x

Iklan

Mahendra Ibn Muhammad Adam

Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja - FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Anak Jadi Uji Coba, Salahkan Pak Anies atau Pak Jokowi?

Seperti apa kurikulum tingkat satuan pendidikan (ktsp) dan apa bedanya dengan kurikulum 2013?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kurikulum 2013 (K’13) diterapkan di 6.221 sekolah sejak tahun ajaran 2013/2014. Pada tahun ajaran 2014/2015, kurikulum ini dilaksanakan (di sekolah di 295 kabupaten dan kota) se-Indonesia. Tiga bulan setelah K’13 dilaksanakan di seluruh Indonesia, Anies mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 159 Tahun 2014 tentang Evaluasi Kurikulum 2013. Pasal 2 ayat 2 dalam PerMen tersebut, evaluasi K’13 bertujuan menguji kembali kesesuaian antara ide dan desain kurikulum; antara desain dan dokumen kurikulum; antara dokumen dan implementasi kurikulum; serta antara ide, hasil, dan dampak kurikulum.[1]

Berikut rencana untuk sekolah dasar semasa Kemendikbud dipimpin M. Nuh, K’13 akan dijalankan di 2.598 sekolah, oleh 15.629 guru, dan 341.630 siswa. Untuk SMP, dijalankan di 1.521 sekolah, 27.403 guru, dan 342.712 siswa. Untuk SMA, dijalankan di 1.270 sekolah, 5.979 guru, dan 335.940 siswa. Dan untuk SMK, dijalankan di 1.021 sekolah, 7.102 guru, dan 514.783 siswa. Total keseluruhan pelaksana K’13 adalah 6.410 sekolah, 56.113 guru, dan 1.535.065 siswa. Daerah-daerah tersebut adalah, DI Aceh 132 sekolah, Bali 203 sekolah, Jawa Tengah 881 sekolah, Jawa Barat 887, Jawa Timur 1053, Sumatera Utara 263, Banten 225 sekolah, DI Ygyakarta 146 sekolah, dan Jakarta 250 sekolah.[2] Sementara, jumlah total sekolah se-Indonesia yaitu 208.000 sekolah (SD/SMP/SMA/SMK).[3]

Artinya, hanya 6.221 sekolah per 208.000 sekolah. 2,99% saja yang menerapkan K’13. Wajarkan sejak awal penerapannya, kemdikbud mengatakan hal itu merupakan tahap ujicoba? Namun demikian, mesti diapresiasi , karena penerapannya melebihi target awal (2.598 sekolah). Sekali lagi sejak awal kemdikbud menyatakan bahwa penerapan K’13 merupakan tahap ujicoba.[4,5,6] Tidak ada sangkut pautnya dengan keuntungan politis pihak tertentu. Kalau memang ada, emangnya siapa sih pihak itu? 

K’13 berjalan hampir 18 bulan yang dimulai sejak tahun ajaran 2013/2014. Kemudian, di akhir semester 1 tahun ajaran 2014/2015 ini telah diputuskan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dasar dan Menengah (Kemendikbuddasmen), Anies Baswedan,  agar K’13 ditangguhkan dengan sejumlah pengecualian.[1,7] K’13 tidak dihapuskan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tidaklah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menggantikan K’13 di sekolah se-Indonesia. Sebenarnya, sebagian sekolah menerapkan K’13 sedangkan sekolah yang lain KTSP, sembari terus mengevaluasinya. Adalah pandangan yang terburu-buru, jika mengatakan bahwa K’13 dihapuskan.

K’13 secara ‘dokumen’ tidaklah bertentangan dengan KTSP. Muncul statement bahwa KTSP dan K’13 merupakan sebuah dikotomi (pengelompokan atas dua golongan yang saling bertentangan). Padahal K’13 dipahami sebagai melengkapi KTSP. Sederhananya, K’13 memprioritaskan value religius dan disiapkan untuk menghadapi tantangan masa depan.  

Siswa diharapkan siap menghadapi: (1) WTO, ASEAN Community, APEC, dan CAFTA yang menuntut mampu berkomunikasi, (2) problematika lingkungan hidup yang menuntut pikiran jernih dan kritis, (3) kemajuan pesat teknologi informasi, dan di satu sisi konvergensi (keuniversalan) ilmu yang menuntut kemampuan moral sebagai driver, (4) ekonomi berbasis science menuntut kemampuan berwarganegara secara efektif, (5) pola industri kreatif dan budaya, yang menuntut kemampuan teguh dalam prinsip, kemampuan bereksperimen dan lapang dada dengan ke-ngotot-an gagasan orang lain, (6) pergeseran power ekonomi ke Asia—khususnya China, yang menuntut kemampuan betah hidup dalam globalisme, (7) efek teknosains, yang menuntut untuk memiliki minat yang besar mengenai tujuan hidup, (8) kualitas dan kuantitas modal serta power guru dalam sektor pendidikan, yang menuntut kecerdasan sesuai bakat dan minat, bahkan kemampuan banting stir meski tak sesuai dengan bakat dan minat.[8,4]

Sehingga tidak bisa dikatakan K’13 adalah kurikulum yang tidak berguna, meskipun banyak kisah seputar keberatan siswa, wali siswa dan guru[9,10] dalam implementasi K’13.

Untuk melihat duduk kontroversi K’13 baiknya dirangkum beberapa dikotomi yang terjadi dewasa ini berkaitan dengan K’13:

 

1. Tidak ada ranking  vs semangat berlomba

Ranking mampu memotivasi siapapun selama indikator penilaian juara sangat jelas dan ketat.

 

2. Jumlah jam belajar tinggi vs siswa kelelahan atau berat mau belajar

Bahwa kepada siapapun belajar bisa dilakukan. Maka di mana pun dapat dijadikan tempat belajar. Sebab, semua orang unik dari segi gen dan lingkungannya, setiap orang memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Menambah jam belajar sebenarnya tidak masalah, toh kita bisa belajar kepan pun. Sebab di mana pun kita bisa belajar kepada siapapun.

 

3. Guru dengan ilmu multi-displiner vs guru dengan ilmu uni-disipliner

Bahwa ilmu itu tidak netral. Kemudian, jika ilmu itu netral, maka orang akan sesukanya melakukan riset atas libido ‘metode ilmiah’ tanpa memperhatikan tanggung jawab moral. Misal, riset dalam tema sistem reproduksi manusia, kloning manusia, rekayasa genetika yang risetnya harus dibatasi oleh moral.  

 

Berkas kasus bisa ditarik kembali dari hakim oleh pelapor, hanya karena alasan kerelaan, menunjukkan kejahatan dimaafkan oleh kebaikan. Kemudian, karena (1) Proses di pengadilan adalah metode ilmiah, (2) Metode ilmiah tidak dipisahkan dari ilmu, (3) kasus yang dilaporkan dengan sengaja dan dengan sengaja pula direlakan untuk tidak diproses di pengadilan, maka ilmu tidaklah netral. Ilmu dikemudikan oleh moral. Guru, di abad ini, mesti memaksa diri (menjelang terbiasa) untuk menyenangi IPA dan IPS (multidisipliner) dan paham bahwa ilmu itu tidak netral.

 

4. Memfasilitasi siswa (student centre) vs guru kurang mendampingi

Berdasarkan observasi, sebagian siswa menyatakan bahwa motivasi belajar menurun dan tidak nyaman dengan belajar di sekolah. Penyebabnya, ketidakjelasan intruksi dan kurang pendampingan dari guru dalam penyelesaian PR siswa. Persepsi guru bahwa siswa aktif, sementara persepsi siswa kenyataannya tidak mengerti materi pelajaran.

 

5. Proyek ilmiah siswa vs minimnya motivasi, intruksi, dan keteladanan guru

Siswa akan bingung dengan proyek yang ditugaskan guru. Itu karena ketidakjelasan intruksi dan kurangnya motivasi siswa untuk belajar aktif. Ada kisah, seorang anak diminta ibu membeli bahan-bahan buat makanan sampai sejumlah belasan item. Ibu khawatir (1) si anak salah persepsi, (2) si anak bolak-balik tanya jika intruksi tidak jelas, (3) karenanya memboroskan energi si anak. Sehingga ibu, mencatatkan detail bahan yang akan dibeli, jumlahnya dan menyiapkan uang—yang dibutuhkan untuk menukar (membeli) bahan-bahan tersebut.  Mengambil himmah dari kisah itu, seharusnya guru berlaku sebagai pemberi intruksi yang jelas.

 

6. Konteks keindonesiaan (kearifan daerah) vs relatif minim praktik

Konteks keindonesiaan (kearifan kedaerahan) menuntut guru yang jurusan IPA untuk tidak meng-anak-tirikan materi IPS. IPS sama membangunnya dengan IPA. Sangat disayangkan atas persepsi bahwa pelajaran IPA lebih sulit ketimbang pelajaran IPS. Siswa IPS lebih bandel ketimbang siswa IPS. Muskil sekali meluruskan persepsi yang beginian. Kemudian, tidak kalah penting, bahwa induk ilmu, adalah religi. Bukankah (konon) moyang Indonesia beragama dengan menyembah pohon atau benda-benda, bukankah itu sisi religiusitas atau ketuhanan? Induk ilmu adalah konsep ketuhanan dan keteladanan.

 

7. Standar penilaian menyeluruh vs kurang pendampingan dari Kemendikbud

Guru, disuruh menilai secara menyeluruh, tapi relatif sedikit untuk mengevaluasi. Senada dengan itu, sudah akrab terdengar hipotesis, evaluasi sering dikecilkan makna dan implementasinya.

 

Kemudian—satu pemisalan—hal itu dibuktikan dengan seberapa seringkah guru mengingatkan siswanya untuk beribadah. Evaluasi sering dipahami sebagai perkara bertanya, dan evaluasi merupakan perkara tidak sulit, seandainya standar penilaian jelas dan terang, artinya tidak menimbulkan pertanyaan berulang-ulang.

 

Selanjutnya Bagaimana?

 

Sebenarnya masih banyak lagi dikotomi, seperti, tematik lebih cocok di sekolah dasar sebab didasarkan pada  perkembangan psikologi anak yang berumur 6-12 tahun dan lingkungan anak, tapi dalam implementasi, siswa menjadi kepayahan belajarnya. Malah kurang semangat. Singkatnya, mereka mempelajari pelajaran yang sulit dicerna oleh tingkat atau kelas perkembangan psikologi mereka.

 

Evaluasi yang menyeluruh melibatkan guru-guru yang kooperatif. Sebagaimana siswa dituntut kerjasama, guru pun dituntut bekerjasama. Pemahaman tentang kelemahan personal (diri) cenderung menganjurkan kerjasama dengan personal (orang) lain. Program mendidik mestinya terbiasakan dengan kerjasama setiap elemen, contoh, dalam menyiapkan infrastruktur yang memadai—seperti buku atau media belajar lainnya.

 

Teamwork  adalah nilai moral yang tidak hanya lahir di abad Renaisans, tapi sudah mendarahdaging dalam ‘perjalanan’ insan manusia. Ia adalah nilai historis dari kemajuan peradaban yang peka terhadap kesalahan kecil yang dibiar-biarkan atau dosa kecil yang dibiar-biarkan. Maka kemendikbud akan ditanya tentang komitmen kerja kerasnya sebelum menanyakan komitmen guru. Komitmen siswa ditanyakan setelah guru berkomitmen dengan etos kerjanya.

 

Mending guru berkeringat jauh-jauh hari, agar di masa depan anak bangsa meneladani kebaikannya. Apalagi mengingat prinsip di dunia militer, semakin banyak keringat berkucur di masa ‘latihan’ akan semakin sedikit darah yang berkucur di masa ‘perang.’  

 

Ketika sisi pengkritik kita mengambil andil kejiwaan kita, sebenarnya kita sedang fokus pada sisi motivator. Maka dengan menjadi kritis kita sedang punya motivasi besar. Kita harus memelihara motivasi kita agar tidak menyerah ditengah K’13 yang menimbulkan pro dan kontra.

 

Tetap semangat ya Pak Anies & Pak Jokowi! 

 

read more:

Nasihat untuk pemimpin:http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2014/10/31/uang-pks-hancur-bag-7-700052.html

 

Referensi:

[1]http://www.tempo.co/read/news/2014/12/05/079626628/Menteri-Anies-Baswedan-Stop-Kurikulum-2013

[2]http://news.detik.com/read/2014/12/05/213851/2769331/10/mendikbud-ada-6221-sekolah-yang-akan-menjadi-percontohan-kurikulum-2013?9922022

[3] http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/berita/1309

[4] http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/uji-publik-kurikulum-2013-1

[5]http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/uji-publik-kurikulum-2013-3

[6]http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/uji-publik-kurikulum-2013-2

[7]http://edukasi.kompas.com/read/2014/12/05/20513871/Besok.Surat.Edaran.untuk.Hentikan.Kurikulum.2013.Dikirim.ke.Semua.Sekolah

[8] http://www.hipwee.com/motivasi/realita-hidup-yang-tak-pernah-dibicarakan-orang-tentang-menjadi-25-tahun/

[9] http://sosbud.kompasiana.com/2014/08/25/pendapat-kurikulum-2013-682821.html

[10] http://edukasi.kompasiana.com/2014/12/05/kurikulum-2013-690380.html

Ikuti tulisan menarik Mahendra Ibn Muhammad Adam lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler