x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Yang Kaya Kian Berkuasa

Ketika rakyat tenggelam dalam euforia demokrasi, diam-diam para oligark menguasai panggung kekuasaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Mereka yang berkuasa menghabiskan banyak waktu untuk menertawakan kita.”
--Alice Walker (Penulis, 1944-...)

 

Suharto dipaksa turun, 16 tahun yang lampau. Orang-orang tenggelam dalam euforia demokrasi. Mereka yang sebelumnya tiarap mendadak muncul ikut mengusung bendera partai politik dan berteriak lantang. Mereka yang tak pernah bicara politik tiba-tiba berkampanye dan menjanjikan kemakmuran bagi rakyat.

Mereka mengincar kursi-kursi yang menawarkan kuasa. Begitu riuh. Orang-orang luar memuji-muji semua itu sebagai suasana demokratis yang belum pernah ada di negeri ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sampai kini, perhatian kita tersita oleh upaya membangun demokrasi dan hukum dengan terseok-seok. Hingga ada yang luput dari pengamatan umum. Dalam bukunya yang terbit tiga tahun lalu, Oligarki, guru besar ilmu politik AS Jeffrey Winters mengingatkan kita pada apa yang luput dari penglihatan itu: gerak-gerik para oligark. Barangkali karena mereka bergerak bagai bayang-bayang, tak sepenuhnya kasat mata tapi pengaruhnya sangat terasa.

Mereka berbeda dari kaum elite yang memperoleh kuasa dari hak politik formal, jabatan resmi, kekuasaan untuk memaksa (koersif), ataupun kekuasaan mobilisasi. Sumber daya kekuasaan para oligark berasal dari penguasaan material yang luar biasa besar. Inilah yang mampu menjadikan oligark menyamai atau bahkan lebih kuat dari para elite. Oligark bisa menjadi elite—seperti terlihat sekarang, tapi elite tak bisa menjadi oligark kecuali ia menguasai sumber daya material yang sangat besar.

Sebagai orang yang sangat kaya raya, oligark sangat berkepentingan agar kekayaannya tidak berkurang dan pendapatannya tidak terganggu. Mereka membangun pertahanan lewat berbagai cara. Penguasaan dan pengendalian sumber daya material yang terkonsentrasi ini dilakukan untuk kepentingan individu. Winters berkali-kali menegaskan, oligark itu selalu individu, karena itu ia tidak berpikir perihal kepentingan lembaga.

Lewat penelusurannya yang jauh hingga ke pemikiran Aristoteles dan praktiknya di negara Athena maupun Romawi, Winters berkesimpulan bahwa definisi oligark itu tidak berubah di berbagai zaman dan kasus. Para mafioso mewakili individu-individu oligark itu, yang mampu menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya, yakni meningkatkan kekayaan dan menjaga kelangsungan pendapatan pribadi.

Dalam perjalanannya sejak masa Aristoteles, oligark selalu menghadapi tantangan dan ancaman yang terkait dengan kuasa material mereka. Jangkauan kekuasaan oligarkis begitu luas meskipun jumlah mereka minoritas, sehingga usaha melarikan diri dari mereka nyaris mustahil atau mahal sekali biayanya. Para oligark akan berusaha keras mematahkan tantangan untuk mempertahankan posisi sosial eksklusifnya yang dibangun di atas kekayaan material, yang juga bisa dikerahkan demi tujuan-tujuan politik.

Situasi serupa dialami Indonesia sejak Suharto—yang menjadi fokus perhatian Winters. Oligarki yang berkembang di sini bukan tipe panglima, seperti dalam dunia warlordatau para jagoan perang zaman dulu, atau tipe penguasa kolektif, semisal mafioso di Amerika maupun Itali, melainkan oligarki sultanistik. Dan potretnya diwakili oleh Suharto.

Dalam oligarki sultanistisk, sarana pemaksaan dimonopoli oleh satu oligark, bukan negara terlembaga yang dibatasi hukum. Tentu saja ada oligark-oligark lain, namun mereka dengan Suharto memiliki hubungan patron-klien; Soeharto merupakan  oligark utama. Oligark utama inilah yang memainkan peran sebagai pengatur kekuasaan dan hukum di antara para oligark lainnya.

Oligarki sultanistik diwarnai oleh tiga unsur pokok. Pertama, penguasa sultanistik memerintah secara pribadi dan mengatur segala hal yang penting dalam politik dan ekonomi. Kedua, penguasa sultanistik mempertahankan kendali strategis atas akses terhadap kekayaan dan menggunakan sumber daya material sebagai bagian penting dasar kekuasan mereka. Ketiga, pemerintahan sultanistik mencoba mengendalikan kekuasaan pemaksaan di dalam negara atau rezim.

Ketika Soeharto jatuh, terjadilah distribusi kekuasaan politik, tapi hanya di lapisan atas. Distribusi ini tidak berlangsung vertikal yang memberdayakan rakyat miskin. Kontes demokrasi Indonesia, kata Winters, sebenarnya hanyalah permainan pindah-pindah kelompok oligark (dan elite yang ingin menjadi oligark) yang berusaha meraih kekuasaan demi mempertahankan kekayaan dan memperkaya diri sendiri atau kelompoknya.

Kejatuhan Suharto melahirkan efek ganda dengan konsekuensi saling bertentangan. Ketika transisi menuju demokrasi tengah diupayakan, di saat itu pula berlangsung transisi menuju oligarki penguasa kolektif yang tidak jinak. Masyarakat madani (civil society) terlalu lemah untuk menangkap peluang kembalinya demokrasi. Para oligark bergerak lebih cepat untuk mendominasi demokrasi. Demokrasi elektoral memberi cara baru bagi para oligark untuk mengupayakan kepentingan individu maupun kolektif. Lembaga-lembaga demokrasi yang ada malah menyediakan arena bagi maraknya kerja sama dan persaingan antar oligark.

Mengapa ini terjadi? Karena sumber daya kekuasaan paling vital di Indonesia sejak kejatuhan Suharto adalah uang. Agaknya, inilah yang mampu menjelaskan mengapa sebagian elite tersingkir dari arena, sementara para oligark yang bertumpu pada sumber daya material terlihat kebal terhadap tantangan demokrasi (inilah yang kita saksikan sekarang).

Transisi dari kekuasaan otoriter ke demokratis di Indonesia telah mendapat perhatian analitis cukup banyak. Namun Winterslah yang mengingatkan adanya transisi lain, yakni dari oligarki yang dijinakkan oleh penguasa sultanistik ke oligarki liar yang tidak terkendali oleh hukum. Dampak ekonomi-politiknya sangat berarti ketika lembaga formal hukum yang sengaja dilemahkan selama periode otoriter ternyata saat ini terlalu lemah untuk mengendalikan oligarki.

Lewat kajian teoritis maupun historis, yang diperkuat dengan studi empiris tentang Indonesia, khususnya, Winters telah memberi sumbangan berarti secara akademis. Dari sisi praktis, ia telah mengingatkan kita bahwa para oligark yang kini tak terkendali telah memonopoli arena demokrasi.

Oligark dan oligarki akan lenyap bukan melalui prosedur demokratis, melainkan bila distribusi sumber daya material yang sangat tidak seimbang mampu ditiadakan agar tidak lagi memberi kekuasaan politik terlalu besar kepada segelintir oligark. Argumen inilah yang membantu menjelaskan mengapa demokrasi tidak saling meniadakan dengan oligarki.

Euforia demokrasi telah membuat kita luput memperhatikan pergerakan para oligark, yang kini justru mendominasi arena demokrasi. Demokrasi menjadi tempat yang nyaman bagi para oligark dan menyebabkan demokrasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya (dari permukaan tampak demokratis, tapi di belakang layar para oligark bermain). Bagai benalu, para oligark mengisap nutrisi yang berfungsi menyuburkan pertumbuhan pohon demokrasi.

Winters telah menunjukkan kepada kita bagaimana kekuasaan yang sesungguhnya terkonstruksi dan dipertahankan. Karya Winters ini angat relevan untuk memahami siapa yang sesungguhnya berkuasa di negeri ini. (Sbr ilustrasi: veteranstoday.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB