x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menyingkap Misteri Semesta: Dari Fisika hingga Biologi

Setelah menjelajahi misteri alam melalui fisik, dalam karya mutakhirnya Fritjof Capra mendekatinya lewat biologi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Wherever we see life, we see networks."
--Fritjof Capra (Ilmuwan, 1939-...)

 

Di era modern, perbincangan tentang perjumpaan ‘dua dunia’ (fisika modern dan spiritualitas) berawal dari kegelisahan para fisikawan di awal abad ke-20. Mereka tertegun ketika memasuki dunia atomik dan sub-atomik, yang ternyata berbeda sama sekali dengan apa yang mereka bayangkan.

Di dalam dunia yang amat mikro itu tersimpan paradoks bahwa pada tingkat subatomik, zat dapat dipandang sebagai partikel dan gelombang sekaligus. Ini melumpuhkan pengertian klasik mengenai obyek. “Mungkinkah alam ini absurd sebagaimana tampak pada kita dalam eksperimen-eksperimen ini?” tanya Werner Heisenberg, pencetus teori ketidakpastian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kegelisahan serupa merundung fisikawan Fritjof Capra yang lama bertekun di Berkeley. Setelah melalui pencarian panjang, pada 1975 Fritjof Capra menerbitkan buku yang sangat menarik perhatian publik sains. Judulnya mencerminkan pergolakan pemikiran yang mencekam fisikawan ini: The Tao of Physics.

Dalam buku yang sudah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa itu, Capra menyingkapkan pandangannya ihwal kesejajaran antara fisika modern dan mistisisme (Timur). Lambang yin dan yang, yang ditampilkan di sampul buku ini, mencerminkan pemahaman tentang dualitas dari realitas yang sama, sebagaimana partikel dan gelombang mencerminkan realitas yang sama.

Albert Einstein, yang ikhtiar tekunnya melahirkan teori relativitas, terkejut tatkala Heisenberg, Neils Bohr, dan sejumlah fisikawan lain, menawarkan interpretasi atas realitas dengan mengajukan teori kuantum. Ketidakpastian Heisenberg berimplikasi pada indeterminasi—sebuah perlawanan atas pandangan Cartesian dan membuat Einstein, pencetus teori relativitas, terusik.

Konsekuensi dari tafsir atas teori ini sungguh mencengangkan Einstein dan membuatnya terheran-heran: “Tuhan rasanya tidak bermain dadu.” Pikiran ini terus mengganggu Einstein hingga wafatnya. Menggambarkan situasi ini, Einstein menggunakan aforisme: “Sejauh hukum matematika merujuk pada realitas, hukum itu tidak pasti; sejauh hukum itu pasti, hukum itu tidak merujuk kepada realitas.”

Apa yang dipikirkan oleh Einstein dan yang dibayangkan oleh generasi fisikawan yang lebih muda seakan berbenturan. Keduanya memberi gambaran yang berbeda mengenai dunia kita, dan mengalami ketegangan sebagaimana cahaya dapat dimaknai sebagai partikel dan sebagai gelombang. Tatkala realitas fisika menjadi sangat besar dan amat kecil, realitas itu seperti bukan satu, melainkan dua—dan terlihat kontradiktif.

Relativitas umum melukiskan apa yang terjadi pada skala kosmologis sebagai alunan waltz dalam dimensi ruang-waktu. Teori kuantum menggambarkan realitas subatomik dalam kuanta, melompat-lompat. Relativitas umum tak ubahnya karya Strauss—mendalam, anggun. Teori kuantum mirip jazz, improvisasinya begitu mempesona. Materi subatomik, menurut Bohr, tak bisa dipahami sebagai entitas yang mandiri, melainkan mesti dilihat dalam konteks interaksinya satu sama lain—materi, ruang, tempat, waktu.

Niels Bohr kemudian sampai kepada pemahaman bahwa dualitas itu bukanlah kontradiksi, melainkan komplementer. Partikel dan gelombang adalah manifestasi dari realitas yang sama. Bohr mengatasi kebingungan yang mereka hadapi dengan pemahaman bahwa aspek-aspek paradoksal itu sesungguhnya saling melengkapi.

Bagaikan yang dirasakan oleh para sufi, fisikawan ini menghadapi aspek-aspek paradoksal dari realitas dan menemukan pengertian komplementer sebagai jawabannya. Dari perbincangannya dengan Werner Heisenberg (1972), Capra mengetahui bahwa Heisenberg juga menyadari kesejajaran ini. Ketika ia tengah mengerjakan teori kuantum, kata Capra, Heisenberg mengunjungi India dan menjadi tamu Rabindranath Tagore. Pembicaraan dengan Tagore itu telah membantu Heisenberg dalam merumuskan gagasannya mengenai fisika kuantum. Niels Bohr juga mendapatkan pengalaman serupa ketika ia berkunjung ke Cina.

Pengetahuan tentang materi pada tingkat subatomik memang tidak bisa lagi diturunkan dari pengalaman inderawi secara langsung, dan karena itu bahasa yang biasa (ordinary language) tidak lagi mencukupi untuk menggambarkan fenomena yang diamati. Seperti dikatakan oleh fisikawan Ibrahim Syed, semakin dalam kita memasuki alam itu, semakin harus kita tinggalkan konsep-konsep yang diungkapkan dalam bahasa biasa itu.

Fisikawan Brain Hines mengaku banyak menyerap kearifan dari para sufi. Dari pembacaan atas karya Jalaluddin Rumi, khususnya, ia memperoleh penjelasan yang mencerahkan terkait fenomena alam yang ia teliti. Hines, seperti halnya Heisenberg, Bohr, dan Capra telah berhasil melampaui penafsiran materialistis atas realitas. Perbincangan tentang dua dunia ini pun masih berlangsung. Capra bahkan meluaskan pemahamannya hingga karya-karya yang lahir bertahun-tahun setelah The Tao of Physics terbit, di antaranya The Web of Life dan The Hidden Connection, dengan penjelasan ilmiah yang tetap kental dan warna spiritualitas yang kuat.

Spiritualitas mendatangkan kesadaran bahwa alam semesta menyimpan banyak misteri yang tidak bisa dipahami dengan rasionalitas semata, tak bisa hanya menggunakan, seperti kata Rumi, “kaki yang terbuat dari kayu.”

Kesadaran tentang aspek-aspek spritual itulah yang membawa Capra melangkah lebih jauh lagi. Bersama Pier Luigi Luisi—ahli biokimia, Capra menulis karya mutakhirnya The Systems View of Life: A Unifying Vision (2014), yang melampaui pembahasan The Tao of Physics yang terfokus pada fisika. Boleh dikata, ini merupakan eksplorasi lebih dalam atas gagasan Capra yang sudah dituangkan dalam The Web of Life.

Dalam ikhtiarnya memahami kehidupan, Capra dan Luisi menggunakan kerangka sistemik yang dimensi-dimensi biologi, kognitif, sosial, dan ekologi. Karya mutakhir ini mengeksplorasi bagaimana biologi modern tumbuh menjadi pandangan yang holistik dan sistemik. Karya ini menunjukkan betapa manusia sangat menggantungkan hidupnya kepada alam, dan karena itu manusia semestinya mengikuti cara alam bekerja dan bukan malah mendominasinya.

Persoalan paling penting yang kita hadapi sebagai manusia saat ini—mulai dari ketidakstabilan finansial, perubahan iklim, maupun penurunan kualitas lingkungan—mencerminkan ketidaksanggupan kita untuk menghargai bahwa alam bekerja menurut sistem yang holistik dan sistemik. Kita melupakan atau tidak peduli bahwa sebuah kerusakan kecil di bagian alam ini sanggup menimbulkan dampak serius bagi bagian alam yang lebih besar. (Foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB