x

Iklan

Erri Subakti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Faktor-faktor Bentrokan TNI-Polri Menurut Luhut Pandjaitan

Bentrokan antara oknum TNI-Polri akan terus terjadi bila tidak ada upaya menyelesaikan secara tuntas persoalan ini. Cara penyelesaian berbagai kasus bentrokan TNI dan Polri selama ini hanya bersifat “seremonial” belaka. Eloknya, penyelesaian harus menyang

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bentrokan antara TNI dan Polri bukan baru kali ini saja terjadi, seperti yang minggu lalu terjadi di Batam. Namun telah tercatat beberapa kali terjadi yang pemicunya hanya persoalan sepele saja.

Luhut Pandjaitan, seorang purnawirawan jenderal bintang 4 yang mantan Dubes RI untuk Singapura dan Menperindag di era Gus Dur, memberikan analisanya mengenai mengapa kerap terjadi bentrokan antara 2 institusi penjaga keamanan dan pertahanan RI ini.

Melalui tulisan di artikel Sampai Kapan "Perang" TNI-Polri? yang ditulisnya di website pribadinya, beliau menuturkan ada 4 faktor yang menjadi penyebab terjadinya bentrokan 2 intitusi tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

1. Pemisahan fungsi pertahanan dan keamanan.

Dalam sejarah politik kita, 2 bidang ini dipisahkan setelah era reformasi. Jika menyangkut masalah keamanan itu merupakan tugas dari kepolisian dan jika menyangkut persoalan pertahanan negara menjadi tugas TNI. Padahal pertahanan dan keamanan itu seperti dua sisi dari satu mata uang. Tidak bisa dipisahkan.

Contohnya adalah proses pengamanan di wilayah Papua, dianggap sebagai bidang “keamanan” maka tugas dan kewenangannya diberikan kepada Polri. Padahal gerakan separatis yang mengacau di daerah pegunungan tengah Papua menggunakan kekerasan bersenjata dengan jumlah personil yang cukup besar. Mereka sudah tidak bisa dikategorikan sebagai kelompok “perampok” melainkan kelompok separatis bersenjata. Ini menjadi tanggungjawab militer atau TNI karena mereka memang dilatih untuk mampu menghadapi ancaman demikian.

Jika dilakukan dengan cara-cara kepolisian maka Tempat Kejadian Perkara (TKP) terjadinya baku tembak misalnya di situ polisi akan memasang police line, lalu mengambil bukti-bukti dan melakukan semua prosedur yang berlaku dalam kasus kriminal. Ketika semua langkah ini sedang berlangsung, gerakan separatis bersenjata itu sudah pergi jauh dan menghilang di gunung yang berhutan lebat.

Langkah strategis yang harus dilakukan adalah dengan mengkaji kembali peran dan tugas TNI-Polri. Pemerintah harus menyesuaikan Undang-undang yang ada, di mana peran dan fungsi  TNI dan Polri. Jangan lagi dipisahkan secara dikotomis antara fungsi pertahanan dan fungsi keamanan. Kita ambil contoh penanganan teroris di dalam negeri tidak semata-mata menjadi tugas polisi sendiri. Di Amerika Serikat, dalam konteks operasi khusus demikian, banyak unsur non-polisi yang dilibatkan.

2. Bentrokan TNI-Polri ujung-ujungnya terkait pada kesejahteraan.

TNI dan Polri harus ditingkatkan remunerasinya sehingga mereka juga bisa hidup layak di atas gaji yang mereka terima secara resmi sekarang. Soal kesejahteraan ini harus jujur dikatakan karena kenyataan sekarang menunjukkan “kesejahteraan” anggota Polri jauh lebih baik bukan karena sistem penggajian yang baik, tetapi ada “pendapatan lain” yang dimungkinkan didapat karena mereka berhadapan langsung dengan masyarakat. Sementara itu para prajurit TNI sejak reformasi tidak mendapatkan keistimewaan seperti di masa lampau.

Eksesnya terjadi persinggungan atau bentrok antara dua institusi negara itu. Contoh saja di Freeport, terjadi persinggungan antara TNI dan Polri karena menyangkut unsur “rezeki” juga. Hal-hal ini harus berani diakui, dan kemudian perlu diatur.

3.Menghidupkan kembali format akademi kemiliteran model Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata RI).

Dengan sejumlah penyesuaian beberapa kekurangannya, terbukti adanya akademi bersama itu menyebabkan solidnya hubungan antar-perwira berbagai matra yang ada, bila ada sedikit beda, dengan mudah para perwiranya bisa saling berkomunikasi karena mereka saling kenal selama pendidikan.

4.Keteladanan.

Pimpinan TNI dan Polri harus mampu memberikan contoh yang baik terhadap bawahannya. Sekarang kita lihat banyak pimpinan yang kurang memberikan teladan yang dapat dicontoh bawahannya. Saya ingat 10 atau 15 tahun lalu, prajurit-prajurit melihat pimpinannya terjun di daerah operasi memberikan contoh sebagai pimpinan di lapangan. Cara-cara itu sangat dihormati oleh para prajurit.

Sekarang eranya mungkin berbeda, dengan kehadiran sosial media yang begitu transparan maka prajurit yang berada di pelosok paling jauh pun bisa mengetahui apa yang dilakukan pimpinan tertingginya. Kita dihadapkan dengan perkembangan sosial media sekarang, yang bisa mengubah cara berpikir dan bertindak manusia ke depan.

Satu faktor penting adalah tidak ada lagi daerah operasi militer yang cukup intens, sehingga hubungan antara atasan dan bawahan berbeda dengan hubungan pada waktu lalu di mana mereka harus intens berkomunikasi dan berdialog karena berada di medan operasi. Di sini lagi-lagi menunjukkan bahwa contoh yang baik kepada bawahan adalah soal keteladanan juga.

Ikuti tulisan menarik Erri Subakti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler