x

Seorang wanita memperlihatkan purwarupa Mota Smart Ring di pameran elektronik IFA di Berlin, Jerman, Jumat 5 September 2014. Cincin pintar ini didesain untuk memberitahukan penggunanya tentang telepon dan pesan yang masuk. AP/Markus Schreiber

Iklan

Mario Manalu

Anak kampung yang belajar menulis
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Belis, Sebuah Novel (Part 12)

Sebuah kisah dilematis tentang cinta dan nilai-nilai tradisi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lanjutan dari bagian 11

Cosmas mungkin tidak pernah menduga bahwa tindakannya akan menyulut api pertikaian antara keluarganya dengan keluarga Anna. Beberapa minggu setelah kepergiaannya pertikaian keluarganya dengan keluarga Anna semakin panas. Hampir semua pihak yang berwenang mulai ketua RT hingga camat telah turun tangan untuk mengusahakan perdamaian. Hasilnya nol. Kedua belah pihak berpegang pada pendirian masing-masing. Ayah Anna bersikeras bahwa pemutusan hubungan itu pantas dia lakukan karena Cosmas telah menghina mereka. Ayah Cosmas juga bersikeras bahwa tindakan Ayah Anna itu adalah pelecehan terhadap martabat keluarganya.

Tidak seorangpun tahu di mana Cosmas berada. Anna telah mencoba menghubungi semua teman-temannya dan juga menghubungi Butet menanyakan keberadaan Cosmas. Semua mengaku tidak tahu.

Berperkara di pengadilan tidak terhindarkan lagi. Ayah Cosmas telah mengajukan gugatan secara resmi melalui kuasa hukumnya. Ayah Anna juga telah menyewa seorang pengacara untuk menangkis gugatan Ayah Anna dan membuat tuntutan rekonpensi (tuntutan balik) dengan delik penghinaan, menuntut ganti rugi immaterial (rasa terhina) yang setara dengan 500 juta rupiah.

Ketua Majelis Hakim terlebih dahulu membujuk mereka untuk berdamai, namun ditolak kedua belah pihak secara mentah-mentah.

Keluarga Cosmas mendaftarkan 6 orang saksi yakni ketiga delegasi yang mereka utus ke rumah Anna ketika merundingkan belis. Tiga orang lagi adalah delegasi terakhir yang mereka utus ke rumah Anna.

Pihak keluarga Anna sebagai tergugat dalam pokok perkara dan sebagai penggugat dalam rekonpensi juga mengajukan 6 orang saksi termasuk Anna sendiri. Tapi Anna berulang kali menolak dijadikan saksi. Baginya keluarga Cosmas tetap menjadi bagian dari dirinya.

 

***

Matahari mulai menampakkan diri. Sedikit demi sedikit kabut beranjak memberi jalan pada sinar matahari untuk menerangi bumi. Ayam berkokok sahut menyahut menyambut hari yang baru.

           Ibu Anna membuka pintu dan jendela dapur. Membiarkan sinar matahari masuk membawa kehangatan. Dia mengambil sebongkah batu mengganjal pintu dapur agar tidak tertutup kembali karena dorongan angin. Dia menghidupkan api untuk memanaskan air. Kemudian dia keluar membawa sebuah kantong yang terbuat dari anyaman daun kelapa. Dia membuka pintu kandang ayam. Merogoh kantung dan melemparkan jagung ke kerumanan ayam yang segera berebutan tak sabar.

           Saat dia kembali ke dapur dia mendapati Anna duduk di kursi tua dengan wajah mengantuk. Di lehernya tergantung handuk berwarna merah. Kemudian ayahnya muncul.

           “Belum masak air?” tanya ayahnya

           “Belum, sebentar lagi”

           Ayahnya mengambil api dari tungku. Menghidupkan rokok. Asapnya dia embuskan lurus, berbaur dengan asap api dari tungku. Dia berbalik setelah rokoknya menyala dengan sempurna.

           “An, kau sudah pikirkan permintaanku tadi malam?”

           Anna menguap. Tidak menjawab pertanyaan ayahnya. Dia memiringkan kepalanya dan diletakkan di atas meja. Dia bermalas-malasan. Ayahnya berdiri di mulut pintu dapur. Mengepulkan asap rokoknya ke atas.

           “Hari ini sidang pemeriksaan saksi akan dimulai. Kau adalah saksi kunci. Tanpa kesaksianmu, sulit bagi kita untuk memenangkan perkara ini” katanya sambil membelakangi putri dan istrinya. Sepanjang malam dia berpikir bagaimana cara meluluhkan hati putrinya.

           Pagi masih belia. Bahkan matahari belum bersinar dengan sempurna. Tapi pikiran Anna sudah berkecamuk mendengar kata-kata ayahnya. Dia duduk tegak. Menatap ibunya. Mengharapkan pertolongan. Tapi ibunya diam saja, tak berani membuka mulut. Dia hanya memberi tatapan penuh pengertian.

           “Kenapa sih Bapak mendesak saya terus? Sudah berapa kali saya bilang, saya tidak mau bersaksi” Anna memberanikan diri menentang ayahnya. Air matanya menetes satu per satu. Ibunya buru-buru datang ke hadapannya, memeluk dan menghapus air matanya. Anna menagis sesunggukan. Ayahnya berjalan keluar meninggalkan mereka berdua.

           “Berhentilah menangis. Pergi mandi agar pikiranmu segar” bujuk ibunya.

           Anna berjalan ke kamar mandi. Membuka baju sebelum mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Ibunya menuangkan air panas dari ceret besi ke gelas berisi kopi dan gula.

           Ayah Anna berjalan-jalan di pekarangan rumah. Kaki celananya basah saat bersentuhan dengan daun-daun tumbuhan yang basah oleh embun. Matanya merah, kurang tidur. Tadi malam dia hanya bisa memejamkan mata sebentar, tidak lebih 1 jam. Sepanjang malam dia cemas jika putrinya tetap ngotot tidak mau memberi kesaksian. Dia tidak bisa membayangkan jika akhirnya nanti mereka kalah di pengadilan. Sungguh sebuah kemaluan besar bagi keluarganya.

           Anna masuk ke dalam kamar. Bersiap berangkat ke sekolah. Dia mengumpulkan kertas-kertas hasil ujian harian anak-anak yang berserakan di bawah dan di atas mejanya. Sejak kepergian Cosmas, semangatnya untuk memeriksa kertas ujian anak-anak menurun drastis. Berulang kali dia memaksakan diri. Berulang kali juga dia gagal.

           Dalam keadaan sadarnya, saat rasionalitasnya berada pada titik terbaik, dia berusaha berkata dan meyakinkan diri bahwa segalanya akan berjalan dengan baik. Tanpa Cosmas. Tanpamu semua tetap berjalan seperti biasa, katanya berulang kali di dalam hati sambil menatap tajam pada foto Cosmas. Namun, selalu saja dia merasa ada yang hilang dari hidupnya. Terlalu banyak hal, momen dan kondisi yang menghadirkan bayang-bayang Cosmas dalam hatinya.

           Dia pandangi untuk kesekian kalinya foto yang lengket di dinding kamarnya. Tidak ada perubahan. Masih seperti dulu. Dia pandangi dirinya dalam kaca. Tidak juga menemukan perubahan. Dia masih seperti yang dulu. Lalu, kenapa kau berubah begitu cepat, begitu tiba-tiba, gugatnya sambil menatap tajam tepat di mata Cosmas dalam foto itu. Apa sebenarnya yang ada dalam pikiranmu?.

           Anna sudah letih  dan jenuh meratapi kepergiannya. Sekarang yang muncul justru pertanyaan-pertanyaan gugatan. Pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan sendiri untuk mengerti sungguh-sungguh alasan kepergian kekasihnya itu. Dia teringat dengan kata-kata Cosmas dalam sms: karna kalian tidak mengerti apa yang seharusnya sudah kalian mengerti. Sedikit demi sedikit dia mengumpulkan kata-kata yang pernah keluar dari mulut Cosmas tentang adat dan tradisi.

***

 

           Ayah Cosmas berkeliling kampung. Menggendarai sepeda motor yang ditinggalkan Cosmas. Dia kunjungi satu per satu saksi. Memastikan bahwa mereka akan datang ke persidangan dan memberi kesaksian seperti yang telah diterangkan pengacaranya. Semua memberi jawaban positif. Hatinya lega. Kemudian dia meneruskan kunjungannya ke rumah Markus da Silva, pengacaranya. Dia sengaja datang pagi-pagi sebelum sang pengacara berangkat ke kantor.

           Rumah Markus terletak di simpang tiga. Bercat kuning mengkilat. Rumah itu lain dari rumah-rumah di sekitarnya. Bentuknya mirip kapal Veri besar. Panjang dan bertingkat. Di depannya beragam bunga tumbuh dalam pot-pot yang mahal. Hanya melihat rumah itu saja orang akan segera tahu bahwa pemiliknya bukan orang sembarangan. Orang yang ditakuti dan punya kekuasaan. Rumah di samping dan di belakangnya tampak seperti pondok-pondok kecil di ladang.

           Markus mengisap pipa tembakau sambil mengobrol dengan ayah Cosmas. Tubuhnya gempal dengan janggut lebat. Sosoknya memancarkan aura wibawa dan rasa percaya diri yang tinggi. Ayah Cosmas memangut-mangut mendengar nasehat dan masukan-masukannya. Seakan seluruh nasibnya berada di tangan sang pengacara itu. Kata-kata yang keluar dari mulut Markus singkat dan tegas. Memberi kesan setiap kosa kata yang dia lontarkan sungguh bermakna. Ayah Cosmas hanya memangut-mangut. Kemudian dia mengeluarkan beberapa lembar uang 50 ribuan memasukkannya ke saku Markus sebagai uang rokok dan uang bensin di luar honor resminya.     

****

Anna mengisi gelasnya dengan teh manis yang disediakan di kantor guru. Kerongkongannya terasa kering setelah berkoak-koak di kelas. Dia teguk teh manis hangat itu hingga gelasnya kosong. Dia isi sekali lagi dan disisakan setengah.

           Seekor burung gereja hinggap di jendela. Sorot matanya penuh selidik. Ragu-ragu hendak masuk ke dalam kantor. Anna tidak mempedulikannya. Dia berjalan ke kursi dekat ruang kepala sekolah. Burung itu terbang ke meja tempat snack. Anna mengambil selembar kertas. Dia remas membentuk bola kertas untuk mengusir burung pemberani itu.

           Anna duduk bersandar ke dinding. Dia teringat bahwa pada jam itu sidang perkara keluarganya dan keluarga Cosmas sedang dimulai di pengadilan yang hanya berjarak 1 Km dari tempatnya mengajar. Dia punya waktu menghadiri sidang itu. Tapi dia tidak tertarik sedikitpun. Bahkan dia mulai jengkel karena keluarganya dan juga keluarga Cosmas sepertinya hanya mempedulikan perkara itu. Mereka tidak pernah mempedulikan dirinya.

           Cosmas, di mana gerangan kau sekarang, tanyanya dalam hati. Andai kau ada di sini, tidak akan ada perkara ini. Dia mulai berandai-andai. Andai kau tidak pergi tentu saya sekarang sudah menjadi seorang istri. Menjadi seorang ibu rumah tangga. Andai kau tidak pergi, sebentar lagi saya sudah berdiri di jalan sana menunggu jemputanmu.

           Guru-guru yang lain mulai berdatangan ke kantor. Mereka mengobrol sambil minum teh dan makan snack. Seorang guru tua berkali-kali mengeluhkan perbuatan seorang murid di kelasnya.

           “Coba kau bayangkan, dia membawa tikus ke kelas. Dia lepaskan tikus itu saat pelajaran sedang berlangsung”

           Guru tua itu bercerita kepada Anna. Mimiknya mengekspresikan kegeraman. Kaca matanya melorot ke bawah.

           “Murid-murid perempuan pada terkejut semua. Saya tidak habis mengerti mengapa anak seperti itu bisa diterima di sekolah ini”

           Guru tua itu geleng-geleng kepala. Anna menirunya menggeleng-gelengkan kepala seakan dia juga ikut heran dan tak mengerti atas kebandalan anak itu. Kaca mata guru tua itu semakin melorot ke bawah. Dia membetulkannya dan mengulangi ceritanya pada guru yang baru datang. Untuk sementara Anna berhenti berandai-andai tentang Cosmas. Mereka semua sibuk membahas kenakalan anak itu dan mulai merundingkan hukuman yang setimpal untuknya. Kepala sekolah keluar dari ruangannya bergabung dengan para bawahannya karena mendengar pembahasan yang seru itu.

           Bel tanda jam pulang akhirnya terdengar ke seluruh penghuni sekolah. Beberapa menit kemudian suara ribut terdengar. Murid-murid keluar dari kelas. Sebagian berjalan santai sambil mengobrol. Sebagian berjalan terburu-buru karena lapar. Puluhan angkot berjejer di dekat gerbang sekolah. Para tukang ojek menunggu di pinggir jalan. Anna memberi isyarat kepada salah seorang tukang ojek untuk datang mendekat dan mengantarkannya pulang.

          

           Anna menemukan rumahnya terkunci. Dari luar dia bisa merasakan kesunyian di dalam rumah. Tak ada suara ibu atau ayahnya. Dia mengambil kunci dari dalam tas. Membuka pintu. Kesunyian mencekam. Hanya suara pintu berderak yang terdengar. Dia melangkah masuk.

           Dia melihat beberapa gelas berisi sisa kopi di atas meja di depan TV. Secarik kertas bekas coretan ayahnya terletak di samping gelas-gelas itu. Semua itu menegaskan betapa sibuk orang tuanya mengurus perkara. Mereka pasti mengadakan rapat terlebih dahulu di rumah sebelum berangkat ke pengadilan. Semua orang hanya peduli pada perkara itu. Dia semakin jengkel dan muak memikirkan kenyataan itu.

           Anna masuk ke kamar. Nafsu makan siangnya telah hilang. Dia mengganti seragam mengajarnya dan langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Tubuhnya merasa letih. Dia memeluk bantal guling. Kesunyiaan rumahnya makin terasa.

           Rasa empuk kasur tempat tidur dan kenikmatan membaringkan diri hanya berlangsung sebentar. Matanya tak kunjung terpejam. Dia berusaha memejamkannya. Berusaha membawa semua resah dan kekecewaannya ke alam mimpi. Tapi yang dia dapati hanya kesunyian dan dirinya tidak kunjung tertidur.

           Dia tergoda untuk berandai-andai lagi. Godaan itu begitu sulit dia tepis. Ah, Cosmas, andai kau tidak pergi, kesunyiaan ini tidak menderaku sekarang. Andai kau tidak pergi tentu saya merasa lapar dan kita makan siang bersama sekarang. Tentu kita sedang mengobrol sekarang tentang hari esok, tentang mimpi-mimpi hari tua kita yang masih lama akan tiba tapi menarik untuk dibahas.

           Anna akhirnya tertidur setelah capek berandai-andai. Dia berbaring dengan posisi miring. Kedua tangannya memeluk bantal guling. Sesekali mulutnya komat-kamit tanpa mengeluarkan suara. Di bawah jendela kamarnya seekor ayam jantan berkokok dengan angkuh. Ayam itu melompat dari tanah, hinggap di daun jendela. Tubuhnya berayun-ayun seirama dengan daun jendela yang bergerak-gerak dan segera kehilangan keseimbangan.

          

           “An…Annn…An, kau sudah makan?”

           Samar-samar Anna mendengar suara ibunya. Tangan ibunya menepuk-nepuk punggungnya. Dia berada di antara setengah sadar dan bermimpi. Suara ibunya semakin keras dan tepukkannya juga semakin terasa. Anna membalikkan tubuhnya. Membuka mata. Ibunya berjongkok di hadapannya. Dari ruang tamu terdengar suara ayahnya bersama beberapa laki-laki. Membahas hasil persidangan yang baru selesai. Anna menggeliat di atas tempat tidurnya.

           “Sudah lama kau tidur?” tanya ibunya lagi. Anna menggeleng sambil terus memeluk bantal.

           “Kau sudah makan?”

           “Sudah”

           “Kalau begitu, tidurlah”

           Ibunya menutup pintu kamar dan berjalan ke dapur menyiapkan makan siang untuk para tamu mereka. Anna mulai merasa lapar. Dia membohongi ibunya karena malas keluar. Dia tidak ingin bertemu orang-orang yang sedang membahas perkara itu. Perkara yang disebabkan oleh Cosmas dan dirinya.

           Perutnya mulai berkeroncong dan matanya susah terpejam lagi. Dia berdoa dalam hati agar orang-orang yang berkumpul di rumahnya segera bubar. Dia sama sekali tidak tertarik mendengar atau mengikuti diskusi mereka. Sesekali mereka menyebutkan salah satu pasal dalam undang-undang. Anna mendengarnya dengan samar-samar. Ah, orang-orang ini sok ahli hukum saja, ejeknya dalam hati. Dia makin jengkel karena diskusi mereka sangat panjang dan bertele-tele seakan hendak merencanakan pencalonan seorang Presiden.

           Rasa jengkel Anna semakin menjadi-jadi karena cacing-cacing di perutnya makin dasyat memberontak. Dia memilih bertahan. Dia memilih menahan lapar daripada ikut terlibat dalam diskusi itu. Dia tidak mau tau sama sekali persoalan di pengadilan itu.

           Untuk mengalihkan perhatian, Anna tergoda lagi menghadirkan sosok ilusi pujaannya. Cosmas, apa yang kau lakukan sekarang?. Dia bertanya seakan-akan Cosmas benar-benar hadir di hadapannya. Apa kau merindukanku juga? Cosmas, kenapa kau hanya diam saja.

           Dia mencoba memejamkan mata  hingga sosok pujaannya itu hilang  tapi dia malah kembali berandai-andai. Andai kau tidak pergi, tentu saya tidak kelaparan sekarang. Andai kau tidak pergi orang-orang itu tidak berkumpul di sini.

           Tapi ini bukan salahmu. Anna terkejut mendengar dirinya berkata seperti itu. Dia tidak tahu darimana suara  itu datang. Yah, ini bukan salahmu. Dia mengulangi kata-kata itu untuk meyakinkan dirinya bahwa suara itu adalah suara hatinya sendiri. Tidak ada sedikitpun rasa sakit atau perih di hatinya ketika mengeluarkan kata-kata itu.

           Keseriusan keluarganya dan keluarga Cosmas untuk berperkara, tanpa niat berdamai, membawa Anna pada perspektif baru. Semua kata-kata manis yang didengarnya dulu dari para pengetua tentang kekeluargaan mulai kehilangan makna. Tak seorangpun berusaha mencari Cosmas, tak seorangpun peduli dengan perasaannya. Semua sibuk berperkara.

           Pelan-pelan pikirannya mulai terbuka untuk memahami alasan kepergian Cosmas. Satu per satu ucapan-ucapan Cosmas tentang adat dan tentang masyarakat di kampung  mereka dia kumpulkan dan dia renungkan. Penyesalan akhirnya timbul. Penyesalan karena niat itu datang begitu terlambat. Andai dulu dia mau mendengarkan unek-unek Cosmas dan mau menjadi temannya berdiskusi, bertukar pikiran dengannya mungkin cerita ini akan berbeda. Mungkin Cosmas akan membawanya pergi. Mungkin, dan beribu kemungkinan lain bisa terjadi.

          

Sekelompok awan berarak ke arah selatan melewati puncak gunung di tepi laut. Berjejer seperti bukit-bukit bergerak. Seekor elang melesat seperti anak panah, menembus arak-arakan awan itu. Anna menonton dari jendela kamarnya. Langit sepertinya gusar. Matahari bersembunyi entah di mana. Tiba-tiba semua itu tidak menarik baginya. Dia menutup jendela.

           Anna keluar dari kamarnya. Perutnya benar-benar kosong. Dia berjalan ke dapur. Membuka tudung saji di atas meja. Hanya ada sepotong ikan di atas meja. Nasi tinggal segenggam lagi. Dia mengambil piring dan makan dengan lahap. Dia tidak tahu kemana ibu dan ayahnya pergi. Rumahnya terasa sunyi lagi.

           Di luar tokek-tokek mulai berteriak-teriak pertanda hari sebentar lagi akan berakhir. Suara ayam mengepak-epakkan sayap terdengar dari belakang rumah. Suara-suara itu menggaungkan kepuasan dan syukur atas kesempatan mengais kehidupan sepanjang hari.

          

           Malam datang lagi atas inisiatifnya sendiri. Tidak ada yang mengundang. Tak ada jua yang menolak. Semua berlangsung begitu saja seperti angin berembus sesuka hatinya dan pohon-pohon berdiri bisu dalam sikap masa bodoh. Orang tua Anna telah kembali ke rumah. Tanpa senyum, tanpa canda seperti dulu dan Anna mulai terbiasa dengan sikap kaku itu.

           Ayahnya tetap sibuk memikirkan perkara. Ibunya tetap pendengar dan pendamping setia. Mereka sedang berdiskusi dengan pengacara di ruang tengah membahas hasil sidang tadi siang. Anna kembali ke kamar, ke dunia kecilnya. Dia duduk di kursi kayu mempersiapkan bahan pelajaran. Sesekali angin mengetuk-etuk jendela kamar seakan berusaha mengusik ketenangannya. Dia memaksa pikirannya berkonsentrasi namun lembar-lembar buku di tangannya berlalu tanpa perhatian.

           Dia gagal dan gagal lagi mengusir bayangan itu. Dia berdiri diikuti bayangan itu dan tangannya mengambil buku tulis dan pulpen, tetap diikuti bayangan itu. Intensitas kehadiran bayangan Cosmas membangun suasana takjim, alih-alih mengaharu biru perasaannya. Seperti penyair terpana dan larut dalam intesitas penghayatan akan topik atau sosok yang ditulisnya. Jari-jarinya mulai menggerak-gerakkan pulpen di atas lembar-lembar putih nan kosong:

 

BATAS KEBERSAMAAN

Batas kebersamaan antara kamu dan aku ‘adalah tradisi’

Cinta ini dibangun diam-diam dalam waktu yang senyap

Seperti akar ketapang menyusup di perut bumi

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Akankah kelak kau tiba meretas batas di antara kita?

            Mungkin saja tradisi telah gagal membangun simfoninya

            Tapi tidak dengan pikiranmu

            Karna pikiranmu ditempa keras oleh palu kehidupan

            Sementara aku terus menerus memukul mimpi-mimpi

Batas kebersamaan kita ditegaskan oleh baris-baris pemikiranmu

Di mana banyak kalimat mengandung kritikan

Di mana tiap kata adalah perjuangan

‘Kan menunggumu sampai tradisi tinggal kenangan

Dan jika waktu membatu

Dan kamu, aku rindu..........

 

Pintu kamar Anna berderak. Ketika dia berpaling ibunya sudah masuk beberapa langkah ke dalam kamarnya.

           “An, Bapakmu mau bicara sebentar”

           Anna bangkit mengikuti Ibunya ke ruang tengah. Dia menurut tanpa kata-kata seperti seekor domba mengikuti gembala ke padang rumput. Pengacara itu sudah pulang.  2 Gelas kosong berisi ampas kopi berdiri di atas meja kecil di hadapan ayahnya. Tak terhitung lagi berapa gelas kopi yang telah disuguhkan ibunya kepada para tamu mereka sejak Cosmas melemparkan api pertikaian itu.

           “An, tadi pengacara kita mengatakan bahwa kesaksianmu merupakan kunci kemenangan kita”.

           Ayahnya menghela nafas. Nafas yang berat. Anna belum membuka mulut. Tidak jelas apakah dia menyimak kata-kata ayahnya atau tidak. Tapi dari mimiknya terbaca sikap tak peduli masih belum hilang dari dirinya.

           “Mungkin kau butuh waktu mempersiapkan mental untuk bersaksi di Pengadilan. Pengacara kita akan mengatur agar kau menjadi saksi terakhir yang diperiksa hakim nanti di pengadilan. Jadi masih banyak waktu bagimu untuk mempersiapkan diri”

           Seumur hidupnya, Anna belum pernah masuk ke ruang pengadilan manapun. Tapi dia bisa membayangkan gambaran pengadilan seperti yang pernah ditontonnya di TV. Hakim dalam gambarannya adalah sosok manusia setengah dewa yang berhak menentukan perjalanan hidup manusia. Praktik-praktik kotor para hakim yang sering disorot media membuat bulu kuduknya merinding.

           “Akan saya pikirkan”

           Hanya itu kata yang keluar dari mulut Anna. Suaranya datar tanpa tekanan. Kata-kata itu keluar dari mulutnya semata-mata karena dia tidak ingin berdebat. Dia ingin cepat-cepat kembali ke kamar meneruskan baris-baris puisinya. Tapi gambaran pengadilan yang seram segera terlukis di kelopak matanya. Para hakim mengenakan toga, duduk berjejer mengadili manusia lemah tak berdaya. Toga warna hitam dengan kerah merah itu menegaskan kekuasaan tak terbatas seperti kuasa malaikat pencabut nyawa yang sering dilukis para seniman mengenakan baju hitam dengan sabit di tangan. Sekali lagi bulu kuduk Anna merinding karna gambar ilusi itu.

           Dari kejauhanmmmmm  suara anjing berkelahi dan terkaing-kaing dibawa angin masuk ke dalam rumah. Anna menajamkan pendengarannya sebagai cara mengusir gambar seram itu. Suara itu berlalu terlalu cepat dan membuatnya kecewa.

“Tidak usah kau terlalu cemas, pengacara kita akan menyiapkan jawaban-jawaban yang akan kau berikan nanti” kata ayahnya sebelum dia berpaling.

           Gambar itu belum sepenuhnya hilang saat Anna kembali lagi ke kamar. Suasana hatinya telah berubah. Mood untuk menulis telah hilang. Tapi dia paksakan jari-jarinya mencengkram pulpen di atas kertas hendak menyelesaikan puisinya.

            Jari-jarinya tak bergerak. Dia menutup mata dan diam mematung cukup lama. Berharap suasana hati dan pikiran seperti tadi datang lagi. Tapi yang hadir adalah kekosongan. Jari-jarinya tidak mampu sama sekali menuliskan sepatah katapun yang tepat untuk meneruskan baris-baris puisinya. Imaji kreatif tak selalu datang setiap saat. Untuk pertama kalinya dia menyadari hal itu. Dia membiarkan baris-baris puisinya terbuka dan tidak selesai.

           Sementara angin menggedor jendela kamarnya, dia membaca dengan lamat-lamat dan khusyuk tiap penggal kalimat puisi yang baru dia tulis. Kalimat per kalimat. Dia berusaha menghayatinya. Tiba-tiba dia heran dan bertanya dari mana dia mendapat inspirasi untuk menuliskan kata-kata itu.

Lanjut ke bagian 13

Ikuti tulisan menarik Mario Manalu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler