x

Iklan

Anton Muhajir

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Empat ABK Indonesia Tertipu di Peru

“Selama enam bulan bekerja, saya tidak pernah mendapatkan gaji. Saya tanya ke keluarga juga mereka tidak pernah mendapat transfer dari perusahaan tempat saya bekerja,” ujar Taufik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dengan suara pelan, lirih sambil menunduk, Hipdon Taufik, 31 tahun berkata, “Hancur semuanya sekarang, Pak. Sudah satu tahun saya tidak kasih makan keluarga.”
 
“Padahal saya anak paling gede dan harus menanggung keluarga. Bapak saya sudah meninggal. Saya satu-satunya yang sudah berkeluarga di antara teman-teman lain di sini,” Taufik melanjutkan.
 
Bersama tiga warga negara Indonesia lain, sudah sekitar satu tahun Taufik meninggalkan tanah kelahirannya, Cianjur, Jawa Barat. Setahun lalu, dia berniat bekerja di kapal ikan milik perusahaan Taiwan. Wilayah tangkapan di wilayah perairan Peru di Samudera Pasifik. 
 
Namun, Taufik dan tiga temannya justru tertipu.
 
“Selama enam bulan bekerja, saya tidak pernah mendapatkan gaji. Saya tanya ke keluarga juga mereka tidak pernah mendapat transfer dari perusahaan tempat saya bekerja,” ujarnya.
 
Bersama Muhammad Ali, Eli, dan Nendi, Taufik kemudian kabur dari kapal ikan tersebut. Sejak April 2014 mereka meminta perlindungan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Lima, Peru. Selasa lalu mereka bercerita tentang perjalanan mereka sehingga bisa tertipu dan terdampar di Peru.
 
Staf KBRI di Peru, Arya Putubaya menemani obrolan dengan mereka selama sekitar 1 jam di ruang makan KBRI.
 
Cerita empat anak buah kapal (ABK) dari Indonesia tersebut kurang lebih sama. Mereka mengaku tertipu oleh perusahaan penyalur ABK di Indonesia.
 
Ali dan Nendi berasal dari Desa Bayalangu Kidul, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Taufik dari Desa Ciranjang, Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Adapun Eli dari Tanjung Priok, Jakarta.
 
Menurut Ali, mereka terbujuk ikut bekerja di kapal ikan setelah diajak staf agen penyalur tenaga kerja Indonesia (TKI) di kampungnya. Meskipun tak memiliki pengalaman bekerja di laut sama sekali, Ali dan Nendi tertarik.
 
Berdasarkan informasi dari staf agen penyalur TKI tersebut, mereka ditawari bekerja di kapal penangkap cumi berbendera Taiwan. Selain gaji Rp 2,4 juta tiap bulan, mereka juga dijanjikan akan mendapatkan bonus $ 15 tiap 1 ton hasil pancingan.
 
“Cita-cita saya bekerja hingga dua tahun untuk modal buka usaha di rumah kalau sukses,” kata Ali.
Tertarik dengan gaji dan bonus, mereka pun berangkat ke Peru lewat Kuala Lumpur dan Amsterdam. Nendi dan Ali pada Desember 2013 sedangkan Eli dan Taufik sebulan sebelumnya. Mereka tak membayar apa pun untuk bisa berangkat ke Peru dari Jakarta. Padahal, tiket pesawat sekitar Rp 15 juta satu kali berangkat.
 
Begitu tiba di Peru, mereka langsung dipindah ke kapal lain, bukan milik perusahaan dari Taiwan tapi China. Di kapal tersebut ada 29 ABK termasuk dari Vietnam dan China. Dari Indonesia ada enam ABK termasuk mereka. Satu ABK dari Indonesia kemudian dipulangkan karena sakit tidak kuat bekerja.
 
Selama enam bulan berlayar, mereka mengaku bekerja melebihi jam kerja. Dari pukul 4 sore hingga 8 atau 10 pagi. Kalau banyak pekerjaan bisa sampai pukul 11 pagi. 
 
Toh, meskipun melebihi jam kerja, mereka tak pernah mendapatkan haknya, gaji tiap bulan. “Jangankan bonus, Pak. Gaji tiap bulan saja kami tidak pernah dibayar,” kata Taufik.
 
Selama di kapal, mereka juga tak mendapatkan makanan layak. Hanya nasi yang disiram air panas, biskuit, dan sesekali bak pao. “Kami kayak anak tiri. Makanan paling gak enak padahal kerja paling keras. Beda perlakuan dengan ABK dari Vietnam dan China,” Ali menyambung.
 
Perlakuan di kapal juga kadang tidak manusiawi. Mereka mengaku kadang dipukul dan ditendang.
 
“Jujur, Pak. Kadang-kadang kami harus mencuri di kapal biar dapat makan enak. Padahal selama di rumah kami tidak pernah mencuri sama sekali,” kata Nendi.
 
Tidak tahan dengan perlakuan tersebut, mereka pun meninggalkan kapal tersebut begitu mendarat di Chimbote, pelabuhan ikan terbesar di Peru. Setelah menjual semua barang termasuk baju dan ponsel, mereka naik bus selama sekitar 8 jam ke Lima.
 
April 2014, mereka mendapatkan perlindungan dari KBRI di Lima. Namun, mereka tak bisa pulang ke Indonesia karena tidak ada ongkos untuk kembali ke daerah asal masing-masing.
 
Setelah sempat tinggal di hostel tak jauh dari KBRI Lima, mereka kini tinggal di Gedung KBRI. Salah satu ABK kini sudah bekerja di kapal ikan berbendera Spanyol sementara mereka berempat tetap di KBRI. Ruang perpustakaan di Gedung KBRI disekat untuk tempat tinggal mereka.
 
“Kami sudah minta ke Jakarta agar mengirimkan uang untuk biaya mereka kembali ke Indonesia. Tapi sampai sekarang belum ada kiriman,” kata Arya Putubaya, staf KBRI di Lima.
 
Tantan Rahmansyah, staf KBRI Lima yang menangani kasus ini mengatakan, kejadian serupa sudah sering terjadi. Sebelumnya, KBRI di Lima juga pernah menangani 20 ABK yang meminta perlindungan ke KBRI.
 
Menurut Tantan penipuan seperti itu terjadi biasanya karena ABK yang ikut kapal memang tidak berpengalaman kerja di laut. Mereka hanya tertarik pada gaji dan bonus tapi tidak memiliki pengalaman kerja. Akibatnya, ketika sudah di kapal, mereka melakukan pekerjaan yang dianggap berat.
 
Penipuan juga terjadi karena adanya kontrak di atas kontrak terhadap para ABK. Tepatnya sistem outsource. Tantan mencontohkan, para ABK dari Indonesia memiliki kontrak kerja dengan perusahaan penyalur TKI, termasuk ABK, di Bekasi atau Jakarta. Lalu perusahaan penyalur TKI memiliki kontrak dengan perusahaan di Taiwan. Di bagian terakhir, barulah perusahaan dari Taiwan memiliki kontrak dengan perusahaan perikanan dari China tempat di mana para ABK bekerja.
 
“Jadi, tidak ada kontrak langsung antara ABK dengan kapal tempat dia kerja. Akibatnya susah kalau mau komplain ke kapal tersebut,” ujar Tantan.
 
Tantan memberikan beberapa nama perusahaan penyalur ABK tersebut di Bekasi dan Jakarta. Antara lain PT Mahkota Ulfa Sejahtera, PT Panutawar Prima Perkasa, PT Sumber Putra Abadi, PT Seva Jaya Abadi, dan PT Rifano Anugerah Sentosa. Pada Desember 2013 lalu, polisi menggerebek kantor PT Mahkota Ulfa Sejahtera atas sangkaan pelaku penampungan TKI ilegal. 
 
Untuk itulah, pihak KBRI Lima juga sudah meminta ke Jakarta agar para perusahaan penyalur ABK tersebut ditindak. Agar tidak makin banyak warga Indonesia yang tertipu seperti empat ABK yang sekarang menunggu tak bisa pulang di Lima.
 
“Keinginan saya sekarang hanya satu, pulang. Saya mau ziarah ke makam Bapak. Saya ingin pulang. Tapi saya tak punya duit,” kata Taufik.
 

Ikuti tulisan menarik Anton Muhajir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler