x

Seorang veteran melintas di dekat Monumen Korban 40.000 jiwa usai upacara mengenang pembantaian 40.000 jiwa ke-68 di Makassar, 11 Desember 2014. ANTARA/Dewi Fajriani

Iklan

margaretha diana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Merdeka Seperti Apa?

tentang gerakan kemerdekaan di beberapa daerah, yang sepertinya pemerintah abai akan mereka

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"...dan oleh sebab itu, bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa,,,"

Mungkin banyak yang masih ingat penggalan kalimat diatas dari teks Pembukaan UUD 1945. Bagi para pelajar, rasanya tidak mungkin jika sampai tidak hafal isi teks tersebut, mengingat hampir setiap minggu mereka mendengarkan teks tersebut dibacakan di kegiatan upacara bendera di hari Senin pagi.

Tapi bagi masyarakat awam yang sudah memasuki dunia kerja dan sudah bermasyarakat,mungkin hanya sebagian saja yang masih mengingat kalimat tersebut. Kalimat singkat yang sarat makna.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kemudian saya jadi berfikir, mungkin kalimat ini pula yang menjadi landasan beberapa orang yang bergabung di beberapa gerakan tentang kemerdekaan  di daerahnya masing-masing. Beberapa kali saya melihat postingan para sahabat di media sosial tentang gerakan kemerdekaan di daerahnya, dg tujuan melepaskan diri dari negara Indonesia, membentuk sebuah negara baru yang berdaulat atas wilayahnya sendiri.Sebenarnya saya abai pada awalnya, saya pikir itu hanya unek-unek sementara karena kesal dg kebijakan pemerintah yg (mungkin) tak kunjung membaik untuk daerahnya

Saya jadi ingat gagasan San Min Chui, yaitu Min Tzu (nasionalisme), Min Chuan (demokrasi), dan Min Sheng (sosialisme) atau juga yg dikenal dg sebutan The Three People's Principles. Gagasan inilah yg pada akhirnya dibawa oleh Soekarno ke hadapan BPUPKI, sbagai pertimbangan memilih bentuk negara. Yang pada akhirnya, sesuai kesepakatan, mengambil bentuk republik

Republik, berasal dari kata res dan publika, yg bermakna harfiah, suatu urusan atau kewenangan rakyat. Sebab, menurut para pendiri negeri, salah satu syarat terbentuknya suatu bangsa adalah "le desir d'etre ensemble", atau kehendak untuk bersatu dg sbuah landasan hukum yg kuat menjadi sebuah kesatuan. Dan pada akhirnya dipilih bentuk republik karna mereka smua menginginkan kesetaraan dan kesempatan yg sama bagi smua suku bangsa yg ada di Indonesia untuk bergantian memimpin negeri. Hal yang tidak bisa didapatkan dalam system pemerintahan monarki

Dan, hal tersebut membuat saya bertanya-tanya, apakah mereka2 ini, yg sibuk "berjuang" untuk lepas dari NKRI, sudah sedetail apa mereka memikirkan negara bentukan mereka kelak?

Apakah mereka juga mengalami perdebatan seperti yang terjadi dalam badan panitia kecil tentang konsep Trias Politica? Apakah mereka memikirkan apa bedanya grondwet dan wet? Impact dan fungsi grondrechten dalam sebuah cangkupan rechtsstaat dan machtstaat?

Ah entahlah, toh seringkali yg menjadi "otak" para "pejuang" ini justru tidak tinggal di Indonesia to, dan apa iya mereka (maaf) tulus ikhlas membantu "rakyatnya" atau kelak datang sbagai tuan baru bagi daerahnya? Sebagai developer baru, jika boleh saya memakai istilah Belanda hitam bagi daerahnya?

Kemudian teringat akan Scotlandia yg begitu maju dan mumpuni, pun, enggan lepas dari Britania Raya. Padahal, apa susahnya jika mereka sampai lepas dan membentuk negara baru? 70% kekayaan alam yang menjadi asset negara Inggris berasal dari tanah mereka. Infrastruktur mereka memadai, SDM mereka jelas mumpuni. Mereka hanya perlu mempunyai sebuah mata uang baru dan system perbankan yang terpisah dari Inggris. Karena untuk system pemerintahan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum, jelas Eropa adalah kiblatnya Anglo Saxon.

Menurut Aristoteles, polity adalah pemerintahan berdasarkan hukum dasar tertulis yang memadukan sifat baik monarki, oligarki, dan demokrasi. Dan dalam kombinasi unik ini pada akhirnya akan menghasilkan sifat-sifat baik yaitu ketertiban, keadilan dan perdamaian.

Dan, dengan sifat-sifat baik yang dihasilkan tersebut diatas, kenapa masih ada yang menuntut untuk "merdeka" dari NKRI? Apakah selama ini NKRI menjajah mereka baik secara fisik dan psikis? Ataukah ini sebuah impact dari benign neglect (kelalaian yang murah hati) seperti kata Patrick Moynihan.

Yah, mungkin saja, pada akhirnya segala sesuatunya tentang demokrasi diartikan secara berbeda bagi sebagian orang. Bukan lagi tentang demos dan cratos, tapi tentang egaliter absurd mengenai makna kata merdeka yang kebablasan.

Ikuti tulisan menarik margaretha diana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler