x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sabang, Pada Suatu Ambang

Pembangunan dan pengoperasian kembali Free Port Sabang, benarkah menguntungkan warga?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Maaf, Neuk, beuh.... Maaf, beuh....,” ucap nyak-nyak menyibak antrian penumpang menjelang kapal feri menyandar. Nyak-nyak itu sebutan Aceh untuk ibu-ibu tua dan kalimat tadi artinya, “Maaf ya, Nak”, atau lebih pas diartikan “Permisi ya, Nak”, ungkapan lumrah di Aceh untuk meminta jalan. Bergegas, itu ciri pertama. Posisi dipilih yang terdekat dengan tempat barang di geladak, biasanya pada undakan turun dari ruang penumpang, tapi selalu bukan yang terdepan karena tujuan besarnya membaca keadaan dan kelekasan bertindak.

Matanya awas, kelihatan dari gerak bola mata ke kiri-kanan, tangkas. Ketika kapal menyandar sempurna, pintu terbuka, arus manusia berebut keluar, mereka justru sering diam di tempat. Nyak-nyak ini menunggu kuli-kuli angkut barang, tentunya yang telah mereka kenal dan menjadi langganan, dengan catatan kondisi aman. Seterusnya, si nyak-nyak sering mengambil bagian mengangkat barang bawaan dengan meletakkannya di atas kepala. Khas, gaya perempuan Aceh membawa bawaan berat.

Kemungkinannya dua, lolos berarti beberapa rupiah, tertangkap berarti terduduk kuyu di tumpukan karung bawaan, diceramahi petugas, dan terkatung-katung menunggu jadwal kapal kembali ke Sabang, biasanya pada jam 2 siang atau empat setengah jam selepas kedatangan. Nyak-nyak, yang tertangkap, memang harus kembali ke Sabang dengan barang bawaannya, atau nasib terburuk jika ada razia karena barang-barang disita.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nyak-nyak berusaha keras, kadang sampai kucing-kucingan, mencari persembunyian, menghindari tertangkap petugas. Lengah pengawasan, nyak-nyak berhasil mencapai daratan, atau kalau perlu, karung dilempar dulu ke daratan. Aksi-aksi penuh ketegangan, tapi kalau sudah tertangkap, sering berakhir drama. Bersama terucapnya nasehat-nasehat oleh petugas agar nyak-nyak tak mengulangi perbuatan, wajah-wajah tua berubah pucat, ketakutan, mengiba, beberapa diiringi air mata, “Sayang Mak, Neuk, beuh.... Sayang Mak,” maksudnya, “Kasihani Ibu ya, Nak....Kasihani, Ibu”.

Itu cerita ibu-ibu penyelundup gula dari Sabang. Tolong jangan diadili sepihak. Mereka memang melanggar hukum, tapi pilihan perempuan-perempuan tua, yang harusnya santai di rumah ada yang mengurus, memilih jalan berat beresiko pidana adalah akibat, menurut saya. Keadaan mendorong mereka begitu, kalaupun salah, bukan kadar besar.

Siklus biasa di Sabang, ketika gula import berdatangan, seterusnya adalah episode-episode penyelundupan. Mulai kelas kakap, diangkut truk-truk besar di bawah tumpukan barang lain sebagai tutupan, sampai yang kelas teri, ya yang diperankan nyak-nyak tadi. Satu orang nyak-nyak, biasanya, paling sedikit menyelundupkan seratus kilogram gula, dikemas dalam karung-karung kecil bekas tempat terigu atau beras. Perbedaan harga gula di Sabang dan Banda Aceh, setahu saya, minimal tiga ribu rupiah, pernah hingga tujuh ribu  rupiah per kilo. Artinya, hasil kotor nyak-nyak penyelundup gula, mulai tiga ratus ribu rupiah, bisa sampai tujuh ratus ribu rupiah, sekali jalan.

Sejak Free Port Sabang dibuka lagi, cerita penyelundupan ikut kembali, sama kejadian era pertama 1970 hingga 1985. Mulai penyelundupan gula sampai mobil-mobil bekas dari Singapura. Pelabuhan bebas cukai dibuka, artinya banjir barang datang, tetapi karena kebijakan perlindungan perindustrian-perdagangan nasional juga harus tetap berlaku, maka barang masuk di pelabuhan bebas tidak mudah mengalir keluar. Selanjutnya, barang import berharga murah menumpuk di Sabang, sangat melebihi kebutuhan lokal. Akhirnya, jalan-jalan pintas menghindari kerugian adalah pasar gelap lengkap dengan penyelundupan. Bukankah itu alur sebab akibat?

Free Port Sabang adalah pelabuhan dan kawasan perdagangan bebas, yaitu suatu area tanpa cukai atau bebas beberapa komponen pajak barang import. Sabang memiliki itu sejak lama sebenarnya, sebelum Indonesia merdeka, dibangun pertama oleh kompeni Belanda. Free Port Sabang konon dijadikan model rujukan oleh Singapura saat mereka mulai membangun pelabuhan dagang. Cerita itu kadung melekat, terlanjur jadi keyakinan orang-orang Sabang, senioritas pelabuhan mereka melampaui Singapura. Karenanya hari ini, membuka kembali Free Port seolah-olah keharusan atas nama membangun kembali kebesaran Sabang.

Free Port sudah seperti identitas Sabang. Bicara Free Port dengan penduduk asli Sabang, apalagi para tetua, selalu emosional. Ada kenangan hidup penuh kemudahan, besar, dan indah versi mereka masa pembukaan pertama, 1970-1985. Saya sendiri, sebagai penduduk Sabang hari ini, ragu niat itu terwujud.

Terlalu nekat, menurut saya, menantang raksasa pelabuhan Singapura, yang sudah kelewat mapan, meskipun Sabang punya keunggulan kedalaman lebih, katanya, yang berarti lebih sanggup menampung kapal-kapal masa depan dengan dermaga dalam. Apa iya, Singapura akan berdiam, kalau benar tren muatan perlu perubahan kedalaman dermaga?

Sabang itu punya dua kawasan cagar laut, yang kalau dilihat di peta, posisinya tepat di kanan-kiri pelabuhan. Di tulisan lain, saya pernah menggambarkan betapa laut Sabang adalah jujugan atau langganan penelitian ilmu kelautan. Laboratorium laut besar ibaratnya. 2005, ketika nama perairan bagian Utara Pulau Sumatera tertera dalam jurnal internasional, menandai sebaran spesies ikan yang baru ditemukan, menurut Reef Check International (sebuah LSM konservasi) Laut Sabanglah lokasi awal temuan. Apa iya keberadaan pelabuhan, yang dirancang besar bakal menandingi Singapura itu, katanya, tidak akan mengganggu kelestarian dua kawasan cagar?

Hari ini, Sabang terkenal sebagai tujuan selam saking banyaknya titik menarik di dalam laut Sabang, dari taman-taman terumbu karang, gelembung-gelembung gas di dasar laut, yang ditengarai gunung api bawah laut, sampai kapal-kapal karam masa Perang Dunia II ketika Sabang jadi palagan raya perebutan kekuatan-kekuatan. Apa iya pembangunan pelabuhan itu aman bagi keberlangsungan titik-titik selam, yang menjadikan wisata Sabang besar? Sekaligus pertanyaan lanjutan, bagaimana nasib masyarakat Sabang, yang bergantung pada wisata, jika alam Sabang, yang modal utama mereka, rentan mengalami perusakan seiring aktifitas pelabuhan?

Saya awam, tapi jika boleh berpendapat, selama acuan kita adalah dunia, yang terhegemoni kapitalis, pembangunan pelabuhan seolah-olah perlu karena bagus versi mereka. Ini kenyataan. Miris menyaksikan pertemuan-pertemuan BPKS, lembaga yang dimandati Gubernur Aceh mengembangkan Free Port Sabang, yang sering tidak proporsional, menurut saya. Pembicara dan tokoh adalah pihak-pihak berlatar kepentingan penanaman modal sehingga yang disuarakan bernada seragam, “Buka pintu kalian!” Nelayan Sabang, ulama Sabang, warga Sabang, yang nantinya berhadapan langsung dengan pelabuhan, menghadapi langsung dampak pelabuhan, apakah kebaikan ataukah kerusakan, jarang, malah kalau menurut beberapa orang yang saya temui, tidak pernah, dilibatkan diskusi.  

Semakin banyak Indonesia punya pelabuhan dagang internasional akan selalu lebih baik menurut kaum kapitalis karena artinya semakin luas pasar, dan kita masih memberikan bonus keleluasan, yaitu bebas cukai di beberapa tempat. Bahwa ada nyak-nyak terjerumus menyelundupkan barang banjir di Sabang, itu tidak akan dihiraukan. Bahwa masyarakat Sabang menjadi konsumtif karena tumpukan barang murah di depan mata, tetap bagus menurut mereka, karena berarti pasar aktif. Bahwa orang Sabang tidak mau lagi membeli gula produk tetangganya, dari Aceh atau daerah Indonesia lainnya, misalnya, karena harga lebih mahal dari yang biasa diimport di Sabang, itu bukan urusan mereka.  

Bahwa orang-orang Sabang berbondong-bondong menjual tanahnya untuk lahan pelabuhan adalah hebat menurut mereka karena berarti orang Sabang tidak akan lagi punya hak atas tanahnya. Bahwa suatu hari rencana pembangunan pelabuhan dihentikan, kemudian orang Sabang protes, dan berhadap-hadapan dengan bangsanya sendiri, adalah bagus menurut mereka, karena kepentingan kapitalis jelas, semakin pecah bangsa-bangsa menjadi kecil-kecil semakin mudah penguasaan.

Pertanyaan di akhir, tanpa teori kapitalis dan pergerakan dunia, apakah Tuhan ridhlo nyak-nyak Sabang berpenghasilan besar dari penyelundupan? Bagaimana pertanggungjawaban pemimpin-pemimpin kepada Tuhan? Bagaimana pelaksanaan syariat Islam di bumi Serambi Mekah?

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler