x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Madame Curie Complex: Mengapa Ilmuwan Perempuan Dipinggirkan?

Banyak ilmuwan perempuan memberi kontribusi berharga bagi kemajuan ilmu pengetahuan, namun peran mereka kerap dilupakan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"In science, we must be interested in things, not in persons."
--Marie Curie (Ilmuwan, 1867-1934)

 

Tatkala Maryam Mirzakhani, guru besar Stanford University keturunan Iran, meraih penghargaan Fields Medal 2014, sambutan publik begitu semarak. Terutama, karena ia merupakan perempuan pertama di antara 55 orang penerima Fields Medal yang diberikan sejak 1936—sebuah penantian hampir 80 tahun. Kalangan akademisi sendiri membandingkan capaian ini dengan raihan Marie Curie tatkala menerima penghargaan Nobel untuk fisika dan kimia. Sebagian lainnya beranggapan bahwa penghargaan untuk Mirzakhani mematahkan mitos bahwa perempuan dan matematika tidak bisa berpadu.

Di dunia Nobel, penghargaan juga didominasi oleh pria. Hingga 2014, sebanyak 803 orang pria sudah merain penghargaan ini dibandingkan dengan 44 perempuan atau kira-kira hanya 5,45%-nya. Dari jumlah ini, 15 orang meraih Nobel Perdamaian, 13 orang dalam bidang sastra, 10 orang dalam kedokteran, 4 untuk kimia, dua dalam fisika, dan satu meraih apa yang disebut Nobel Memorial Prize in Economic Sciences.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Situasi ini menimbulkan pertanyaan: “Mengapa bidang-bidang sains dan teknologi masih dianggap merupakan profesi kaum pria?” Penjelasan yang umum disampaikan ialah terbatasnya akses kaum perempuan untuk mengikuti pelatihan profesional, tidak dilibatkan dalam jaringan sosial ilmuwan pria, serta kekurangan sumberdaya.

Julie des Jardins, pengajar sejarah Amerika di Baruch College, Columbia University, New York, dan mantan pengajar di Harvard University, berusaha mencari jawaban yang melampaui penjelasan umum itu. Dalam karyanya, The Madame Curie Complex: The Hidden History of Women in Science (penerbit The Feminist Press, 2013), Julie memberi konteks historis dan penjelasan yang tidak terduga perihal kontribusi kaum perempuan terhadap sains.

Julie ingin menjawab pertanyaan seperti: Bisakah perempuan menjadi ‘wanita’ sekaligus ‘ilmiah’? Bagaimana ilmuwan pria dan perempuan berkolaborasi di laboratorium? Apakah ilmuwan perempuan mengerjakan ‘sains’ secara berbeda dari ilmuwan pria?

Madame Curie complex, istilah yang dipakai Julie dalam judul buku ini, didefinisikan sebagai kompleks rendah diri seperti yang diamati oleh Margaret Rossiter, guru besar sejarah sains di Cornell University,AS, pada kaum perempuan menyusul kunjungan Marie Curie ke AS pada 1920an. Kaum perempuan merasa tidak mampu mencapai tataran setara Curie sebagaimana digambarkan media Amerika, jurnalis, maupun praktisi perfilman waktu itu.

Istilah ‘complex’ yang disematkan Julie kepada Marie Curie berkaitan dengan dua sisi citra Curie di mata publik: “di satu sisi, sebagai ‘martir yang menggunakan sains untuk mencapai tujuan’ (Curie terpapar sinar radioaktif selama bertahun-tahun) dan di sisi lain sebagai superhero yang ‘terlalu cerdas, terlalu berdedikasi, terlampau fokus, dan terlalu berbakat untuk ditiru oleh perempuan pada umumnya.”

Dalam kajiannya, Julie mempelajari kehidupan dan karier sejumlah ilmuwan perempuan, seperti Jane Goodall (ahli primata dari Inggris), Rosalind Franklin, Rosalyn Yalow (peraih Nobel Kedokteran 1977), Barbara McClintock (ahli sitogenetika), Rachel Carson (ahli biologi kelautan dan penulis buku mashur Silent Spring), serta ilmuwan perempuan yang terlibat dalam Proyek Manhattan untuk mempersiapkan senjata nuklir.

Julie mempelajari bagaimana relasi personal maupun profesional mereka dengan sejawat prianya, seperti Albert Einstein, Robert Oppenheimer, maupun Enrico Fermi. Julie ingin menunjukkan bagaimana budaya sains yang ‘diwarnai isu gender’ berpengaruh terhadap metode, struktur, serta pengalaman berkarya mereka.

Dengan anekdot-anekdot serta detail yang gamblang, The Madame Curie Complex menyingkapkan bagaimana ilmuwan perempuan seringkali mengajukan pertanyaan yang berbeda, memakai metode yang berbeda, dan menyodorkan penjelasan yang berbeda untuk fenomena alam.

Rosalind Franklin anggota penting dari tim yang menemukan struktur DNA bersama Francis Crick, James Watson, dan Maurice Wilkins, namun nama Rosalind jarang disebut. Nasib serupa dialami oleh Wilhelmina Fleming, astronom di Harvard Observatory, yang bekerja sebagai sekretaris pada siang hari dan melakukan riset pada malam hari. “Pada 1903, setelah jam kerja sebagai sekretaris, ia mulai melakukan pengukuran cahaya dan pengklasifikasian lebih dari 3.500 bintang,” tulis Julie. Sebagai peneliti, gajinya 1.500 dolar AS, sedangkan asisten peneliti pria menerima 2.500 dolar AS.

Ilmuwan perempuan seperti Rosalind dan Wilhelmina mengalami diskriminasi dan marjinalisasi, bukan saja kontribusi ilmiah mereka tetapi juga cara kerja mereka. Mereka menjumpai kesukaran yang tidak perlu. Mereka bekerja di lingkungan sains dengan kultur maskulin. Ilmuwan perempuan bagaikan ‘kontributor tak kasat mata’ (invisible contributor) yang sumbangannya sangat penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

Meskipun Julie memasukkan kisah ilmuwan di sain-sains yang ‘lebih lunak’ seperti kedokteran dan antropologi, bukunya terutama fokus pada fisikawan dan insinyur. Dengan menyusuri jejak pemahaman masyarakat terhadap sains pada abad ke-20, Julie mencatat meningkatnya penerimaan terhadap subyektivitas sains, kebutuhan untuk menghubungkan sains dengan pengalaman manusia, serta konsekuensi politik, lingkungan, dan etis dari penemuan ilmiah.

Dengan meyakinkan, Julie berargumentasi bahwa kontribusi ilmuwan perempuan terhadap sains dalam perubahan sosial ini demikian sentral. Penghargaan Fields Medal yang diterima Mirzakhani beberapa bula n lalu membuktikan kebenaran Julie, kendati pengakuan akan hal itu sulit didapat. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler