x

Iklan

Moh Alie Rahangiar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membela Aksi Mahasiswa Makassar

Aksi mahasiswa makassar dituduh rusuh dan meresahkan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejak beredar desas-desus tentang rencana kenaikan harga BBM pada pertengahan Oktober lalu, Mahasiswa Makassar meresponnya dengan berbagai bentuk aksi. Dari yang paling soft seperti teatrikal, sampai yang menurut istilah orang kebanyakan disebut sebagai aksi anarkis.

Sejak awal, bahkan sejak “tradisi perayaan” menyambut rencana kenaikan harga BBM mulai gemar dirayakan beberapa tahun belakangan di Makassar, posisi media massa/pers; cetak, elektronik maupun on line beserta para komentator baik kalangan kampus (baca: akademisi) maupun aktivis alumni kampus berbeda-beda dalam melihatnya.

Media, seperti biasa akan membingkai pemberitaan yang menonjolkan sisi rusuhnya aksi – saya menggunakan istilah rusuh dan bukan anarkis karena menurut literatur, anarkisme memiliki makna lebih luas dan berbeda dari yang kita maknai sehari-hari. Media kemudian memojokkan dan menyensor substansi issu yang disuarakan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemberitaan tidak berimbang ini pun segera disambut para komentator dengan macam-macam tanggapan. Di halamankoran, berbagai tulisan di kolom opini maupun stetment dimuat, dan rata-rata untuk mendelegitimasi akasi mahasiswa. Tentu saja ada yang mendukung, tapi lebih banyak yang menghujat dan mengutuk.

Tulisan ini akan melihat posisi media dan para akademisi  sekaligus komentator dalam merespon aksi mahasiswa yang menolak kenaikan harga BBM.

Berita untuk kepentingan siapa?

Sejak aksi penolakan kenaikan harga BBM mulai menjadi semacam trend bagi mahasiswa Makassar, setidaknya sejak tahun 2009, posisi media dalam pengamatan saya, secara umum tidak mendukung gerakan mahasiswa. Klaim ini merujuk pada fakta bahwa dari tahun ke tahun, yang menjadi headline – silahkan dicek – di koran-koran lokal Makassar bila musim demo BBM tiba adalah aksi rusuh dan bentrok Mahasiswa vs Polisi. Aksi mahasiswa hampir tidak punya tempat positif sama sekali dalam pemberitaan media.

Bagi para pengkaji media, media/Pers pada dirinya melekat suatu ambigiutas bawaan yang rasanya mustahil untuk ditanggalkan. Media, di satu sisi – secara normatif – selain menghibur, ia dituntut untuk berkontribusi dalam pembangunan Negara-bangsa dengan peran kontrol, edukasi dan informasi dalam pemberitaannya.

Di sisi yang lain, media adalah industri yang bergerak di sektor bisnis. Karena ia adalah industri, maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa ia bekerja dengan nalar industrinya, yakni profit oriented. Asas sederhananya, tidak ada bisnis yang didirikan untuk menelan kerugian. Olehnya, pada banyak kasus, justru logika industri ini didapati lebih dominan dibanding tanggung jawab normatifnya.

Beberapa hari ini, ada issu yang secara beruntun dan saling sahut menyahut diekspos dalam waktu yang bersamaan.  Issu itu di antaranya adalah penolakan Mahasiswa terhadap kenaikan harga BBM, kekerasan aparat terhadap jurnalis dan penyerang ke dalam Kampus Universitas Negeri Makassar (UNM), serta yang paling sensasional adalah Prof. Muzakir yang oleh beberapa media diberikan pelabelan baru sebagai Prof. Nyabu. Dan yang terkhir adalah penyerangan “warga bayaran” ke dalam Kampus Universitas Hasanuddin (UNHAS).

Beberapa waktu lalu, pada kesempatan mendampingi kawan-kawan jurnalis korban kekerasan aparat di Kampus UNM ke Polrestabes Makassar, kepada salah satu kawan jurnalis, sempat saya sampaikan: “sudah-sudahmi itu beritanya Prof. Muzakir, mending teman-teman wartawan fokus ke kekerasan Polisi (terhadap wartawan dan mahasiwa) di UNM dan issu BBM. Tertutupi mi itu issu kekerasan gara-gara issunya Prof. Muzakir”. “Susah, partner. Masalahnya ini kebijakan kantor”, jawab kawan wartawan itu  kepada saya.

Dari percakapan ini kelihatan bahwa media sebagi entitas bisnis, berjalan dengan nalar dan media setting-nya sendiri. Meskipun kadang media setting itu sendiri bersinggungan dengan “kepentingan” pekerjanya (baca: jurnalisnya), yang dalam beberapa kasus (khususnya kekerasan Polisis terhadap Jurnalis di UNM) pekerjanya yang dijadikan tumbal.

Cerita soal media setting pada pemberitaan ini tentu bukan kabar baru. Namun pada beberapa pemberitaan (issu) di atas, media begitu antusias dan vulgar dalam memberitakan. 

Saya, dan tentutunya kita semua, mafhum bahwa media adalah industri. Dan pada batas tertentu, geraknya dituntun nalar industrinya itu. Tapi mengambil manfaat dengan cara kasar: mem-blow up kasus tertentu secara vulgar dan pada saat yang sama, menyensor pemberitaan lain adalah model pemberitaan yang bukan hanya tidak fair dan uneducated, tapi juga (maaf) picisan dan tidak mutu.

Kita tentunya sulit menafikan jejaring antara suatu media dengan kekuasaan politik, baik lokal  maupun nasional. Publik tahu, siapa saja pemilik beberapa media lokal yang ada di kota ini. Dan apa serta bagaimana posisi dan peran mereka, lansung maupun tidak langsung dengan kekuasaan yang baru saja berdiri.

Saya menduga, karena jejaring inilah, secara sengaja Makassar “diamankan” dengan membingkai pemberitaan aksi mahasiswa sebagai aksi yang rusuh, brutal, anarkis, tidak terdidik, menyebabkan macet dan meresahkan seisi kota, serta sederet predikat negatif lainnya.

Jangan naïf

Bahwa gerakan mahasiswa perlu refleksi dan evaluasi, adalah suatu keharusan jika ingin tetap bertahan pada tugas historisnya. Tapi memisahkan gerakan mahasiswa dari kondisi sosial politik tertentu adalah naïf. Ibarat lawakan yang tidak lucu tapi tetap saja dinikmati. Mengomentari gerakan mahasiswa secara membabi buta kemudian melekatkan sederet predikat negatif padanya tanpa memeriksa situasi politik-ekonomi tertentu yang melatari adalah perilaku konyol yang fatal.

Sama seperti komentator sepak bola yang mendasarkan komentarnya hanya pada durasi 2 x 45 menit pertandingan di lapangan berukuran 110 x 75 meter. Tanpa melihat kondisi pra dan pasca petandingan, kecenderungan supporter, kondisi fisik dan mental-psikologi pemain, kondisi keuangan dan manejmen tim, pelatih, serta faktor penentu lainnya yang berkelindan.

Kalau mahasiswa dipojokan karena aksi rusuhnya. Pertanyaanya, sudah berapa banyak aksi mahasiswa yang dilakukan secara damai-tertib yang jadi head line di koran-koran di kota ini? Saya mengkliping pemberitaan 4 koran ternama di kota ini yang mengangakat aksi-aksi mahasiwa sejak tahun 2009. Dan tidak ada satu pun di antara 4 Koran itu yang mengangkat aksi damai-tertib mahasiswa selama kurun waktu 2009 – November 2014 sebagai head line-nya. Aksi mahasiswa baru menghiasi halaman depan koran di kota ini ketika mereka berhadap-hadapan dengan Polisi, saling lempar batu dan gas air mata.

Saya tidak setuju dengan aksi mahasiswa yang rusuh. Tapi mengomentari aksi mahasiswa dengan kaca mata kuda, bukan saja merupakan kekhilafan yang fatal, tapi juga ahistory.

Hal lain yang perlu digaris bawahi adalah bahwa kekuasaan yang menaikan harga BBM ini belum lebih dari ½ semester berdiri. Ilmuan atau analis mana yang berani menjamin bahwa rezim ini tidak akan berkhianat dan berjalan sesuai isi kepala dan kehendak hati 249,9 juta jiwa[1] penduduk negeri ini? Atau paling tidak sesuai aspirasi konstituen yang memlilih mereka (Jokowi-JK) pada Pilpres lalu?

Saya tidak ingin berspekulasi tentang tepat atau tidaknya harga BBM dinaikan karena itu di luar kemampuan saya. Tapi bagi saya, pada derajat tertentu, pengkhianatan dan politik transaksi mulai kelihatan dipraktekkan beberapa hari lalu oleh rezim ini, yaitu pada saat penunjukan HM. Prasetyo yang berlatar belakang Politisi sebagai Jaksa Agung.

Akhirnya, jangan menjadi hakim yang dengan sadar mendasarkan putusannya hanya pada 24 inchi ukuran layar televisi di rumah, atau 330,5mm x 550mm ukuran surat kabar yang baru selesai dibaca. Tanpa mau memeriksa konteks (latar) suatu persitiwa. Karena hal itu akan tampak seperti lelucon yang kekanak-kanakan.

Semoga saya keliru dan rezim ini tidak lebih buruk dari rezim sebelumnya. Wallahu a’lam.



[1] BPS, penduduk Indonesia/2013

Ikuti tulisan menarik Moh Alie Rahangiar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler