaruh, maka semakin sedikit orang yang mau membeli mobil bekas. Akibatnya, secara bertahap pasar mobil bekas menciut karena pembeli semakin sepi.

Kerugian akibat informasi yang asimetris banyak, tapi mungkin lebih banyak orang yang senang menangguk keuntungan dari kelebihan informasi yang dimilikinya di hadapan orang-orang yang informasinya terbatas. Etika (bisnis) diharapkan memang bisa membatasi gerak orang-orang yang mengail keuntungan dengan cara seperti ini. Namun, apakah itu cukup? (sbr foto: slant.investorplace.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler