x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kepentingan Bisnis dan Politik Saling Melilit

Seruan untuk memisahkan urusan ekonomi-bisnis dan politik berhenti sebagai etika yang tak cukup kuat untuk menghalangi seseorang mencampuradukkan keduanya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Demokrasi adalah ketika kaum fakir, dan bukan kaum kaya, yang berkuasa.”
--Aristoteles (Orang Yunani kuno, 384-322 SM)

 

Aristoteles benar belaka ketika mengatakan ‘demokrasi adalah ketika kaum fakir, dan bukan kaum kaya, yang berkuasa.’ Namun pendapat ini terdengar utopis pula, terutama bila mau dipraktekkan di masa sekarang. Seorang fakir mungkin dapat naik ke jenjang tertinggi dalam politik, tapi ia menjadi tunggangan bagi kaum kaya yang sebagian di antaranya lebih suka menjadi ‘sang penjadi raja’ (king maker).

Para ‘penjadi raja’ lebih senang bermain di belakang layar, menjadi dalang yang memainkan wayang-wayang dan membikin cerita menurut seleranya sendiri. Sebab mulanya adalah bisnis atau lebih tepat kemakmuran, kesejahteraan, kekayaan, dan kemudian tahta. Tahta dan kuasa diperlukan agar kemakmuran tidak goyah, malah bertambah hingga membuncah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saling melilit dua kepentingan—kuasa ekonomi dan kuasa politik—bukanlah cerita baru. Sejak lama para saudagar menjadi penguasa karena kemakmurannya. Bahkan, mereka tak cukup puas hanya menjadi orang yang memainkan wayang dan mengatur persaingan di arena bermain, mereka kerap ingin sekaligus menjadi pemain.

Sebagian lainnya memilih jalan yang kelihatannya lebih elok di mata publik: mundur dari jabatan bisnis, tak lagi memimpin perusahaan. Tapi, apakah mereka mundur dari kepemilikan? Luar biasa bila ini terjadi: sang saudagar melepas seluruh saham, lalu mengabdi kepada bangsa dan negara melalui politik. Ia sepenuhnya mengabdi kepada masyarakat tanpa direcoki kesibukan mengurusi dan memperbesar kue bisnisnya. Sayangnya, yang seperti ini hanya bisa dijumpai dalam angan-angan.

Yang terjadi kemudian bukan benturan kepentingan antara bisnis dan politik, melainkan saling melilit di antara keduanya. Untuk berpolitik diperlukan uang banyak—dari diri sendiri maupun pendukung utama, dan untuk memperbesar bisnis dibutuhkan berpolitik (berpolitik tidak mesti menjadi penguasa formal, tapi bisa pula menjadi penguasa di balik layar, sebagai dalang, sebagai pembisik sambil menekan, sebagai king maker).

Belum ada aturan formal yang melarang, hanya perkara etika. Tapi etika tidak cukup kuat untuk mencegah orang dari melakukan tindakan mencampurkan urusan bisnis pribadi dan politik. Dan ini sudah terbukti sejak dulu kala. Jeffrey Winters, guru besar ilmu politik di AS, telah menyusuri jejak historis dari masa negara Athena, Roma, Venesia, hingga Indonesia dan AS. Meskipun hadir dalam beragam wajah, di sepanjang sejarah ini oligarki menganut prinsip yang sama: mempertahankan kemakmuran untuk kepentingan pribadi. Menjadi kaya membuat mereka memiliki hak-hak eksklusif dalam masyarakat.

Sebelum Winters, Richard Robison dan Verdi Hadiz, dalam buku mereka Reorganizing Power in Indonesia (2004), kejatuhan Soeharto membuka jalan bagi oligarki bisnis-politik untuk menyusun ulang kekuasaan mereka dengan mengakomodasi berbagai kepentingan yang tampak populis di era demokrasi. Mereka lincah dalam bermanuver: sebagian menjadi penguasa sekaligus, sebagian lainnya bermain di balik layar yang penting kue bisnisnya semakin besar.

Sebab itulah, jauh-jauh hari Robert Michels (1959) sudah mengingatkan bahwa demokrasi gagal menghentikan kecenderungan oligarkis untuk muncul ke permukaan. Ketika kepentingan ekonomi-bisnis dan politik saling melilit, menjadi semakin sukar mempertahankan demokrasi sejati. Kaum makmur akan berupaya sekuat tenaga untuk memperkuat pengaruh politik demi meningkatkan kemakmurannya.

Dalam situasi seperti ini, bagaimana memelihara harapan terhadap demokrasi sejati, apalagi seperti yang dibayangkan Aristoteles, menjadi perkara yang rumit. (sbr foto: jonmichail.org)**

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler