x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa Kita Suka Berpikir Seragam?

Mengapa kita lebih sukar berpikir seragam dan menganut primodialisme pikiran?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Emancipate yourselves from mental slavery.
None but ourselves can free our minds.” 

--Bob Marley (Musisi, 1945-1981)

 

Barangkali, kita sudah menikmati kebebasan berpikir hingga derajat tertentu. Namun kebebasan itu terbelenggu oleh kepentingan sebagian orang yang berkehendak menguasai percakapan. Orang-orang ini mengklaim kebenaran tanpa bersedia membuka ruang percakapan bagi orang lain. Dengan bersikap begitu, mereka menampik kemungkinan bahwa dirinya bisa saja keliru—inilah prinsip falibilitas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di dunia politik, tempat kebijakan kerap diputuskan dan mengikat orang banyak, perkara falibilitas ini menjadi rumit. Para politikus tidak cukup berani dan berbesar hati untuk mengakui bahwa dirinya bisa salah; bukan hanya bisa benar. Barangkali ini memang perkara harga diri, tapi sekaligus menandai kejumudan pikiran. Dalam politik, seperti kata George Soros dalam The Age of Fallibility, gagasan-gagasan yang salah bisa menang.

Kebebasan berpikir juga terpasung oleh semacam, meminjam istilah manajemen, group think. Apabila sekelompok orang bersatu dalam pikiran yang sama, maka itulah kebenaran yang harus diterima. Pintu ditutup bagi pikiran lain.

Orang menjadi enggan untuk berpikir berbeda. Repotnya, banyak orang memang lebih suka ikut berbaris dalam keseragaman. Massa yang bertikai adalah kerumunan yang menutup diri dari pikiran lain; alih-alih pikiran lawan bertikai (Astaga, nyaris setiap hari kita menyaksikan di layar televisi adegan pertikaian dengan kekerasan: di kampus, di kampung, dan di rapat parpol). Berpikir lain dianggap keluar dari kelompok.

Teks dan gambar yang lalu-lalang di media arus-utama juga menyiratkan keterperangkapan kita dalam primodialisme pikiran. Ada semacam pemujaan pada pikiran tertentu, cara berpikir tertentu, yang diwakili oleh tokoh tertentu.

Primodialisme pikiran menjebak kita untuk tidak beranjak dari pikiran-pikiran yang dianut oleh kerumunan. Meresahkan, primodialisme itu menjangkiti berbagai ranah kehidupan, dalam teori maupun praktik—seperti bagaimana partai-partai dikelola, ormas-ormas dijalankan, bahkan juga kampus-kampus dikelola.

Ada pula sejenis ketakutan untuk berpikir berbeda, dengan cara berbeda, dan isi pikiran yang berbeda. Kita lebih suka berlindung di balik pikiran orang lain, terutama yang menjulang. Kita cemas berdiri sendirian, sebab angin akan menerpa begitu kencang, dari berbagai arah.

Inilah yang membuat kita tak berani berpikir jujur menurut apa yang kita angankan, yang kita inginkan, yang menurut kita benar dan baik—dan sangat mungkin ini  buah dari ‘sekolah’ yang kita jalani selama bertahun-tahun (Ingatkah pada kata-kata ini: “Bukan begitu caranya!”).

Kita mungkin tidak bisa untuk tidak berdiri di atas pundak-pundak raksasa yang sudah lampau, yang hidup mendahului kita, namun itu tidak mesti membuat kita takut untuk meretas jalan sendiri. Mungkin kita terantuk batu, satu dua kali, tapi niscaya kita sanggup untuk berdiri lagi.

Kebebasan berpikir, pada akhirnya, tidaklah cukup. Kemandirian berpikirlah yang kian kita butuhkan agar pagi kita menjadi berwarna-warni. Setiap kali kita bangun, kita bisa menyaksikan percakapan yang mengasyikkan sebab orang-orang melihat sesuatu dari pikiran yang berbeda dan itulah yang membuat hidup jadi jauh lebih kaya—tak ada orang yang berusaha menghegemoni percakapan.

Lagi pula, bukankah kita sendiri yang menanggungkan apa yang kita pikirkan? Tak banyak, dalam sejarah republik ini, orang-orang yang demikian berani berpikir mandiri (Tjokroaminoto, Hatta, Soekarno, Sjahrir, Tan Malaka, Kartini, Cut Nyak Dhien, Ki Hajar Dewantara) untuk menyebut beberapa di antaranya), dan kian sulit kita menemukannya sekarang.

Berpikir mandiri memang butuh keberanian. Sebab, seperti kata Ibn Bâjjah (abad ke-12 Masehi) dalam Panduan Kesendirian (Tadbîr al-Mutawahhid), berpikir adalah fungsi manusia tertinggi, tapi berpikir juga ikhtiar yang penuh bahaya. Bagi saya, berpikir mandiri memang berbahaya, tapi berpikir seragam niscaya lebih berbahaya. (sbr foto: alembic.co.uk)***

 
 

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler